Berusaha Melupakan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Baiklah, kali ini Bapak akan memaafkan masalah ini. Namun, jika terulang makan Bapak akan membawanya ke rapat guru. Paham?” tanya Pak Ratno.

“Paham,” jawab Kamu mantap diiyakan oleh Jen, Arum dan Rin.

“Dwika?” Pak Ratno memandang Dwika yang diam.

“Oke,” jawabnya enggan.

“Baik, kalian boleh kembali ke rombongan. Ingat, jaga sikap. Ini di keraton,” pesan Pak Ratno.

Jen melotot ke arah Dwika. Sementara Kamu melangkah pergi meninggalkan mereka. Hatinya sedang tidak baik-baik saja. Dia kesal karena Dwika seolah mencari kesalahannya.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Rin iba.
Kamu tidak menjawab, hanya mengangguk kecil. “Ayo, kita fokus saja pada tugas kita nanti. Dwika tidak akan berani lagi bertindak untuk sementara waktu,” kata Rin.

“Benar,” sahut Arum.

Jen sesekali melirik ke arah Kamu. Masih melihat kekesalan di wajah anak itu. Mereka kembali bergabung dengan rombongan.

Kamu mulai mengambil video dan beberapa foto. Keseruan ketiga temannya sudah membuatnya lupa kejadian tadi. Mereka berpose di tempat-tempat yang akan menjadi bagian dari tugas mereka.

“Baik anak-anak, untuk open trip hari ini sudah selesai. Kita akan kembali ke sekolah dan kalian boleh pulang setelahnya,” kata Bu Septia.

“Ini masih siang, apakah boleh kita ke rumahmu saja? Agar kita bisa mengerjakan tugas dan besok sudah mengumpulkan,” kata Arum semangat.

Kamu yang tahu tujuan Arum sebenarnya hanya mencebik, tapi juga tidak menolak. Mereka memang masih harus mendiskusikan tugas mereka.

“Kalian punya hape? Aku harus menghubungi Kakung untuk menjemput,” kata Kamu.

“Aku ada,” kata Jen sambil mengangsurkan ponselnya.

“Kok kamu gak punya hape? Lalu tabletmu itu?” tanya Rin bingung.

“Tablet itu hanya berisi aplikasi yang memang kuperlukan, bukan untuk menelpon dan berkomunikasi. Ayah belum memberiku hape karena memang aku belum diberi kepercayaan untuk itu,” kata Kamu menjelaskan.

“Kan kamu bisa memasang aplikasi pesan di sana,” kata Arum.

“Yang bisa memasang aplikasi dan mengontrol hanya Ayah dan Mama,” jawab Kamu.

“Parental Control. Wow, aku masih amaze sama keluargamu, dan kamu sendiri,” kata Jen.

“Kenapa?” tanya Kamu sambil mengetikkan nomor telepon kakungnya. “Kung, Kamu sudah selesai sekolahnya. Tiga puluh menit lagi mungkin sampai di sekolah,” kata Kamu setelah kakungnya mengangkat telepon. “Aku membawa beberapa teman ke rumah,” lanjut Kamu membuat Arum tersenyum.

Jen menerima uluran ponsel dari Kamu. “Terima kasih,” katanya.

“Kamu termasuk anak yang sebenarnya unik. Kamu bahkan patuh sekali ke orang tua dan keluargamu,” kata Jen.

“Hm ... apakah itu hal yang aneh? Bukankah kita harus menurut kepada mereka?” Kamu malah merasa aneh dengan pernyataan Jen.

“Sebagai anak laki-laki di usiamu sekarang, kamu normalnya akan bersikap seperti Dwika, atau setidaknya kamu akan memberontak,” papar Arum.

“Gaklah, aku boleh berbuat sesuka hatiku dengan konsekuensinya. Aku sering berbuat onar, aku sering membuat masalah. Tapi untuk beberapa hal, maka aku harus tetap berada di koridornya,” kata Kamu.

Mereka sudah berada di bus dan menuju sekolahan. Ketiga temannya masih tak percaya ada anak yang berpikiran demikian. Bagi mereka sangat jarang ada anak laki-laki yang masih bisa seperti itu. Kebanyakan teman mereka selalu seperti Dwika.
Sesampainya di sekolah, mobil Darma sudah terparkir di dekat gerbang. Setelah mendengarkan arahan Pak Ratno, mereka menuju mobil Darma.

“Selamat siang, kami teman Kamu,” kata Jen mengenalkan diri.

“Masuklah, ayo pulang,” kata Darma.

Kamu sudah duduk di samping Darma, sementara ketiga gadis itu berebut masuk ke jok belakang.

“Aku Darma, anak-anak. Kalian boleh memanggilku Kakung, seperti Kamu memanggilku,” kata Darma memperkenalkan diri.

“Aku Jen, ini Arum, itu Rin,” balas Jen sambil tersenyum.

“Nduk ayu kabeh¹,” kata Darma membuat ketiganya terkikik.

“Kung, katanya Arum ingin mewawancaraimu untuk tugas sekolah,” kata Kamu.

“Wah, aku merasa terhormat. Wawancara apa?” Darma melirik spion tengah.

“Hm ... tentang peristiwa peledakan rumah,” kata Arum lirih takut menyinggung.

“Oalah. Ya, ya pasti kamu sudah mendengar selentingan dan berita tentang itu ya?” tanya Darma sambil tersenyum.

“Benar, Kung. Aku membaca di internet tentang hal itu, dan juga cerita dari Ayah. Tapi masih ada beberapa hal yang sama sekali belum jelas,” jawab Arum.

“Sebenarnya peristiwa itu sudah jelas, tapi mungkin kamu belum tahu bagaimana menarik benang merah dari serangkaian peristiwa yang terjadi di tahun itu,” kata Darma.

“Benang merah? Seperti yang dikatakan oleh Paman Laut?” desak Arum.

“Oh, apa yang sudah dikatakan oleh Laut?” Darma balik bertanya.

“Kata Paman, ada orang yang tidak suka identitasnya terbuka, lalu melakukan segala hal untuk membungkam orang-orang yang sekiranya bisa membuat identitasnya terkuak,” kata Kamu.

“Ceritanya akan sangat panjang, apakah kalian siap mendengarkannya?” tanya Darma.

Keempatnya mengangguk antusias. “Sepertinya ini akan lebih tepat jika menjadi tugas bahasa Indonesia, karena akan seperti sebuah cerita fiksi,” kata Darma.

“Bolehkan aku merekamnya, Kakung? Agar aku nanti bisa merangkumnya?” tanya Arum menyiapkan ponsel Jen dalam mode rekam.

“Silakan,” kata Darma
Darma menarik napasnya terlebih dahulu untuk menceritakan peristiwa yang sebenarnya adalah masalah keluarga itu.

“Tahun 2030, ada kematian seorang pelukis terkenal. Dia bunuh diri di galerinya dengan cara mengantung diri. Lalu, polisi menutup kasus itu karena memang dia murni bunuh diri. Sekretarisnya, kemudian menemukan pesan tersembunyi dan beberapa petunjuk. Lalu, pengacara sekaligus sahabat pelukis itu mendatangi sekretaris dan mengungkapkan wasiat si pelukis,” kata Darma mengawali cerita itu.

“Kematian Napta Dwi Ludira?” tanya Jen.

“Benar, bagaimana kamu tahu?” tanya Darma balik.

“Karena aku menyukai gaya lukisannya, Kung. Dia adalah salah satu pelukis yang membuatku terus mengasah kemampuan menggambarku,” jawab Jen.

“Oh baguslah. Lanjutkan itu, kamu bisa menjadi pelukis hebat nantinya jika terus belajar,” tutur Darma.

“Lalu, surat wasiat itu membawa kedua orang itu ke penyelidikan lebih lanjut setelah seseorang membeli semua lukisan pelukis tersebut. Sekretaris menemukan banyak hal janggal tentang wanita itu, lalu lebih janggal lagi saat wanita itu menunjukkan tato yang seharusnya hanya dimiliki oleh keturunan asli. Yang hanya keturunan itu yang tahu. Saat mengetahui bahwa sekretaris dan pengacara itu tahu soal tatonya, maka dia melakukan segala cara untuk membungkam mereka berdua, termasuk meledakkan rumah orang tua si pengacara,” lanjut Darma.

“Sebentar, jika rumah itu adalah rumah Kakung, maka pengacara itu adalah Ayah?” tanya Kamu mencoba menghubungkan cerita itu dengan silsilah keluarga.

“Siapa lagi?” Darma mengedipkan matanya.

Ketiga anak gadis itu melongo tak percaya.

“Lalu, apakah sekretaris itu Mama?” Kamu semakin kaget dengan kenyataan yang didengarnya.

“Menurutmu?” Darma malah bermain teka-teki.

“Jadi benar itu Mama? Kenapa mereka tidak bercerita padaku?” Kamu kesal karena kedua orang tuanya malah menyembunyikan hal seperti itu.

“Bukankah Kamu belum tertarik dengan silsilahnya?” Darma malah tertawa.

“Tapi kan mereka seharusnya menceritakan ini padaku, Kung,” sergah Kamu kesal.

“Kami akan menceritakan semuanya, kalau sudah saatnya. Saat kamu siap, saat kamu mau, dan saat kamu bisa menerima kenyataan tentang keluarga kita,” kata Darma.

Ketiga gadis di belakang hanya bisa melongo mendengar semua itu. Kamu bukan anak biasa, keluarganya juga bukan keluarga biasa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro