8 - WILLY WONKA CHOCOLATE FACTORY

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Peter Pan nya tidak sekuat seperti yang ia bayangkan

"Lo serius ikutan hari ini?"

Sabtu pagi, Audy sengaja menghubungi Alaska untuk meminta izin apakah ia boleh ikut bergabung dalam klub dance miliknya atau tidak.

Tentu saja Alaska dengan senang hati menerima Audy sebagai anggota baru didalamnya.

Kini, mereka tengah menempuh perjalanan kecil dari rumah Alaska menuju lokasi dimana ia biasa latihan. Sesekali diselipkan tawa dalam canda mereka.

Soal Tristan? Entah lah, Audy merasa Tristan makin kesini makin keterlaluan. Mungkin sudah sukses membuatnya jatuh cinta—atau hanya kagum, tapi perbuatannya sungguh tak dapat ditoleransi. Nyaris setiap hari Tristan mengirimkan majalah-majalah olahraga atau kebugaran jasmani dan satu pak obat-obatan demi mencapai tubuh ideal untuk Audy.

Tentu saja Audy merasa tertekan diperlakukan seperti itu oleh Tristan. Merasa benar-benar tidak dihargai sebagai seorang manusia dengan kodratnya meskipun tidak sebagus orang-orang.

Tristan tidak tahu apa yang pernah terjadi dalam hidup Audy, sama sekali tidak.

Sore itu, hujan turun teramat derasnya. Pria muda dengan usia kisaran tiga puluh tahun tengah mengemudikan mobil di jalan raya yang padat merayap. Butuh kehati-hatian super untuk dapat menerka apakah jalanan di depan kosong atau tidak. Apalagi ditambah ia membawa putri kecilnya yang saat itu baru berusia delapan tahun. Tertidur nyenyak di jok sebelahnya.

Istrinya sedang sakit, jadi bagian menjemput si putri kecil sepulang sekolah digantikan oleh sang kepala keluarga. Terlampau mencintai keluarganya, apa saja rela dikorbankan untuk mereka.

Mendadak, putri kecil disebelahnya terbangun, menangis karena mimpi buruk katanya.

Karena jalanan tampak sepi, kepala keluarga itu pelan-pelan membangunkan putri kecilnya tanpa berpikir untuk menepikan mobil terlebih dahulu. Yang ia ingat untuk terakhir kalinya adalah sang putri yang berkata bahwa ada sebuah truk besar dari arah kiri mereka tampak melaju kencang ... hingga akhirnya menabrak keduanya.

Menyebabkan satu nyawa melayang tepat saat sampai di rumah sakit dan satunya lagi kehilangan pengelihatannya.

Cukup untuk membuat dadanya kembali sesak ketika mengingat kembali apa yang pernah terjadi, menimpa hidupnya dulu.

Meskipun samar-samar, masih sangat jelas di ingatannya bagaimana kondisi hujan disana menghalangi pandangan kaca jalanan dan sedekat apa jarak truk besar pengangkut pasir itu dengan mobil Papa.

Hingga tanpa sadar, Audy menitikkan air matanya.

Berusaha tegar, namun tak bisa. Benar-benar menjadi masa tersulit dalam hidup Audy saat dirinya harus tumbuh besar tanpa seorang ayah.

Alaska baru menyadari ia kehilangan Audy di sisinya saat berbalik ke belakang dan mendapati Audy tengah mengusap-usap matanya kasar.

Masih menangis.

"Dy ... eh, kenapa?"

Alaska perlahan mengusap bahu gadis itu, untuk kedua kalinya. Berniat memberikan rasa hangat dan tenang untuk Audy seorang.

Audy hanya menggeleng. Enggan menjawab saat sedang seperti ini.

Bisa-bisa, tangisnya malah semakin kencang.

Alaska sempat melihat arloji di tangannya, latihan masih mulai satu jam lagi, masih terlalu awal memang. Tadinya niat membawa Audy lebih awal hanya untuk dikenalkan kepada teman-temannya, tapi melihat kondisi Audy yang seperti ini,rasanya tak memungkinkan.

"Ayo, udah janji kan mau cerita kalo apa-apa?"

Gadis itu tetap menggeleng.

Maka yang Alaska lakukan hanyalah membawanya ke danau di dekat tempat mereka berdiri. Menarik paksa lengan Audy yang masih sibuk mengelap sisa-sisa air matanya. Berlari kecil hingga suara lonceng itu kembali terdengar, lonceng yang entah sejak kapan dapat membuat Audy tenang seketika saat mendengarnya.

Menyuruh Audy berdiri di depannya, lalu menatap Alaska tepat di matanya. "Kenapa?"

Masih bungkam. Alaska bingung harus apa, jujur sebenarnya ia ingin melakukan sesuatu, tapi tak tahu apakah Audy mengizinkannya atau tidak.

Pemuda itu lalu merentangkan kedua tangannya sambil menaikkan alis, seolah bertanya, "Boleh?," Dan beruntungnya dibalas anggukan oleh Audy.

Karena hanya itu yang dibutuhkan Audy sekarang.

Pelukan dari seseorang yang dapat membuatnya merasa terlindungi.

Terlepas dari hujatan yang senantiasa dihujamkan kepadanya setiap hari, membuat dirinya nyaris mati rasa dan depresi.

Audy sudah terdiam, tidak menangis sama sekali. Justru sebaliknya, merasakan hangat yang begitu menenangkan. Matanya terpejam begitu saja. Beruntung, Alaska lumayan lebih tinggi daripada Audy. Berbanding terbalik dengan Tristan yang tingginya tak jauh beda dengan gadis itu.

"Kalo gak mau cerita juga gak apa-apa. Nanti abis latihan aja bisa kok. Sambil gue jajanin coklat di toko coklat raksasa yang baru buka di deket tempat latihan. Mau?"

"Toko coklat raksasa?"

"Iya! Semacam Willy Wonka Chocolate Factory. Tau kan?"

Audy mengangguk dengan mantap.

***

Hari itu berjalan sempurna. Audy mendapat kawan-kawan baru yang menerimanya dengan apa adanya. Benar-benar apa adanya, tak mengejeknya atau membuatnya merasa tak nyaman. Audy sungguh bahagia dapat mengenal sahabat-sahabat baik Peter Pan nya ini. Pantas saja Alaska selalu tampak bahagia, tak disekolah, tak di tempat latihan, ia selalu mempunyai kawan baik.

"Tadi, kenapa?"

Audy tak bisa mengelak lagi, karena sebatang cokelat dengan bungkus berwarna emas sudah berada di tangannya, mau tidak mau Audy menceritakan semuanya dari awal. Alasannya menangis dan masa lalunya yang cukup menyakitkan.

Yang berbeda, kali ini tanpa tangisan.

Termasuk menjelaskan bahwa, di dalam matanya terdapat salah satu bagian mata ayahnya yang masih sehat, di donorkan demi kesembuhan Audy yang nyaris kehilangan pengelihatannya secara permanen.

Alaska tersenyum, bentukannya menjadi serupa malaikat. Lebih sempurna dari dewa manapun.

Audy mungkin gila jika ia sadar, saat ini hatinya betulan jatuh kepada Alaska, bukan Tristan.

"Mau tau sesuatu gak? Mumpung masih sore juga. Mau kenal Kak Rio, kan?"

Kedua binar mata itu tampak kembali cerah, membulat lebar seolah penuh harapan.

Audy mengangguk, lalu mengikuti Alaska yang sengaja mengulurkan tangannya untuk Audy.

"Ayo."

Tak perlu waktu lama, hanya sekitar sepuluh menit berjalan kaki.

Audy memang sempat mengeluh lelah di sepanjang perjalanan, tapi keluhannya berhenti saat Alaska membawanya ke sebuah tempat yang benar-benar sunyi, dan menyedihkan untuk dikenang dalam memori.

Pemakaman.

Alaska kembali menarik lengan Audy, dan gadis itu tak bisa melakukan apapun lagi selain mengikuti kemauan Alaska saat ini. Pikirannya terlalu kosong, terlebih saat Alaska bilang ingin Audy menemui kakaknya, tapi malah membawanya ke pemakaman.

"Kak Rio! Aku dateng bawa temen!"

Sebuah nisan abu-abu dengan nama 'Dario Athalas' terpampang begitu saja. Di atasnya ada banyak kumpulan bunga mawar putih yang diikat jadi satu. Tampak masih baru, disekitarnya juga masih ada sisa-sisa taburan bunga.

Audy benar-benar buntu.

Jadi, maksudnya, kakaknya sudah tak ada?

"Maaf kesini lagi padahal kemarin dari sini. Ada yang mau kenalan, namanya Audy. Temen aku. Maaf baru berani ngajak dia sebagai perwakilan dari semua temenku kesini."

Saat ini, Audy justru melihat Peter Pan nya menjadi orang yang lebih rapuh dari dirinya sendiri.

Berbicara dengan batu tanpa nyawa, mengobrol seolah-olah batu itu hidup dan dapat mendengarkan segala keluhannya selama ini.

"Dy ... ini Kak Rio."

Tersentak begitu Alaska menyapanya kembali, dengan senyum yang Audy tahu itu dibuat-buat. Terlalu sendu untuk ditutupi.

"Kenapa?"

"Meninggalnya, sakit. Sakit jiwa sih, atau skizofernia gitu namanya. Tau? Anak IPA kan?"

Audy mengangguk. Separah itukah hingga akhirnya menjemput ajal?

"Dibilang bunuh diri gak tau juga, katanya, suara-suara dalam kepalanya yang selalu bikin dia berusaha bunuh diri. Semua cara dicoba, akhirnya dengan lompat dari balkon dia berhasil."

Sepersekian detik, Audy kehabisan kata-kata.

"Awalnya, depresi karena dikucilkan di pergaulannya. Gue selalu berusaha nambah temen supaya gak kayak Kak Rio. Gue juga tergerak buat nolongin lo dan deket sama lo gini karena gue gak mau semakin banyak orang depresi mengakhiri nyawa dengan cara konyol."

Sebut Alaska anak cengeng untuk saat ini. Karena nyatanya, sekarang ia-lah yang menangis. Menangisi kepergian sang kakak yang menerpanya secara tiba-tiba.

Audy tak perlu berpikir lanjut, melihat buliran air itu kembali turun membasahi celana bahan yang dikenakan Alaska, ia berinisiatif untuk sedikit saja mengusap punggun serta pucuk kepala Alaska.

Mungkin disini ia seharusnya menjadi pihak yang dilindungi, tapi apa salahnya jika cinta juga didasarkan dengan keseimbangan? Sama-sama membangkitkan yang lain ketika tahu keduanya rapuh.

Apalagi karena Audy tahu alasan Alaska selama ini melindunginya. Ia menyayangi kakaknya, dan tak mau hal ini terulang di kehidupan orang lain yang dikenalnya.

"Bukan masalah kalo mau nangis. Lo manusia, punya rasa capek, punya hati buat ngerasa, gak usah mikirin lo cowok sampe harus nangis ditutupin gitu."

Tepat setelah itu, tangisnya sedikit mengeras. Menumpahkan segala sedih yang selama ini dipendam.

Tanpa Audy tahu, belum pernah ada orang yang Alaska bawa ke tempat rahasia ini sebelumnya.

Belum pernah.

Karena Peter Pan nya ini tidak sekuat yang ia bayangkan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro