[1] Kantor

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy Valentine para jomblooo😘

Nextnya, 160votes+60komen ah😋😋

Jangan lupa follow instagramku: chocodelette.
Thankyou😘

Bukannya ngga mau nikah, bukannya gagal move on juga, tapi ...

Dendi

Satu hal yang bisa dibanggakan dari seorang Dendi Paramayoga adalah ketepatan soal waktu. Pagi ini ia mulai masuk ke kantor yang membiayai kuliahnya dua tahun di Belanda. Kehadirannya disambut beberapa teman sejawat yang mengenalnya. Sisanya buang muka, ngga acuh dengan kedatangannya. Padahal, dia menggeret satu koper pink yang isinya oleh-oleh buat orang kantor. Matanya memicing pada orang-orang baru.

Iya, kopernya beneran warna pink.

Iya, Dendi suka pink. Suka banget malah.

Ngga bakal kena azab kan suka warna itu?

Gak gue kasih oleh-oleh lo pada. Bodo amat!

"Welcome back, ya ahli neraka!"

Dendi melemparkan tatapan tajam pada laki-laki yang berdiri di hadapannya sambil merentangkan tangan minta dipeluk. Ogah memeluk, Dendi malah berhenti menggeret kopernya. Melipat tangan di depan dada. "Masih belom naik pangkat juga lo ya?"

Laki-laki dihadapannya misuh-misuh. Kesal dengan pertanyaan yang Dendi lontarkan. Berjalan ke arah teman kantornya. Merangkulnya akrab. "Seenggaknya udah nikah." Laki-laki itu memamerkan cincin di jarinya. Menggerak-gerakan jarinya, pamer.

Dendi keki dibuatnya.

Laki-laki itu Jason. Teman kantornya yang dia tinggalkan untuk pergi kuliah. Dulu, dia dan Jason yang ditawarkan untuk kuliah di Belanda, tapi Jason menolak karena mau menikah. Suatu alasan yang ngga make sense buat seorang Dendi yang santai tapi ambisius.

Kalau kalian membacanya Jesen, kalian salah. Bacanya ya Jason.

Jangan sok bule deh!

Awalnya Jason marah karena nama bagusnya dirusak oleh Dendi, tapi Dendi ngga peduli. Dia ngga suka nama ke-bule-bule-an.

"Bodo amat."

Balik lagi ke alasan yang ngga masuk akal buat Dendi. Kenapa menikah jadi halangan buat meraih pendidikan? Maksudnya, toh mengejar pendidikan setinggi langit—apalagi sampai ke luar negeri dan gratis—itu akan memudahkan mencari uang. Setelah uang terkumpul baru menikah. Toh, calonnya belom tekdung duluan kan. Masih bisa nunggu gitu loh.

Tipikal orang Indonesia kan kalau lulusan luar negeri pasti dinomor satukan.

Urusan menikah. Oke, bukannya Dendi ngga mau nikah. Tapi ... pasangannya emang belom ada. Dendi ngga terlalu selektif dalam memilih pasangan. Namun, semenjak putus dari Dinda bertahun-tahun yang lalu, emang ngga ada yang bikin hatinya sreg aja. Bukannya gamon alias gagal move on, tapi emang belom nemu yang bikin hatinya dag dig dug serr aja gitu.

Persetan dengan semua teman-temannya, tetangganya, sepupunya yang lebih muda dari dia udah menikah. Dendi mau menikah kalau hatinya udah merasa cocok.

Satu lagi yang bisa dibanggakan dari Dendi. Ia menganut paham: menikah sekali seumur hidup.

Kalau khilaf, ya dua sampai tiga kali bisa juga.

Dendi ngga acuh dan memilih duduk di kursinya. Jason memilih oleh-oleh yang paling bagus duluan, sebelom diserbu orang kantor lainnya.

"Den buru nikah, enak tau." Jason tetap memberikan petuah pada teman kantornya.

"Heh! Anak kecil sok-sok nasehatin yang lebih tua," protes Dendi. Bola matanya hampir keluar.

Jason itu lebih muda 148 hari dari Dendi. Iya, Dendi yang ngitung harinya.

"Yee ini orang tua dibilangin ngga percaya. Tetangga gue nikah di atas umur tiga puluh, terus—"

"Mati?" sambar Dendi langsung. "Itumah udah takdirnya anjrit buat menghadap Tuhan Yang Maha Esa."

"Kagak bego." Jason memukul kepala Dendi dengan coklat di tangannya. "Impotensi."

"Tai lah!" Dendi geram. "Udah sana deh balik ke meja lo!"

Jason tertawa terpingkal-pingkal. Ekspresi yang Dendi keluarkan benar-benar diluar dugaannya.

Masih ngotot memberi petuah tentang pentingnya pernikahan, Jason tetap duduk di atas meja Dendi. Hal itu bisa dilakukan kalau bos besar mereka lagi ngga ada di ruangan. Antara telat dan ngga dateng sama sekali. Udah biasa. Bos besar yang banyak uang. Suka-sukanya aja mau ngapain.

"Inget umur Den." Jason memulai sesi ceramahnya lagi.

Ya, ya, ya, Dendi ingat akan umurnya yang udah kepala tiga. Tapi, menurutnya, untuk ukuran laki-laki menikah di kepala tiga hal yang wajar. Justru kalau menikah waktu kepala dua Dendi heran. Ngebet banget apa itu cowok? Begitu pikir Dendi.

Ngga wajar karena lo anak bungsu, Den. Nyokap lo udah tua. Ponakan lo udah bejibun. Bangsuuuul!

Dendi memijat pelipisnya. Wejangan-wejangan seperti ini udah dia dapat dari Mamanya dari kemaren sore. Ditambah tiga kakak perempuannya yang kemarin malam datang ke rumah membawa semua anak-anak mereka.

Alasan lain kenapa Dendi belum ada niatan menikah sampai saat ini adalah dia ngga terlalu suka sama anak kecil. Hell-yeah, mereka terlalu berisik dan terlalu banyak mau. Kalau ngga diturutin nangisnya lebay banget. Kaya mau disembelih sama mak bapaknya.

Sapi sama kambing mau di qurban aja ngga sebegitu nangisnya.

Alasan lainnya lagi, Demi Tuhan Dendi baru pulang kuliah. Rasanya tabungannya selama ini belum cukup untuk membiayai keluarganya kelak. Rumah masih numpang sama orang tua juga.

Intinya, untuk target menikah itu ngga ada di kamus kehidupan Dendi. Ngga jadi salah satu dari sekian banyak life goals gitu. Menikah ya syukur, ngga menikah juga rapopo.

"Den, mau gue kenalin sama cewek ngga? Cakep, body-nya aduhai shay," Jason melambaikan tangan seperti banci-banci di lampu merah. Mengelus pipi Dendi yang langsung merasa jijik.

"Mau."

Laki-laki dimana pun selalu sama. Belom ada pikiran untuk menikah atau hal-hal yang membutuhkan komitmen lainnya, tapi kalau ada cewek yang aduhay mana bisa nolak? Ya, kecuali kalau udah ada cincin yang melingkar di jarinya terus istrinya galak.

"Dyvette!" Jason meneriakan sebuah nama.

"David? Cowok? Transgender? Gak mau gua!"

Seorang perempuan datang. Ia memakai dress merah yang membingkai seluruh lekuk tubunya dengan pas. Rambut panjangnya terurai ke belakang. Dandananya rapi dan menawan, tapi bibirnya merah menyala. Sangat menyala, bahkan.

Sexy banget, anjrit! Ngga kuat iman gue!

"Gede banget," ucap Dendi spotan. Mulutnya terbuka. Matanya fokus ke salah satu area tubuh wanita yang menonjol.

"Gimana?" perempuan itu bertanya.

Jason berusaha menahan tawanya. Ia tau apa yang ada dipikiran teman kantornya. Pikiran kotor pasti.

"Dendi ini Dyvette, Dyvette ini Dendi." Jason memperkenalkan keduanya.

Perempuan mengulurkan tangan pertama kali. "Dyvette."

Dendi yang masih melongo pun tersadar. Pikirannya terlalu liar barusan. "Dendi."

"Baru balik dari Belanda ya, Mas?" Dyvette mulai bertanya.

Aduh, deg deg ser hati gue dipanggil Mas sama cewek macem begini.

"Iya." Dendi sok cool.

"Gimana Belanda? Seru?" Dyvette bertanya lagi. Diakhiri senyum yang menawan.

Anjrit! Senyumnya melunturkan iman. Panas ya kantor ini...

"Seru."

Dyvette mengangguk-anggukan kepalanya. Memberikan senyum agak kikuk pada Jason dan Dendi. Dia merasa dirinya terlalu dominan untuk pembicaraan antara dia dan Dendi. Kata orang-orang di kantor yang mengenal Dendi, dia itu laki-laki cerewet yang mudah berbaur dan asik diajak ngobrol. Tapi ... kenapa ngobrol sama Dyvette jadi singkat padat jelas gini ngomongnya?

"Aku balik ke meja dulu ya, Mas."

Yah ... kok cepet banget sih baliknya?

Dendi mengangguk. Jason pun mengangguk. "Selamat bekerja, Dyvette!"

Setelah punggung Dyvette menghilang dari pandangan, pukulan keras mendarat di bahu dan kepala Dendi. Jason yang melakukannya. Sangat geram dengan ulah teman kantornya yang mendadak kaya orang gagu tadi.

"Eh, bangsat! Gila lo ya? Cewek secakep itu kenapa lo cuek?"

Dendi mengambil sapu tangan di kantong celananya. Mengelap bulir keringat yang menetes di dahinya. "Deg-deg-an gue tadi."

Jason yang tadinya kesal malah sekarang tertawa. "Dia anak magang."

Seketika, Dendi melotot. Anak magang? Setua itu mukanya? Kirain, karyawan tetap. Anak magang kan biasanya anak-anak dari universitas sekitar kantor. Magang buat memenuhi nilai kuliahnya.

Asli, mukanya tua banget untuk ukuran anak kampus. Mungkin karena dandanannya. Atau mungkin dari dia berojol emang udah tua begitu mukanya. Apalagi badannya se-seksi itu. Lebih cocok jadi ayam kampus.

Ngawur bego, Den!

"Tua banget." Komentar itu lah yang keluar mulut Dendi. Masih ngga percaya.

"Kalo di otak lo magang karena disuruh kampus, lo salah."

"Jadi?" tanya Dendi.

"Dia anaknya bos besar," cerita Jason. Bos besar itu maksudnya bos mereka yang memiliki perut super buncit. Layaknya bapak-bapak pada umumnya. "Lulus kuliah udah 3 apa 4 tahun yang lalu gitu, tapi lebih milih jadi makeup artist daripada kerja kantoran."

Dendi mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. Percaya kalau dia udah lulus beberapa tahun yang lalu. Lagi-lagi Dendi yakin karena mukanya terlalu tua kalau Jason bilang baru lulus tahun kemaren. Dan makeup artist? Dendi pasti percaya. Keliatan dari dandanan dan gayanya. Tipe-tipe cewek yang emang doyan banget sama makeup.

"Kenapa?"

"Passion-nya disana."

"Anak bos kok magang?" Dendi terus menggali informasi.

"Sebenernya dia ngga mau kerja disini, tapi lo lah tau gimana bapaknya. Katanya sih, kemaren magang buat masa penjajakan sama kantor ini dulu." Jason menjelaskan sambil memakan coklat karamel.

Dendi mengangguk paham. Bos besarnya itu tukang paksa. Ingat betapa bosnnya memaksa Jason untuk ikut program beasiswa karena dirinya dan Jason termasuk anak-anak potensial di kantor ini. Tapi dengan kekuatan super emak-emak, Ibunya Jason berusaha meyakinkan bos besar kalau Jason lebih baik disini. Dengan drama nangis-nangis dulu.

"Berarti kalo dia ngerasa ngga cocok dia boleh ngga kerja di kantor ini?"

"Engga," jawab Jason cepat. "Yah elah, ini anaknya bos besar, bego! Lo tau kan gimana bos besar bakal ngelakuin 1001 cara buat dapet apa yang dia mau."

Dendi mengangguk. "Bawa mak lo aja kesini lagi. Luluh itu bos besar kalo sama mak lo."

"Babi!"

1 kalimat buat Dendi...

*Dyvette itu dibacanya Dayve

◇14/2/18◇

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro