7 - RATATOUILLE

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ia serupa palung laut, terlalu dalam dan misterius hingga tak tersentuh bias mentarinya

Audy masuk pada jam pelajaran terakhir, terlalu asik berbincang dengan penyelamatnya tadi hingga lupa waktu.

Benar, Alaska memang merupakan anak yang betul-betul ramah dan seru jika sudah kenal. Bahkan Alaska sendiri tak segan-segan membagikan kisah kehidupan sehari-harinya. Bagaimana kakaknya selalu berisik mengomelinya sejak ia kecil, setiap saat Alaska menumpahkan susu cokelat di mainan robot-robotan milik sang kakak. Atau saat Alaska tidak sengaja menghancurkan kartu-kartu yang sudah disusun sedemikian rupa dengan ketelitian dan tingkat kehati-hatian super tinggi supaya menjadi piramida oleh kakaknya dan kawan-kawannya.

Katanya, Alaska sangat merindukan saat-saat itu.

Audy sebenarnya bingung, ingin bertanya lebih jauh mengenai kakak laki-laki anak itu, tapi terus saja bicaranya selalu disela oleh cerita-cerita baru Alaska. Tiap Audy ingin mengungkitnya kembali, Alaska selalu beralasan bahwa setelah bagiannya bercerita adalah bagian Audy, jadi tidak boleh lagi ada sangkut paut dengan cerita tadi.

Kini keduanya sudah kembali ke kelas masing-masing. Senyuman bahkan tak terlepas dari wajah gadis itu. Membuat teman sebangkunya sendiri bingung, hal apa yang bisa membuat Audy tersenyum sebegitu lama selain karena dirinya. Seingat Key, Audy bisa menjadi sangat murung disekolah, dan bisa kembali bahagia ketika sudah berdua dengan Key, menonton film bersama atau membuat kue di rumah Key.

"Dy, kenapa?"

"Oh? Enggak."

"Bahagia banget, kenapa?"

Hanya gelengan disertai ulasan senyum halus yang didapat Key. Membuat anak itu setengah mati penasaran akan perubahan pada diri sahabatnya ini.

"Rahasia-rahasiaan nih sekarang. Oke, kalo itu gue juga."

Memang dasarnya Audy terlalu takut jika diancam macam-macam, segera saja ia tertawa kecil sambil mengguncang lengan sahabatnya itu. "Enggak, ini mau cerita kok. Intinya aja, ya. Key jangan marah."

"Bener, ya?"

Audy mengangguk. Menceritakan semuanya dari awal, terkecuali di beberapa bagian mungkin. Key sendiri justru malah terfokus kedalam binar mata yang jarang sekali tampak dalam kedua bola mata indah itu. Jarang sekali Audy terlihat sebahagia ini. Sembari menyimak cerita dari sahabatnya dan sesekali tersenyum, tak jarang ia tertawa kecil karena penuturan jujur sahabatnya. Key mengerti, rupanya sahabatnya ini tengah jatuh cinta kepada anak yang waktu itu sempat dikenalkannya secara sepihak di kolam renang.

Key ikut bahagia karena Audy merasakan bahagia yang sebenarnya.

"Bener, ya. Dia baik banget kalo udah kenal."

Key mengangguk, lantas tersenyum lebar sambil memeluk tubuh gempal sahabatnya. Untung guru belum masuk kelas, jadi kelas ribut pun bukan masalah besar. Obrolan mereka terlalu pelan jika dibandingkan dengan suara musik yang menggema di dalam kelas serta nyanyian parau anak laki-laki di belakang.

"Cie, bahagia banget, ya?"

Audy hanya mengangguk. Benar-benar tak bisa menutupi ekspresinya jika sudah berhadapan dengan seorang Keyandra.

Yakin kok. Key benar-benar akan bahagia jika sahabat yang ia sayangi seperti saudara sendiri itu merasakan bahagia yang teramat besarnya.

Tapi memang namanya juga manusia, melihat yang bahagia sedikit saja tidak bisa. Baru tertawa, Audy harus kembali kaget karena tiba-tiba Yura mengganggu ketenangannya.

"ADA TIKUS DI BAWAH MEJA AUDY!"

Tentu saja, perhatian sekelas langsung terpusat ke arah Audy, gadis itu dan Key segera bangkit, naik ke atas kursi karena takut akan kebenaran ucapan Yura.

Sialnya, benar. Seekor tikus abu-abu kecil yang entah darimana datangnya tengah mengunyah keju kotakan. Seisi kelas langsung ricuh, belum lagi tikus itu tampak berlari-larian kesana kemari. Key sendiri kaget dan merasa sedikit aneh karena, sejak kapan ada tikus—sejak kapan kelas mereka menjadi sarang seekor tikus—disana.

Saat tikus itu berhasil menaiki meja, hendak melompat ke arah Audy, gadis itu tentu saja langsung menghindar. Ikut melompat turun dari kursi hingga tidak sadar bagian bawah rok sekolahnya robek cukup panjang karena tergores ujung paku yang mencuat dari dalam kursi karena menahan sepenuhnya beban tubuh Audy tadi.

Perhatian seisi kelas kembali teralihkan, justru menertawai Audy yang diam-diam menahan malu karena ulahnya sendiri. Sementara tikus tadi sudah enyah entah kemana, hilang begitu saja.

Audy kembali menjadi bahan tertawaan teman-teman sekelasnya. Wajah kian memerah antara amarah atau malu yang tak bisa ditahan.

"Gajah sih, pantes takut sama tikus!"

Tentu saja Yura.

Audy langsung lari keluar kelas, pergi ke toilet tanpa mau tahu lagi apa yang terjadi di dalam kelas. Key sempat ingin mengejar, tapi apa daya Audy benar-benar melarang keras Key mengikutinya.

Tanpa Audy tahu, bahwa Key sekilas sempat melihat potongan keju cheddar di atas meja Yura.

***

Sebut Audy lemah karena hanya bisa menangis sendirian di toilet setelah dipermalukan seperti itu.

Cukup untuk berbagai macam sebutan menyakitkan, rasanya sudah terlalu sulit untuk dijabarkan dengan kata-kata. Matanya sudah mulai memanas sejak tadi, finalnya adalah saat hinggap di salah satu bilik toilet, Audy hanya bisa menumpahkan sakit dan emosinya yang keterlaluan dalam tangisan.

Sesekali menyalahkan dirinya sendiri. Kenapa bisa-bisanya sejak kejadian waktu itu ia terlalu larut dalam depresi, mengabdikan waktu hanya untuk makanan. Membuat dunianya berubah seratus delapan puluh derajat. Padahal Papa berharap putri kecilnya ini dapat meneruskan bakat beliau, membanggakannya dan Mama kelak.

Tapi kenapa ia menjadi sebegitu terpuruknya sepeninggal Papa?

Sesekali, menghapus sisa air mata dan mengusap kedua bola mata yang terbalut kelopak indahnya. Ada Papa disitu, dan tiap kali Audy merasa bersalah akan keterpurukannya, hanya seperti itulah caranya meminta maaf kepada Papa. Mengusap kedua belah matanya perlahan, menggumamkan kata maaf berkali-kali karena tidak tahu harus melakukan apalagi setelah ini.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro