Perkelahian Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Laut mengantar satu per satu teman Kamu ke rumah masing-masing. Memastikan mereka selamat dan aman sampai di rumah.

“Sepertinya, mereka baik,” kata Laut setelah mereka mengantar Jen ke rumahnya.

“Sepertinya,” desis Kamu.

“Tapi mereka bisa menerimamu. Membuatmu menerima mereka.” Laut melirik keponakannya itu.

“Karena kami sepakat. Aku berteman dengan mereka dan menjadi anggota kelompok mereka. Sementara mereka menjauhkan aku dari Dwika,” papar Kamu.

“Tapi itu menguntungkan. Kalian terlibat dalam kerja sama yang tidak merugikan.” Laut menatap Kamu yang juga menatapnya.

“Iya sih. Tapi kan ada beberapa hal yang membuatku tidak nyaman,” sanggah Kamu.

Dia masih belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa dia berteman dengan anak lain sedemikian dekat.

“Terkadang kita harus menyesuaikan diri. Dulu, aku juga tidak dekat dengan Glagah, terlebih Diara. Lalu, rentetan kejadian membuat kita harus berurusan satu sama lain.” Laut kembali mengingat bagaimana dia akhirnya dekat dengan sepupunya, Glagah.

“Kejadian yang mana?” tanya Kamu ingin tahu. Terlebih setelah dia mengetahui sejarah rumah kakungnya.

“Kejadian yang berkaitan dengan peledakan di rumah Paman Darma,” kata Laut.

“Sebenarnya, Prana Jiwo itu apa?” tanya Kamu penasaran.

“Yang kamu tahu apa?” Laut balik bertanya.

“Yang aku tahu, Paman dan Ayah menyelidiki orang lain, lalu memberikan hasil dari penyelidikan itu ke publik. Hanya itu yang aku tangkap selama kalian membicarakan kasus-kasus,” kata Kamu.

“Semacam itu. Prana Jiwo adalah lembaga audit independen yang dipercaya untuk menganalisis bagaimana sebuah perusahaan. Apakah dia sehat secara finansial atau tidak,” papar Laut.

“Lalu kenapa kalian terkenal?” Kamu melihat ke arah Laut yang tertawa mendengarnya.

“Sebenarnya, kami dulu tidak terkenal. Lalu, kejadian itu, lagi-lagi, membuat kami harus muncul ke publik. Jadi, ya, seperti yang kamu tahu sekarang, ayahmu adalah ikon untuk Prana Jiwo. Sementara aku, berada di belakang layar,” ulas Laut.

“Rumit,” kata Kamu singkat.

Mereka tiba di rumah setelah hari gelap. Darma, Sari dan Amira menunggu mereka di teras.

“Kalian dari mana?” tanya Sari.

“Kamu sudah menemukan teman, kami tadi hang out. Kamu juga membeli kamera baru,” lapor Laut.

Kamu mengangkat tas yang berisi kameranya dengan wajah bahagia.

“Besok Kamu akan open trip ke keraton. Lalu ada tugas untuk membuat report, aku ingin membuat film pendek,” kata Kamu antusias.

“Wah pasti seru,” kata Amira.

“Siapa teman Kamu?” tanya Darma penasaran, karena Kamu itu susah sekali berteman dekat.

“Tiga anak gadis,” jawab Laut.

“Lha malah gadis?” Darma lebih tidak percaya lagi.

“Gak usah dibahas,” sergah Kamu sambil masuk ke kamarnya karena kesal akan banyak pertanyaan.

Mereka tertawa melihatnya. “Setidaknya, Kamu sudah mulai beradaptasi dengan keadaan di sini. Aku melihat ketiganya bisa mengimbangi Kamu,” kata Laut.

“Baguslah. Biar dia punya kegiatan juga,” imbuh Sari.

Pagi itu Sari dan Darma sudah sibuk di dapur. Sari menyiapkan sarapan dan bekal untuk Kamu open trip.

“Katanya Glagah akan pulang? Aku jadi penasaran ada masalah apa,” kata Sari.

“Mungkin kasus kali ini agak memerlukan perhatian lebih,” kata Darma.

“Aku hanya berharap mereka bisa menjalankan peran dengan baik sampai nanti saatnya ada regenerasi.” Sari memasukkan roti isi ke kotak bekal Kamu.

Kamu bersiap dengan tergesa, semalam dia tidur larut karena mengutak-atik kamera baru dan mencari tutorial di internet.

Setelah memasukkan kameranya ke ransel, dia keluar kamar dan menuju dapur.

“Hari ini, Kakung yang akan mengantar Kamu. Paman Laut harus mengantar Bibi Amira ke rumah sakit dan ada urusan,” kata Darma.

“Baiklah.” Kamu menerima kotak bekalnya dari tangan Sari lalu mencium utinya itu.

“Kamu senang di Solo?” tanya Darma setelah mereka menyusuri jalanan.

“Biasa saja, Kung,” jawab Kamu masih belum sepenuhnya merasakan bahagia.

“Tapi Kamu sudah mendapat teman, nanti bisa ajak teman Kamu buat main ke rumah, biar ramai,” kata Darma.

“Ish, Kakung seperti Paman Laut,” keluh Kamu membuat Darma terkekeh.

Darma menurunkan Kamu di gerbang sekolah dan berpesan untuk bersikap baik hari ini.

Ketiga anak gadis itu sudah menunggunya di sana. Beberapa bus sekolah sudah berjajar rapi. Jen melambaikan tangannya ke arah Kamu.

“Hati-hati, jangan membuat masalah,” pesan Darma.

Kamu memutar bola matanya malas. Dia sudah berusaha sebisa mungkin menghindari masalah.

Bu Septia mengumpulkan mereka sebelum berangkat. Memberikan beberapa peraturan dan apa saja yang akan mereka lakukan hari ini.

Kamu sudah tidak sabar untuk bertualang di tempat baru. Jika sebelumnya di ke keraton hanya sekedar untuk melihat-lihat.

Bus mulai berjalan. Kamu duduk di dekat Jen sementara Arum bersama Rin. Mereka tiba dan berbaria rapi untuk masuk ke keraton. Kebetulan hari itu pengunjung tidak begitu ramai.

Dwika menyenggol Kamu yang berjalan bersama Jen. “Aku bilang jangan membuat masalah,” bisik Dwika.

Kamu tak terima karena selama ini dia sudah menghindari Dwika, bahkan mengacuhkannya. “Aku tidak pernah membuat masalah denganmu,” kata Kamu.

Jen mencoba menahan Kamu, tapi tangannya ditepis dengan kasar oleh Kamu. Anak itu sudah mengangkat kerah baju Dwika.

“Aku sudah bersabar denganmu beberapa hari ini. Tapi kamu sudah melampaui batas,” geram Kamu.

“Lalu kamu mau apa? Memukulku?” tantang Dwika.

Tanpa basa-basi, Kamu melayangkan pukulannya. Dwika terhuyung ke belakang. Sambil mengusap pipinya yang memerah, dia maju menerjang Kamu yang sudah menyerahkan ranselnya pada Jen.

“Kamu sudah membuatku benar-benar marah sekarang!” teriak Dwika tepat di saat Pak Ratno memegangnya.

Dwika menoleh ke belakang dan melihat Pak Ratno dengan tatapan nyalang. “Dia yang memulainya,” adu Dwika.

“Bukan. Aku bahkan tidak mengenalnya,” kata Kamu membela diri.

“Benar, Pak. Dwika yang memulainya!” Jen menimpali.

Rin dan Arum mengangguk, beberapa murid berbisik-bisik mengiyakan. Dwika menatap mereka tak suka. Dalam hati dia merutuk dan mengutuk.

Kamu mengusap tangannya yang terasa linu karena sudah menghantam wajah Dwika.

“Kalian ikut Bapak!” perintah Pak Ratno tegas.

Dwika masih di pegang oleh Pak Ratno, Kamu, dan ketiga gadis itu mengikutinya menuju luar keraton. Anak-anak lain melanjutkan open tripnya.

Mereka menuju bus terdekat. “Masuk!” perintah Pak Ratno. “Jelaskan!” lanjutnya setelah mereka duduk.

“Dia yang menyerangku terlebih dahulu,” kata Dwika.

“Tidak. Aku bahkan tidak tahu namanya, dan berusaha menghindarinya. Aku mungkin membuat kesalahan saat pertama bertemu, itu juga karena dia mengganggu mereka bertiga,” kata Kamu menjelaskan situasinya.

Dwika menatapnya marah. Tak terima dengan penjelasan itu.

“Benar, Pak. Kamu tidak melakukan apa pun yang provokatif, tadi Dwika menyenggol Kamu terlebih dahulu,” timpal Jen.

Pak Ratno tampak menimbang semuanya. Dia harus membuat keputusan tepat. Keputusannya harus berimbang. Jelas di sini, Dwika yang memancing masalah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro