Pengakuan Dosa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Glagah terdengar menghela nafas di telepon. “Lalu?”

“Jadi saat istirahat, ada anak yang bertengkar di dekat laboratorium. Dia menendang anak perempuan yang tak sengaja menabraknya. Lalu dia mau menampar anak yang satu lagi,” papar Kamu.

Laut mendesah. “Aku tidak bisa membiarkan anak laki-laki kasar terhadap anak gadis,” lanjut Kamu.

“Oke. Kamu tidak salah dalam hal ini, jadi tidak bisa dianggap mengingkari janji. Lain kali, mungkin kamu bisa berhati-hati dan menghindari masalah yang timbul,” kata Glagah mengakhiri sambungan.

Kamu mendesah dan menyandarkan tubuhnya ke jok mobil. “Aku tidak salah, kan, Paman?”

“Tidak. Kamu sudah melakukan yang benar. Penindasan tidak bisa dibiarkan,” jawab Laut.

“Kami tidak akan menyalahkanmu. Untuk selanjutnya, mungkin kamu bisa lebih berhati-hati,” imbuh Amira.

Kamu merasa lega tahu bahwa perbuatannya masih bisa dibenarkan. Dia benar-benar tidak bisa melihat anak laki-laki berbuat semena-mena kepada yang lemah.

Ayahnya selalu mengajari untuk membela yang lemah, menegakkan kebenaran. Itu yang selalu dia pegang.

“Kamu tahu, sebentar lagi akan punya adik?” tanya Amira memecah keheningan.

Kamu terlonjak dan duduk dengan tegak. “Mama hamil?” teriaknya tak suka.

“Bukan. Bukan Diara yang hamil, tapi Bibi Amira,” sergah Laut.

“Wow! Bibi hamil? Laki-laki atau perempuan?” tanya Kamu antusias.

Setidaknya bukan mamanya yang hamil, itu sudah melegakan hatinya. Dia belum siap berbagi kasih sayang dengan anak lain.

“Belum bisa dilihat. Tapi kami sehat-sehat. Makanya, nanti Kamu harus bisa menjadi kakak yang baik, ya,” pinta Amira.

“Aku akan menjadi kakak yang keren!” kata Kamu membuat Amira tertawa.

“Sebagai kakak, maka kamu harus mencontohkan yang baik.” Laut melirik ke arah spion tengah yang memperlihatkan Kamu sedang mengangguk dengan semangat.

Mereka tiba di rumah. Darma dan Sari sudah menunggu di teras. “Kakung!” teriak Kamu menghambur ke arah Darma.

“Bagaimana hari ini di sekolah?” tanya Sari.

Membuat wajah Kamu sejenak menegang. “Tadi Kamu bertengkar di sekolah, tapi untuk membela temannya yang sedang ditindas,” kata Laut menerangkan situasi yang mungkin tak menyenangkan bagi Kamu.

“Oalah, gak apa-apa. Selama Kamu membela yang benar, maka itu bukan hal yang salah,” kata Darma membesarkan hati Kamu.

Kamu mengangguk, “Aku tidak akan pernah melakukan hal tanpa alasan.”

“Baiklah, aku sudah menyiapkan makan siang. Kalian belum makan, kan?” tanya Sari.

“Kami sudah makan tadi, Bi. Kamu saja yang belum. Mas Laut juga masih harus pergi untuk mengecek sesuatu,” kata Amira.

“Ada laporan masuk tentang audit di Solo dan sedikit mencurigakan,” tambah Laut membuat Darma paham.

“Baiklah. Hati-hati. Kamu sudah tahu titik koordinasinya?” tanya Darma memastikan Laut tahu wilayahnya sekarang.

“Glagah sudah mengirimkannya, Paman,” jawab Laut lalu berpamitan.

“Ternyata, bahkan di Solo pun dia masih sibuk. Tapi kamu tidak boleh terlalu sibuk dan capek,” kata Sari membuat Amira tersenyum.

“Iya, Bibi. Aku akan menurut,” katanya lalu bergelayut manja di lengan Sari.

Kamu mengambil sisi kanan lengan Sari yang kosong dan ikut bergelayut di sana. “Ini tidak ada yang mau sama Kakung?” Darma iri dengan Sari.

Kamu menoleh dan memainkan matanya malas. Mereka menuju ruang tengah untuk makan siang. Amira hanya melihat mereka dan meminum jus yang sudah disiapkan oleh Sari.

“Mama! Kamu tidak nakal kok,” kata Kamu saat mereka melakukan sambungan video.

“Okay. Mungkin jika tidak ada halangan, beberapa hari ke depan, kami akan ke Solo untuk melihat situasi yang sedang dihadapi oleh Prana Jiwo,” kata Diara.

“Ish, jadi kalian ke sini bukan karena merindukanku, tapi karena urusan pekerjaan?” kata Kamu kesal.

Glagah tertawa melihat Kamu kesal. “Iya, kami merindukanmu. Tapi kami juga tahu kalau kamu bisa survive di sana,” kata Glagah.

“Ayah, kalau misalnya aku tidak bisa menepati janji untuk diam, apakah aku akan gagal dalam hukuman ini?” tanya Kamu was-was.

“Kita lihat kasusnya dulu, dong. Kan semuanya ada praduga tak bersalah,” jawab Glagah.

“Ayah ini seperti Paman Laut, selalu menggunakan istilah baku. Ini bukan masalah Prana Jiwo atau apa pun itu,” keluh Kamu.

“Ayah tahu, tapi kamu juga harus terbiasa. Karena kita semua berada di lingkungan ini mau tak mau,” balas Glagah.

Kamu mendesah. Dia sudah pernah diberitahu tentang istilah dan silsilah dari Prana Jiwo yang erat sekali dengan kehidupan keluarganya.

Walau Kamu tak pernah sepenuhnya paham, tapi dia tahu kalau keluarganya bergerak dalam bidang yang menyelidiki orang lain. Awalnya Kamu tidak mau tahu, tapi setiap kali Laut dan Glagah membahas masalah itu, atau terkadang bersama Diara dan Bintang. Mau tak mau otak Kamu menangkap semua pembicaraan itu walau selintas.

Okay. Aku mau tidur. Bye Ayah, Mama,” pamit Kamu lalu menutup sambungan, tak menunggu jawaban mereka.

Dia kemudian menyerahkan ponsel itu ke Amira. Walau umurnya sudah empat belas tahun, tapi Kamu belum punya ponsel sendiri. Tabletnya pun terkontrol dengan aplikasi yang diawasi langsung oleh Glagah dan Diara.

Pagi itu Kamu aslinya malas untuk berangkat sekolah. Dia malas untuk bertemu dengan anak yang kemarin.
Laut sudah berada di mobil dan siap mengantarnya. “Ayo, jangan malas. Paman tahu kamu bisa menjalani adaptasi ini dengan baik,” kata Laut memberi Kamu semangat.

Setelah menyalami tangan Laut, kamu menyusuri jalan menuju kelasnya.

“Hei!” teriak Dwika setelah melihat sosok anak baru yang kemarin sudah membuatnya malu.

Kamu melenggang seolah tak ada apa pun. Dia mencoba mengabaikan suara anak laki-laki itu.

“Hei, kamu anak baru!” teriak Dwika sekali lagi.

“Aku?” tanya Kamu bersikap bodoh.

“Siapa kamu? Kamu tahu siapa aku?” tanya Dwika sambil berkacak pinggang di depan Kamu.

“Aku sudah minta maaf kemarin, dan aku minta kamu lupakan kejadian itu. Aku tidak mau membuat masalah,” kata Kamu tak menjawab pertanyaan Dwika.

Dwika menepuk pundak Kamu dengan kasar. “Jangan memancingku. Kemarin aku sedang tak siap malanya bisa kamu kalahkan. Untuk lain kali jika kamu mencampuri urusanku, mati!” kata Dwika.

“Maaf,” desis Kamu lalu menghindar dan pergi meninggalkan Dwika.

Jen, Rin dan Arum melihat interaksi Dwika dan Kamu dengan khawatir jika terjadi pertengkaran lagi. Setelah Kamu pergi, mereka menghela napas lega.

Setelah memastikan Dwika pergi, mereka mendekati Kamu yang berjalan ke kelasnya.

“Hai, kamu,” kata Jen.

“Aku?” Kamu menunjuk mukanya sendiri.

“Iya. Kemarin kami belum mengucapkan terima kasih,” kata Jen mewakili teman-temannya.

“Ehm ... iya, oke, tak apa,” kata Kamu sambil mengibaskan tangannya dan pergi.

“Jangan pergi, kita belum berkenalan,” cegah Rin.

“Oh, aku Kamu,” kata Kamu.

“Hah?” Mereka bertiga kompak menampakkan wajah bingung.

“Iya, Kamu  K-A-M-U,” eja Kamu.

“Oh  aku Jen, ini Rin dan itu Arum. Kamu siapa?” kata Jen sambil menunjuk Rin yang berkacamata, dan Arum yang tampak ceria.

“Iya, Kamu.” Jawaban Kamu tak memuaskan mereka.

“Iya, namaku Jen, ini Rin, itu Arum,” kata Jen mulai kesal.

“Lha iya, namaku Kamu. K-A-M-U,” kata Kamu.

“Hah?” Mereka masih kebingungan.

Kamu mengeluarkan tabletnya dan menunjukkan foto identitasnya.

“Kamu Oracio Senja,” kata Kamu menjelaskan kesalahpahaman mereka.

“Oalah. Namamu unik, ya,” kata Jen pada akhirnya.

“Hah, serah,” kata Kamu seiring bel berbunyi yang akhirnya melepaskannya dari ketiga gadis itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro