Berteman

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mereka bertiga mengikuti Kamu sampai di depan kelas. Kamu melotot ke arah ketiganya karena risih.

Jen tersenyum canggung, sementara Rin malah melambaikan tangannya. Arum menarik keduanya menjauh.

“Kalian kok ngisin-ngisini¹,” kata Arum malu.

“Ish, apa  sih, Rum. Dia ganteng,” kata Rin.

Jen menjitak sahabatnya itu. “Lihat ganteng aja langsung konek,” kata Jen.

Rin meraba kepalanya yang dijitak oleh Jen dengan muka cemberut. “Dia ganteng, berani lagi,” kata Rin.

“Dia anak baru, ya. Di Kelas Biru.” Arum menatap kelas yang Kamu masuki.

“Kenapa dia gak di kelas kita aja ya?” tanya Rin.

“Kan kelas kita udah penuh. Di Kelas Biru, ada yang pindah katanya kan?” kata Jen

“Kelas Jingga emang gak pernah kekurangan orang,” lanjut Arum.

“Karena yang masuk ke Kelas Jingga otaknya pada bener,” kata Jen bangga.

“Dih, emang Dwika bener?” tanya Rin.

“Dia mah lain hal,” kata Jen malas.

Bel berbunyi mereka masuk ke kelas. Rin, Arum dan Jen adalah tiga sahabat yang selalu bersama-sama sejak SD. Walau mereka memiliki latar belakang berbeda, mereka saling melengkapi satu sama lain.

Kamu menatap pepohonan dari jendela. Kali ini pelajaran sejarah malah membuatnya malas. “Lusa, kita akan pergi ke keraton untuk melihat secara langsung beberapa benda yang menjadi saksi sejarah,” kata Pak Bagus membuat Kamu kembali bersemangat.

Rasanya memang akan menyenangkan jika pelajaran bisa fleksibel dan tidak membebani. Kamu suka membaca dan melibas buku yang mungkin belum waktunya dia konsumsi.

Pelajaran biologi kembali di lakukan di taman, karena sekarang adalah pengamatan bagaimana serbuk bunga bisa menjadi media penyebaran bunga tersebut.

Kamu duduk dengan malas di rumput, Bu Nadia menjelaskan bagaimana serangga dan hewan lainnya membawa serbuk bunga itu sampai di tempatnya tumbuh.

Sementara Jen, Arum dan Rin melihat Kamu dari jendela kelas mereka. “Anak itu sepertinya bodoh,” kata Jen.

“Belum tentu,” bantah Rin tidak terima.

“Kok kamu membelanya sih?” Jen tidak terima.

“Kita kan belum mengenalnya. Jangan langsung bilang gitu,” kata Rin.

Arum hanya diam mengamati Kamu yang acuh terhadap penjelasan Bu Nadia dan sepertinya sibuk sendiri dengan pikirannya.

Dwika ikut mengamati Kamu dari tempat duduknya. Anak baru itu menarik.

Kamu berjalan ke kantin karena lapar. Setelah mengambil roti isi dan susu, dia menuju tempat duduk yang sepi.

Tidak lama kemudian ketiga gadis menghampirinya. “Boleh duduk di sini, ya?” tanya Rin basa-basi.

Mereka bahkan sudah duduk di depan Kamu yang melongo. “Kalian gak ada kerjaan, ya?” tanya Kamu risih.

“Iya. Dan kami lihat kamu juga gak punya teman,” kata Jen.

“Kami akan berteman denganmu,” imbuh Arum.

Rin mengangguk antusias, sementara Kamu memutar bola matanya malas. “Aku gak butuh teman,” jawabnya berharap ketiga gadis itu menghilang dari hadapannya.

“Emang gak sik, tapi kamu bakalan butuh kalau nanti harus bikin kelompok buat tugas sekolah,” kata Jen.

“Memang ada gitu? Aku bisa membuatnya sendiri,” sergah Kamu.

“Dih, sok banget,” ejek Jen.

“Lagian, bukannya kalau tugas bakalan temen sekelas?” sanggah Kamu.

“Di sini, tidak. Biasanya akan ada campuran dari Jingga, Biru, Merah dan Hijau,” kata Rin sambil melahap baksonya.

“Kenapa gitu?” Kamu heran dengan sistemnya.

“Ya karena di sini, sebenarnya kelas bukan untuk membatasi, tapi kelas itu Cuma dibuat untuk membagi agar guru tidak kewalahan mengajar banyak anak.” Arum menjelaskan.

“Jadi kemungkinan besar hal itu terjadi sangat besar. Nah, kebetulan kelompok kamu biasanya kurang orang karena gak ada yang mau,” kata Jen.

“Karena kalian rese?” ejek Kamu.

Jen melotot tak terima dan kalau Arum tidak menahannya, dia sudah melayangkan tinjunya.

“Ya, katakanlah gitu. Tapi mereka biasanya malas berurusan sama Jen karena pemilik nilai tertinggi di sini,” kata Rin.

“Dia? Pintar?” Kamu tidak percaya dengan bentuk gadis di depannya itu.

Jen melotot tak terima. “Kalian ini cocok kalau ribut,” kata Arum sambil terkekeh membuat Jen dan Kamu serempak menatapnya tak percaya.

Rin dan Arum tertawa. Biasanya Jen sangat dominan di antara mereka bertiga dan paling tidak mau kalah. Namun, kini dia ada saingan dan lawan debat.

Bel berbunyi membuat Kamu pergi meninggalkan mereka bertiga. Kamu hanya menggelengkan kepalanya melihat ketiganya mengikutinya.

Dia yang tidak pernah memiliki teman dekat, dan berinteraksi dengan anak lain seperlunya, mendadak kedatangan tiga anak gadis yang bawel.

“Hush, sana,” usir Kamu membuat ketiganya mencebik.

Mereka akhirnya berbalik ke kelas mereka. Kamu menatap ketiganya dengan senyum canggung. Setidaknya, sekolah ini tidak terlalu buruk.

Dwika yang melihat keakraban mereka sedikit terganggu. Selama ini tidak ada yang bisa membuat ketiga gadis itu terlihat senang.

Mereka biasanya akan bergerombol bertiga dan tidak menghiraukan anak lainnya. Terlebih karena dominasi Jen yang bercokol di peringkat satu.

Bagi Dwika, kesenangan ketiga anak itu menyebalkan. Selama ini dia bisa menganggu mereka dengan tenang, karena tidak akan ada yang melawan. Walau Jen pemegang sabuk karate, tapi dia tidak akan berani melawannya karena satu hal.

Dwika berdiri di gerbang sekolah, menunggu Kamu yang berjalan menuju mobil Laut yang terparkir di dekat gerbang.

“Hei kamu!” teriak Dwika.

Tanpa sadar Kamu menoleh lalu menunjuk dirinya sendiri.

“Iya, kamu!” kata Dwika pongah.

“Kamu tahu namaku?” tanya Kamu penasaran karena dia merasa tak pernah mengenalkan diri pada anak itu.

“Hah? Jangan Ge-er. Siapa juga yang tahu namamu,” sergah Dwika.

Kamu menepuk dahinya. Namanya, kan ambigu. Kamu, adalah sebutan untuk kata ganti orang kedua. Sial. Orang tuanya memang seolah sengaja mempersulit hidupnya dengan memberinya nama yang aneh.

“Kenapa?” tanyanya saat Dwika mendekat.

“Kamu kan tahu jangan macam-macam sebagai anak baru. Jaga tingkahmu,” kata Dwika menekankan kata ‘jaga tingkahmu’.

“Aku sudah bilang, aku minta maaf atas kejadian kemarin. Aku tidak akan mengulanginya,” kata Kamu sambil membungkuk dan pergi meninggalkan Dwika begitu saja.

Jen, Arum dan Rin melihat hal itu dan lega saat Kamu pergi tanpa perlu bertengkar dengan Dwika.

“Dwika itu memang menyebalkan,” gumam Jen diamini Rin dan Arum.

“Kenapa sih dia suka sekali menganggu?” tanya Rin polos.

“Ya karena dia caper,” kata Arum.

“Iya, kayanya Dwika ini anaknya caper banget deh. Mungkin di rumahnya dia kurang kasih sayang,” kata Jen.

Rin mengangguk, “Benar. Capernya tembus langit.”

Arum tertawa, Rin selalu saja bisa mencairkan suasana dengan kata-katanya yang kadang aneh.

“Tadi siapa?” tanya Laut saat Kamu memasuki mobil.

“Oh, aku juga gak tahu, Paman. Tapi dia anak yang menganggu anak-anak perempuan kemarin,” kata Kamu sambil menyandarkan tubuhnya di jok mobil.

“Hm ... kalian tidak terlibat masalah, kan?” tanya Laut.

“Gak, aku sengaja menghindarinya, Paman. Aku sudah minta maaf dan tidak ingin membuat masalah,” kata Kamu.

“Bagus. Setidaknya, tidak ada hal yang akan menyeretmu ke dalam masalah,” kata Laut.

Kamu berdoa dalam hati, semoga hari-harinya akan tenang dan baik-baik saja. Agar hukuman ink cepat berlalu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro