3 - BEAST AND MR. PERFECT

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kau layak dicintai, sungguh

Menjadi seorang penyendiri dimanapun ia berada. Sifatnya berubah seratus delapan puluh derajat dengan dirinya yang dulu. Memutuskan untuk sepenuhnya menutup diri tanpa mau lagi mengenal lingkup pertemanan di luar sebelum seorang gadis ceria dengan mudahnya menawarkan persahabatan empat tahun yang lalu. Sulit, tapi akhirnya Key berhasil mendobrak satu pintu kehangatan dalam hati Audy. Setidaknya, sebagai sahabat. Masih ada satu pintu lagi, untuk cintanya, yang entah kapan menurut Audy akan datang.

Karena Audy tak yakin apakah dirinya layak untuk dicintai.

Gertakannya kemarin cukup membuat Audy sendiri kepalang kaget karena bisa-bisanya ia membentak orang lain di muka umum. Padahal biasanya ia diam saja. Namun disebut sebagai sampah seolah membuat harga dirinya jatuh ke dasar bumi. Ia tak bisa membiarkan dirinya terhina. Meskipun begitu, Audy masih memutuskan untuk tidak menceritakan apa yang terjadi kepada Mama guna menetralkan suasana.

Sialnya, gertakan di hari kemarin malah membuatnya harus menderita pula hari ini. Contohnya, adalah saat seorang Keyandra datang pagi buta sembari tergesa, dengan raut wajah khawatir membisikkan beberapa kata yang cukup membuat jantung Audy berdegup tak karuan.

"Audy, lo dipanggil guru BK sama Yura sama temen-temennya ...."

Lalu berakhirlah ia disini, di 'kursi pengadilan' bersama keempat gadis lain yang ia benci setengah mati. Menjelaskan peristiwa yang terjadi kemarin. Tentunya dengan pernyataan sejujur-jujurnya bahwa Audy adalah pihak yang tertindas. Sayangnya Audy juga dinyatakan bersalah karena ia membentak orang lain di depan umum. Namun hukuman yang dijatuhkan padanya masih lebih manusiawi dibandingkan kepada Yura—gadis yang kemarin menawarkan popularitas manis untuk sahabat Audy.

Yura dan ketiga kawannya kena diskors tiga hari, sementara Audy hanya harus meminta tanda tangan orang tua di atas kertas pernyataan yang kemudian akan diserahkan kembali kepada guru BK.

Bebal, tetap melekat dalam diri Yura. Di luar ruang BK, gadis itu masih sempat-sempatnya menyudutkan Audy ke dekat toilet siswi.

"Jadi, cara main lo itu ngadu? Begitu?" Yura mendorong kening si gadis keras-keras, karena lengah, nyaris saja ia terhuyung membentur tembok.

Tetap saja Audy tergolong terlalu polos untuk mengelak, meskipun hal itu murni bukan kesalahannya, bukan dia yang mengadukan apa yang telah terjadi kepada guru. "T-tapi bukan—"

"Mau bilang bukan lo yang ngadu? Basi, babi! Liat pembalasan gue nanti."

Kemudian meninggalkan Audy beserta ketiga kawannya.

Dengan Audy yang masih terpaku dalam hening. Bukan karena ancaman Yura, melainkan dirinya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tentang siapa, yang telah mengadukan kejadian kemarin kepada guru BK.

***

"Kenapa gak cerita kemarin?"

Audy diam saja. Figurnya macam kucing kecil yang ketakutan saat melihat yang ukurannya lebih besar darinya. Masih enggan menjawab sedikitpun pertanyaan yang dilontarkan 'malaikatnya'.

"Audy, kenapa? Coba cerita, Mama gak bisa ngapa-ngapain, Mama gak akan tau kamu kenapa kalo kamu diem gini."

Setelahnya, hanya terdengar dengusan napas malas. Hingga akhirnya gadis itu memberanikan diri membuka mulut. "Gak parah kok, Ma. Cuma ya, aku emang selalu jadi samsak mereka aja."

"Gak parah gimana? Sampe kena BK kamu bilang gak parah?"

"Lagian, aku gak tau siapa yang ngaduin ini ke BK, Ma. Harusnya kalo BK gak tau, gak jadi ribet gini."

Kali ini Mama yang hanya bisa diam. Ia sangat menyayangi putri kecilnya, satu-satunya harta berharga yang tersisa untuknya di dunia ini. Melihat sang anak di hina hanya karena fisik, membuat hatinya meringis. Bagaimanapun, Audy tetaplah manusia biasa, yang hanya ingin diperlakukan normal selayaknya manusia tanpa ukuran tubuh sebagai pembanding.

Tanpa aba-aba, Mama memeluk tubuh gempal gadisnya. Tubuh yang jelas-jelas masih lebih besar Audy ketimbang dirinya sendiri. Mengusap pucuk kepalanya halus, lalu melayangkan nasihat dengan penyampaian selembut sutra. "Audy sayang, gak semua manusia di takdirkan sempurna. Mungkin fisik mereka bagus, tapi arti sempurna yang sebenernya itu adalah saat manusia indah tanpa harus terlihat manusia lain. Kamu sabar sama mereka. Mungkin mereka emang gak nerima kamu, tapi Mama mohon, jangan dendam ya sama mereka? Jangan ditanggep, nanti juga bosen sendiri."

Mendengar suara Mama dapat membuat hatinya menghangat seketika. Ketegangan yang sempat terjadi selama beberapa menit mendadak berubah menjadi haru. Kali ini, Audy masih memiliki prioritas untuk bersyukur kepada Tuhan. Bersyukur karena diberikan anugerah malaikat tanpa sayap yang begitu baik dan selalu mengerti keadaannya.

Maka Audy hanya bisa mengangguk dan tersenyum. Merasakan ketenangan yang datang dalam jangka waktu lama. Sebelum sebuah pertanyaan di benak muncul saat Mama kembali mengajaknya pergi menemui seseorang.

"Siapa, Ma?"

"Temen Mama sama anaknya. Nanti malem, siap-siap gih."

***

"Maaaa, masih lamaaa? Laper akunyaaa ...."

Seorang gadis bertubuh gempal dengan balutan sweater merah hati dan celana kulot hitam selutut tampak meneguk minumnya sesekali. Mengedar pandang tanda bosan. Setiap sudut ruangan di restoran malam ini seolah sudah di ukir sedemikian apik. Rapi dengan ukiran kayu mahoni kecokelatan yang khas. Begitu pula aroma yang muncul dari lilin putih di dalam gelas kaca terasa seperti wangi aromatherapy.

Tak lama, yang diajak bicara tiba-tiba berdiri. Melambaikan tangan kepada seorang wanita cantik dengan seorang laki-laki muda di sebelahnya.

Audy masih belum sepenuhnya sadar sebelum Mama mencubit kecil lengan besarnya. Membuat gadis itu terpaksa mendongak dan segera berdiri saat melihat siapa yang ada di hadapannya kini. Mama segera mengenalkan wanita itu kepada anaknya, kemudian menyuruh dua anak muda disana berkenalan guna mencairkan suasana.

Perkenalan yang terjadi begitu singkat. Bagaimana cara Audy mengenalkan dirinya kepada teman Mama dan anaknya cukup terbilang kaku. Sementara setelah itu, Tristan tampak malas menanggapi celoteh kedua orang tua di dekatnya. Membuang wajah ke asal arah.

Awalnya yang ia kira akan dijumpainya adalah seorang gadis cantik dengan tubuh ramping ideal, kulit putih, dan tingkah malu-malu. Bukan model Audy yang ramping saja tidak, malah dengan asal memasukkan spageti sebagai pembuka ke mulutnya tanpa henti.

Di tengah suapan kelimanya, Audy sempat menghentikan peraduan tatapnya ke laki-laki itu. Obsidian kembarnya terlihat indah, sayu, dan menenangkan. Terselip sedikit keangkuhan dalam tiap tatapnya. Leher jenjangnya dibiarkan terbuka dari kerah kemeja, membuatnya makin terlihat atraktif dan mempesona. Indah, seperti pahatan seni tanpa cacat, juga terlampau sempurna dalam tiap detailnya.

Rasa-rasanya, Audy jatuh cinta hanya dengan melihat visual Tristan. Berada pada jarak sedekat ini dengan pemuda tersebut merupakan kesempatan emas bagi Audy untuk sekedar mengecek apakah hatinya masih berfungsi atau tidak. Apakah masih bisa merasakan jatuh cinta setidaknya dengan melihat fisik orang itu. Mengingat cinta pertamanya yang kandas di bangku sekolah menengah pertama karena cintanya tak menerima ukuran tubuhnya yang terlampau besar membuat Audy kembali merasakan sakit. Hendak berpikir dua kali untuk menyukai sosok Tristan, tapi untuk apa. Toh, selama Tristan tidak tahu Audy menyukainya, bukankah tidak masalah?

Bisa diibaratkan, kisah mereka adalah penggambaran 'Si Cantik dan Si Buruk Rupa', dengan Audy si buruk rupa, sementara Tristan adalah tuan sempurna.

"Kalian kenapa diem-dieman? Ngobrol gitu, kaku banget." Teman Mama menepuk pundak Audy pelan. Sementara si gadis hanya menunjukkan senyum jenaka, Tristan malah kian malas menanggapi keduanya.

"Gak apa-apa, Tan. Tristannya capek kali, makanya diem aja."

"Loooh, ya udah ngobrol sama Tante aja deh ya kalo gitu? Kamu ini ikut olimpiade biologi ya? Bener, sayang?"

Mendengar pertanyaan tersebut, Audy tersedak tiba-tiba. Refleksnya adalah meraih gelas minum di dekatnya, kemudian meneguknya hingga tandas. Sementara teman mama yang satu itu hanya terkekeh kecil melihat reaksi gadis muda di depannya.

"Iya, Tan."

"Pinter banget dong, ya. Harusnya Tristan belajar dari kamu nih. Anak bandel kayak dia susaaaah banget disuruh belajarnya. Sampe capek Tante tuh nyuruh dia belajar, haduh." Wanita itu meletakkan telunjuk tangan kanan dan kirinya di kedua sisi kepalanya. Memberi gesture seperti orang sakit kepala. Hal itu cukup membuat Audy terhibur, baru kali ini ia melihat orang dewasa bertingkah sebegini lucu.

Obrolan terus berlanjut hingga larut. Hingga dua wanita serta satu gadis diantara mereka tak sadar bahwa satu-satunya anak adam disana sempat sesekali mencuri dengan bagaimana Audy menceritakan tentang dirinya. Tertarik? Ada. Karena ada hal lain yang membuat Tristan berpikir bahwa tak ada salahnya mengenal Audy lebih dalam, meskipun masih dalam tahap teman baru.

Hingga pada akhir perbincangan, dimana Audy dan Mama berniat pamit, pangeran es dengan tiba-tiba membuka mulutnya.

"Sorry, boleh minta uname ig gak?"

***

Note :

Loh loh, jadi Peter Pan nya ini siapa dong?:)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro