5 - MARIPOSA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

You're gorgeous, darl.

Penghujung hari dimana guratan jingga menghias angkasa adalah waktu-waktu sempurna untuk dipuji. Goresan tangan Tuhan menjadi waktu yang paling baik untuk seorang bidadari tersesat duduk di taman hanya sekedar untuk menikmatinya.

Jemarinya tak henti-henti untuk terus menggeser layar kaca ponselnya. Hanya dua hal yang ia cari sekarang, bagaimana cara menurunkan bobot tubuhnya serta langkah-langkah untuk berolahraga entah itu diluar rumah atau di dalam rumah. Sesekali ada notifikasi pesan yang tersampir di dalam ponselnya, itu dari Tristan.

Entah lah, Audy pun juga sering merasakan detak jantungnya berdegup tak karuan saat berbalas pesan dengan jelmaan dewa Hermes, khusus di ciri ketampanan dan tubuhnya yang tampak atletis meski terbalut pakaian. Ia terlalu kagum akan sosok Tristan, cukup untuk didamba tiap malam, dan dipuja ketika menjelang tidur.

Sore ini bukan tanpa alasan Audy duduk di taman sendirian. Ada seseorang yang ia tunggu, pangeran rupawannya yang entah berapa lama lagi sampai. Dengan balutan sweater putih dan celana jins hitam, membuat tubuh gadis itu tampak lebih besar dari biasanya.

Sesekali obsidiannya mengedar pandang ke seluruh penjuru taman. Ada yang aneh atau mungkin tak ia sadari tadi, di pintu masuk taman, beberapa anak laki-laki muda bergaya edgy dengan super mempesonanya tengah membagikan selembaran. Ada juga beberapa diantara para pemuda itu yang justru berkeliling sembari menyebarkan selembaran tersebut.

Audy tampak acuh, lalu kembali memusatkan perhatiannya ke ponsel. Tristan belum juga membalas pesannya, mungkin laki-laki itu tengah berada di perjalanan. Tanpa disadari, sebuah kertas mengkilap tersaji di depan matanya. Audy mendongak dan menemukan Alaska disana, dengan senyuman kotak yang begitu khas dan bunyi lonceng tiap kali ia bergerak.

"Eh? Yang tadi siang?"

Alaska mengangguk sekenanya. Kembali menyodorkan selembaran yang dari tadi berada di genggamannya.

Gadis yang lebih muda menyunggingkan senyum kelewat manis, cukup untuk menampilkan lesung pipi di bagian kiri. Membuatnya makin tampak manis, tanpa ada yang menyadari hal itu.

Siapa sangka Alaska malah semakin melebarkan senyumnya karena lesung pipi itu? Merasa gemas tak tertahankan, tapi masih sadar diri siapa dia dan siapa Audy.

"Jadi lo bener-bener dancer? Ini lagi buka pendaftaran, ya?"

Sekali lagi, Alaska hanya bisa mengangguk. Senyum pun tak luntur menghiasi wajahnya. Tanpa disangka-sangka, pemuda itu segera saja mendudukan diri tepat di sebelah Audy.

Jantung si gadis kembali berdegup kencang, ada rasa lain yang menyampir saat berada di dekat Alaska. Mungkin karena kejadian siang tadi, Audy merasa terlindungi.

"Gimana? Tertarik ikut?"

Dibalas oleh gelengan dari sang gadis. "Becanda ya. Udah tau gue segede ini. Gerak aja berat banget."

"Itu mah lo nya yang males."

"Sebelas dua belas, lah."

Sempat hening beberapa detik diantara mereka, sebelum akhirnya malaikat pelindung diantara mereka membuka suara.

"Tadi kenapa sama Yura?"

Gelengan didapat oleh Alaska. Pasalnya, Audy terlalu malas untuk menceritakan bagaimana tersiksanya ia ketika berhadapan dengan jelmaan nenek sihir yang satu itu.

Maka Alaska hanya terkekeh kecil, menatap raut wajah Audy yang berubah muram. Sadar akan perubahan tersebut, Alaska membalikkan tubuh hingga benar-benar menghadap gadis di dekatnya. "Kalo ada apa-apa, mending cerita aja. Dari gue liat lo di kolam waktu itu, gue ngerasa payah karena ngebiarin cewek diperlakukan kayak gitu walau sama temennya sendiri."

Lalu bangkit, bersiap untuk meninggalkan Audy sebelum ingatannya kembali akan suatu hal. "Oh ya, kalo mau ikut, bilang gue aja, oke?"

Kembali lagi si gadis mendongak, mengangguk antusias tanpa ia tahu apa yang sebenarnya membuatnya bahagia saat ini.

Tak berselang lama sejak pertemuannya dengan Alaska barusan, seorang laki-laki dengan balutan kemeja biru tua, celana jins selutut dengan sedikit robekan di bagian paha, serta sepatu putih datang menghampiri Audy.

Sebut Audy mudah terbawa perasaan. Dengan melihat Tristan dengan tampilan sebegitu kerennya mampu membuat gadis itu menahan napas beberapa detik. Inikah rasanya berdekatan dengan orang tampan? Atau ada hal lain dibalik itu semua.

Tapi jika iya Audy jatuh cinta kepada sosok Tristan, kenapa pula Alaska mampu membuat hatinya bergetar bahkan dua kali lipat lebih hebat dari pada saat ia bertemu Tristan secara langsung?

***

"Tadi udah lama?"

Pemuda didepannya tetap mempertahankan senyum, sesekali menyeruput americano panas dari gelas kertas khas kafe kopi tempatnya dan Audy singgah.

Gadis yang dimaksud menghentikan kegiatan mengunyahnya, setelah ditelan bulat-bulat, barulah ia menjawab pertanyaan yang dilontarkan Tristan.

"Lumayan, hehe."

Tristan sedikit canggung sebenarnya, merasa aneh juga karena orang-orang memusatkan perhatian mereka kepada dirinya dan Audy. Masalahnya, disini Tristan hanya memesan segelas kopi hangat sementara Audy sibuk menyantap donat, kue keju, dan kopi susu ukuran besar miliknya. Benar-benar berbanding terbalik.

"Maaf ya, Dy. Kejebak macet tadi."

Si gempal itu mendongakkan wajah, menatap tepat di obsidian pangeran rupawannya. Mengangguk asal hingga menciptakan cengiran kelinci diantara lesung pipi yang khas.

Gemas, sejujurnya. Namun kembali lagi ke perspektif seorang Tristan yang masih menginginkan perubahan dalam diri Audy.

Setelah berbincang cukup lama, belum lagi ketika mereka tersadar bahwa hari sudah cukup larut sementara esok mereka berdua masih harus sekolah, Tristan dengan halus mengajak Audy kembali pulang. Tentu saja mengantarnya untuk saat ini, tidak mau disebut tak bertanggung jawab apalagi kemungkinan Mama Audy sendiri tahu anaknya dibawa pergi oleh siapa.

"Dy, pulang yuk? Dianter, ya?" Pelan-pelan mengelus punggung tangan putih milik si gadis. Membuatnya sedikit tersentak karena mendadak salah tingkah.

Akhirnya Audy hanya bisa mengangguk gugup dan memasang senyum kaku ke arah Tristan.

"Gak usah kaku gitu, kita bakal sering ketemu kok abis ini."

Sekali lagi, Tristan tersenyum. Yang baru Audy sadari adalah dibalik senyum Tristan, terdapat satu gingsul yang menambah kesan manis dalam diri pria itu. Benar-benar cukup membuat Audy mati rasa saat ini. Membayangkan sosok semahal Tristan rela memberikan senyumnya sia-sia hanya kepada Audy.

Tristan mengantar Audy sampai gerbang rumahnya. Sebelum turun dari mobil, mendadak sebelah tangan Audy digenggam begitu erat. Tanpa aba-aba, dirasakan punggung tangannya dikecup halus oleh laki-laki itu. Kemudian pelaku perbuatan tadi malah kembali melempar senyum kelewat menawan, membuat Audy terkunci seratus persen dari pergerakannya saat ini.

"Selamat malam, Mariposa."

Gadis yang dimaksud mengangguk sembari menyembunyikan wajah semerah tomatnya, buru-buru keluar dari mobil dan masuk kerumah setelah mengucapkan terimakasih secara buru-buru.

Di dalam, Audy masih sibuk menetralkan detak jantungnya. Mewajarkan apapun yang terjadi tadi—meskipun sebenarnya tidak wajar.

Sungguhan tidak wajar jika hal seperti ini terjadi diantara dua orang yang bahkan masih berstatus teman.

"Loh, sayang? Udahan ketemunya? Kok mukanya merah ... oh apa—"

"Uuuush! Mama jangan gituuu!"

Mama datang dari ruang televisi, niat menyambut anaknya malah tergantikan niat jahil untuk menggoda karena tampaknya putri kecilnya ini sedang kasmaran.

"Kenapa? Cerita ayoooo!"

Langsung saja beliau menarik tangan gempal Audy, mendudukan diri diatas sofa diikuti si putri kecil yang senantiasa patuh terhadapnya.

Audy menceritakan semuanya, dari awal hingga akhir. Mama hanya tertawa kecil mendengar celotehnya itu. Baru pertama kali setelah sekian lama anaknya ini menceritakan soal laki-laki.

"Tapi aku bingung, Ma ...."

"Kenapa?"

"Aku ... ya mungkin suka kali sama Tristan. Tapi ada lagi yang bisa bikin aku lebih deg-degan kalo ketemu. Lebih wow gitu rasanya ...."

"Loh, siapa?"

"Alaska."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro