4 - PETER PAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kau bisa bangkit, kau hanya butuh waktu

"Makan es krim dibalik selimut pas hujan! Kan en—aduh!" Sebuah jitakan keras melayang ke dahi Audy, membuat gadis itu mengaduh kesakitan karenanya.

Sementara yang berbuat hanya tertawa kecil, lalu kembali ke ekspresi seperti semula.

"Yang bener ngapa. Gue seriusan nanya ini. Hujan enaknya ngapain."

"Ya mana gue tau, Key. Gue nih ya, kalo ujan, makan es krim dibalik selimut. Atau kalo di sekolah gini, tidur."

Mereka memang sedang menunggu jam kosong berakhir. Sesekali bersenandung pelan mengikuti irama musik di dalam kelas. Sudah kebiasaan lama, jika ada jam kosong di kelas, anak-anak kelas selalu menyetel musik dengan speaker kecil. Jangan salah, meskipun kecil, suara yang keluar dari sana mampu membuat suasana kelas super ramai. Terkadang anak laki-laki dikelasnya ada yang bermain kartu untuk sekedar mencari kesenangan, ada pula yang asik bermain gitar akustik di pojok kelas.

Bicara tentang anak laki-laki, Tristan semalam sempat menghubungi Audy lewat sosial media instagram menggunakan fitur pesan disana. Menurut Audy, Tristan termasuk anak yang menyenangkan untuk diajak berbincang. Begitu juga bagi Tristan, Audy cukup mengesankan jika sudah kenal lebih dalam lagi. Sejak pertemuan tanpa motif yang jelas dua hari lalu, ada rasa ingin mengenal lebih dalam lagi sosok Audy di hidup Tristan. Meskipun jujur saja, ada rasa mengganjal di hati Tristan mengingat ukuran tubuh Audy yang jauh dari target pasangan hidupnya.

Di sisi lain, hari ini merupakan hari paling melegakan bagi Audy. Pasalnya, Yura dan kawan-kawannya sedang menjalani hukuman diskors. Sekolah aman untuk beberapa saat bagi gadis itu.

Oh, atau mungkin tidak.

Sepulang sekolah, Audy memutuskan untuk pergi ke ruang loker dimana ia menyimpan semua barang-barangnya disekolah. Namun betapa terkejutnya ia ketika menemukan banyak sekali sampah disana.

"Siapa yang naro ini ...."

Tangan super gempal seorang gadis menarik sepucuk kertas dengan tinta merah besar dari dalam lokernya. Kertas tersebut berisi tulisan 'loser' yang ditulis dengan huruf besar. Kemudian, ada boneka babi merah muda yang tampak koyak jahitannya, kotor dengan noda kehitaman, dan hidung yang sudah tak karuan bentuknya.

Selain itu, masih ada sampah-sampah plastik bekas makanan ringan di dalam loker gadis itu, ada pula kertas lain berisi ujaran-ujaran kebencian yang jika dibaca dapat menjatuhkan kepercayaan diri seseorang. Tulisan berbahasa kasar di dinding dalam loker dengan tinta merah juga turut membuat loker milik Audy, hari ini sungguh terlihat hancur.

Belum lagi ditambah bau busuk yang menguar dari sebuah kotak bekas susu siap minum yang tampaknya sudah basi.

Lagi-lagi pembulian, lagi-lagi dia.

Sejenak Audy merasa kasihan dengan babi kecil merah muda di lokernya. Kotor, sendirian, rusak, dan terbuang. Tanpa ia sadari dirinya juga sehancur itu.

"Loh, ngapain lo buang sisa makanan lo di situ? Kan udah ada tempat sampah berjalan yang bakal nampung sampah lo."

Suara seorang gadis yang tampak familiar menyapa rongga telinga Audy. Lantas, ia menoleh dan menemukan empat orang gadis muda. Itu Yura. Tapi buat apa dia ada disini?

"Duh, Lila, tempat sampah segede gajah gitu kok gak keliatan?" Salah satunya menyahut, membuat yang lain terkekeh sinis.

Audy pun menghentikan acara bersih-bersihnya, lalu menoleh ke arah gadis muda yang sempat membuat hidupnya suram akhir-akhir ini.

Lila—teman Yura langsung saja menyodorkan bekas makanan ringan yang digenggamnya. "Oh iya, eh babi, makanan gue masih sisa nih, mau gak?"

"Kok kalian disini?"

Yura tertawa pelan, lalu melipat tangannya di depan dada. "Maksud lo? Harusnya dimana emang?"

"Bukannya Yura kena skors?" Ujarnya terlampau lugu, cara bicaranya masih sehalus sutera, binarnya polos meskipun tetap tersirat ketakutan diantaranya.

Audy sebenarnya tahu konsekuensi jika bermasalah dengan seorang Yura. Pengganggu, hidupnya tak akan tentram kedepannya. Hingga nanti, jika Yura sudah puas menindas orang yang bermasalah dengannya, barulah ia akan berhenti mengganggu hidup orang itu.

"So? Gue mau disini. Kenapa?" Yura maju selangkah, bahkan jarak Audy dan Yura kini hanya sejengkal.

Audy menggeleng, "Harusnya bukan—"

"Hak lo ngatur gue?" Yang dimaksud menggeleng.

"Gue mau disini, mau ngeliat gimana sih babi merah muda kerja jadi tukang bersih-bersih." Setelahnya, dengan lancang, Yura mendorong dahi Audy dengan telunjuknya. Lantas tertawa lepas.

Audy merasa kembali terpojok, selintas di benaknya sempat terbesit pikiran bahwa mereka-lah yang menaruh barang-barang tersebut di dalam loker miliknya.

Yura yang merasakan keterdiaman Audy kembali bersuara. "Mikirin apa? Bersihin itu, sampah depan mata." Kemudian membalikkan tubuh gadis gempal tersebut, mendorongnya ke depan loker abu-abu hingga terdengar suara keras dari benturan tubuh Audy dengan pintu loker.

"Sa-kit ...."

"Payah."

Baru saja tangannya beranjak untuk mengambil sampah makanan ringan dalam loker dan menaburkannya ke kepala gadis gemuk itu, terdengar sebuah denting lonceng yang cukup nyaring.

"S-sorry, loh? Kalian ngapain?"

Maka dari itu, Yura segera melepas cengkaraman tangannya dari tubuh Audy. Sementara, gadis yang satunya langsung menarik napas lega setelah sadar siapa yang membantunya.

Alaska.

Dengan air muka tampak sedikit terkejut. Datang dengan suara dari sebuah lonceng kecil di tas selempangnya.

Seperti Peter Pan yang menjadi penyelamat saat Tinkerbell berada di posisi tersulit.

Hanya butuh beberapa kalimat muncul dari mulut Alaska untuk membungkam Yura. Gadis itu nampak sangat gugup, lalu segera pergi meninggalkan Audy bersama kawanannya.

"Makasih, ya."

Yang dimaksud menoleh, lalu mendekati Audy tanpa aba-aba. "Audy, ya? Dicari sama temen lo tadi."

Lidahnya mendadak kelu, merasakan aliran darah berdesir sungguhan cepat di dalam tubuhnya. Jantung Audy mulai berdetak abnormal, kedua manik hazelnya kian berubah, membola dengan warna segelap jelaga. Sebelum laki-laki di depannya melambaikan tangan tepat di depan wajah Audy.

"Kenapa? Kok diem?"

Saat itu pula, Audy tersadar dari lamunannya. Sungguh magis pesona pemuda yang satu ini. Memang tak semenawan Tristan, tapi cukup terlihat tampan dengan kegagahannya serta jenaka dengan wajah cerianya. Kulit tan dengan rahang tegas, hidung keterlaluan tinggi, alis tebal, serta bola mata dihias pupil hitam legam.

Datang bak pahlawan, setidaknya sebelum kejadian memilukan terjadi lagi.

"Siapa?" Hazel itu berpendar tanpa ia sendiri tidak tahu rasa apa yang tengah menyerang hatinya kini.

"Keyandra. Di kantin."

Namun satu yang tiba-tiba membuat Audy kepalang bingung. Bagaimana bisa, Peter Pan nya ini tahu soal Key.

***

Manik indahnya memancarkan kebingungan. Mencari seorang manusia dibalik ratusan makhluk hidup di tempat para murid menuntaskan dahaga mereka bukanlah hal yang mudah. Setelah beberapa menit mencari, pandangannya tertuju kepada sosok cantik dengan rambut panjang tergerai rapi, sedang bersandar pada dinding kantin.

"Key, manggil Ody?" Obsidian kembarnya menatap gadis muda yang tengah asik menyeruput soda dingin dari dalam kaleng. Yang dimaksud menoleh, lalu tersenyum kecil saat mendapati sahabatnya ada disana.

Bergegas menarik lengan gemuk Audy dan segera mendudukan diri di kursi kantin. "Dy, denger-denger Yura gak jadi kena diskors?" Raut wajah yang tadinya terlihat bahagia berubah menjadi serius. Seolah kabar tersebut merupakan kutukan terburuk bagi Audy.

Audy langsung saja terkejut, berusaha meredam emosinya sedikit, pantas saja anak itu ada di sekolah tadi. Parahnya, sempat menindasnya meski sedikit gagal. "Serius? Tau dari siapa?"

"Ih itu, tadi orang tuanya dateng ke sekolah. Terus—"

"Nyogok?"

Dibalas oleh anggukan dari jelmaan kelinci manis di hadapannya. Yang lebih lugu hanya bisa menghela napas kasar, memijat keningnya pelan. Sesekali terlintas di pikiran, kenapa ada manusia di dunia ini yang sebegitu mudahnya menerima iming-iming uang demi sebuah kesepakatan.

"Terus nasib gue gimana dong ini?"

"Sebenernya, gak usah cari perkara dulu aja sih."

"Gimana gak cari perkara, selalu dia yang mulai."

Gadis di depannya tampak berpikir, lalu menjentikkan satu jari di hadapan Audy. "Kayak nya gara-gara lo ngelawan pas itu."

"Emang salah kalo ngelawan?"

Hanya dijawab gelengan. Sebenarnya, Key sendiri juga bingung kenapa selalu sahabatnya ini yang kena getahnya. Padahal, salah juga tidak, mengganggu pun tidak.

"Oh iya, Key, kenal banget ya sama Alaska?"

Binar matanya teralih, lalu sedikit mengangguk. "Lumayan, kenapa?"

"Sejak kapan?"

Sementara Audy terlihat serius dengan obrolan mereka, Key justru mengerling jahil, lalu menjulurkan lidah sebelum beranjak pergi dengan langkah cepat. "Rahasia!"

***

Note : 

Key kok kenal Alaska?

Anw, sekarang ku lagi gak enak badan banget, hehe. Lanjut besok ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro