6 - DANCING PRINCESS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Live with your own way

Setelah perbincangan kemarin, ternyata masalah belum usai sampai disitu.

Tristan masih mengirimi Audy pesan, dan di pesan terakhir malam itu cukup membuat rasa dalam hati Andrea jatuh ke dasar jurang.

"Tristan bisa mencintai Audy, tapi ada syaratnya. Mau gak ngurangin berat badan supaya lebih ringan? Kalo mau, nanti gue bantu."

Sebenarnya, Audy sudah tahu resikonya berhubungan dengan orang macam Tristan, ujung-ujungnya dia sendiri yang harus berkorban. Kebanyakan manusia kan tidak pernah puas akan apa yang telah didapatnya.

Tadinya ia sudah mengiyakan permintaan Tristan. Namun, yang didapat malah tips-tips diet dan cara workout dirumah. Harus selalu dikerjakan setiap hari dan laporan kepada laki-laki itu tiap selesai melakukannya. Sama saja bohong, kalau begitu semua orang juga tahu.

Sempat Audy mengatakan jika yang semacam itu ia sudah mencoba, ia masih dengan baik-baik meminta Tristan memberikan saran lain.

Justru yang dikirim Tristan malah daftar obat diet mulai dari yang standar sampai terkenal, dari yang abu-abu keasliannya hingga yang terpercaya. Katanya, Audy tinggal pilih saja mau yang mana, maka Tristan akan langsung membelikan obat-obatan itu untuknya.

Audy masih cukup waras untuk tidak menggunakan obat-obatan itu saat niat untuk mengurangi berat badannya masih didasarkan keterpaksaan karena tuntutan orang lain. Namun jika dirinya tak mematuhi saran Tristan, bisa-bisa anak itu malah marah dan meninggalkan Audy begitu saja.

Dirinya sudah terlalu bimbang sampai tidak sadar bahwa kini suasana kantin mulai sepi dari pengunjung. Bel sekolah sudah berbunyi lima menit lalu, tanda jam pelajaran kelima sudah akan dimulai.

Sebelum akhirnya, sebuah tepukan halus mendarat di bahu gadis itu, membuat Audy reflek terlonjak kaget karenanya. Maniknya menajam, mencari asal suara yang ternyata sudah berada di belakangnya, Alaska.

"Hey, sendirian aja. Udah masuk tau."

Sejujurnya, Audy sempat benci suasana seperti ini. Ia terlalu gugup untuk sekedar berhadapan dengan Alaska. Pesona ketua basket angkatan yang satu ini penuh implikasi, selalu dan terus membuat degup jantung berpacu cepat. Tuhan benar-benar tengah merayakan sukacita saat Alaska diciptakan, mungkin lupa kalau ia terlalu sempurna untuk disebut sebagai manusia.

Mencoba biasa saja, guna menutupi kecanggungannya sendiri. "Lo ju-juga gak masuk?"

Aneh, tak ada bunyi lonceng seperti biasanya. Mungkinkah karena Alaska sedang tak membawa tas selempangnya kali ini?

"Enggak. Males. Matematika wajib gurunya bosenin. Mending cabut gue." Ujarnya dengan segenap jiwa anak IPS yang tampak benar-benar tak menyukai pelajaran menghitung.

Alaska langsung saja duduk di sebelah Audy, menaikkan kedua kaki ke atas meja sambil menyanggah belakang kepalanya dengan kedua tangan.

"Mikirin apaan sih, sampe lupa jam pelajaran gini?"

Audy kembali menggeleng. Sebenarnya ada sesuatu yang masih bergejolak dalam dirinya, memberontak untuk keluar, menyuarakan pikirannya agar tak selalu tertutup seperti ini terhadap Alaska. Entah kenapa rasanya terlalu aneh jika terus menerus tertutup padahal intensitas bertemu mereka terbilang cukup sering.

"Ah, lo udah sering ketemu gue masih canggung aja. Ayo lah cerita."

"Gue cerita juga lo gak akan peduli."

Tiba-tiba, Alaska kembali merubah posisi duduknya. Seperti kemarin sore di taman, duduk di atas kursi dengan kedua kaki dilipat sembari menghadap Audy. Memberikan cengiran kotak yang betulan lucu di mata gadis itu. Lalu menunjukkan lambing 'V' dengan kedua jadi di tangan kanannya. "Serius, peduli, hehe. Kenapa?"

Audy menghela napas pelan. "Ya udah. Gue tanya dulu, kalo ikut dance bisa ngurangin berat badan, gak?"

Yang ditanya memiringkan kepala ke kiri, mencerna kata-kata yang barusan terlontar dari mulut Audy. "Oh, ngerti."

"Ngerti apaan?"

"Lo mau ikut dance buat nurunin berat?"

Belum sempat terjawab saja sudah terbongkar maksudnya apa.

"Ya terus kenapa?"

Alaska menggeleng.

Menimbulkan banyak pertanyaan di otak Audy. "Gak bisa? Kenapa?"

"Bukan, jangan gitu. Selain karena dance buat ngelatih kegemaran, kalo tujuan lo nyiksa diri ngerutinin ikut gituan tanpa ada basic mending gak usah."

"Kok gituuuu?," Jujur saja Audy sedikit tak terima, merasa dirinya dianggap tak mampu untuk sekedar menggoyangkan tubuh.

Alaska tertawa kecil, mengusak halus surai kecokelatan Audy. Memberikan afeksi tersendiri bagi gadis itu. Kembali lagi, Audy harus merutuki hatinya yang telah bodoh karena mudah terbawa perasaan oleh laki-laki dengan afeksi semacam itu.

"Enggak, Dy. Jangan maksain diri lo buat kurus kalo emang gak sanggup. Tertekan ya sama pendapat orang? Milih tertekan batin atau malah jatuh sakit nantinya?"

"Sakit fisik palingan cuma sebentar, kan?"

"Jangan salah, patah kaki pun harus dilewatin kalo emang mau jago."

Sukses membuat Audy bergidik ngeri ketika mendengar yang satu itu.

"Lo pernah patah kaki?"

"Tangan sih, pas nyobain hip hop. Tapi sekarang udah enggak."

Gadis itu kembali terdiam. Ternyata konsekuensi jika mengikuti gaya latihan Alaska juga terlalu beresiko ya.

Tapi, jangan salah, sebenarnya masa kecil Audy juga pandai melakukan hal semacam itu.

"Mungkin lo gak percaya, tapi gue dulu bisa ... itu."

"Bisa apa?"

"Dance."

Berhasil membuat Alaska melongo. Sebenarnya sulit untuk dipercaya, tapi itulah kenyataannya.

"Kok ... kenapa gue gak pernah liat lo ikut tampil dance tiap kumpul mata pelajaran olahraga seangkatan?"

Tentunya gadis itu hanya menggeleng. "Guru or aja kayaknya gak suka tuh sama gue. Payah banget ya, cuma gara-gara ukuran tubuh aja gue jadi gak bisa apa-apa."

Entah Alaska yang terlalu supel atau memang Audy yang keburu canggung, saat pemuda itu menyentuh kedua bahunya hanya sekedar untuk diusap guna memberi ketenangan Audy kembali tersentak.

"Lo kok kagetan sih, hehe."

Ya sudah, selesai. Alaska sadar bahwa dari tadi Audy terlalu canggung tiap ada di dekatnya.

"Santai aja sama gue."

Seharusnya Audy sadar, Alaska terlalu jenaka jika dianggap serius.

"Dengerin, ya. Hidup lo jadi bukan milik lo nanti kalo lo terlalu peduli sama pikiran orang lain, Dy."

"Ja—di, gue harus gimana?"

Laki-laki yang lebih tua hanya bisa mengendikkan bahunya, melempar pandang ke arah lain. "Bertingkah seolah-olah lo gak denger apa yang mereka bilang."

"Susah, setiap hari gue denger itu, gak mungkin bisa buat gue pura-pura gak denger."

"Bisa aja, selama lo inget pesen dari gue. Bahagia lo itu pilihan. Kalo mau bahagia, lo diemin mereka. Atau kalo mau makin depresi, lo ambil hati tuh omongan mereka. Pilih mana?"

Dengan air muka sedikit sebal, Audy langsung saja menyela ucapan Alaska. "Ya bahagia, lah!"

Kedua tangan yang tadinya hanya bertengger kini menepuk bahu itu dua kali. Pemilik tangan tersebut terkekeh pelan, menatap sepasang obsidian kembar gadis di hadapannya. "Gitu, dong. Jadi, mau ikut latihan dance kapan?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro