[2] Dyvette si Anak Magang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ciaahhh si Dendi balik lagi nih!

Jangan lupa follow instagramku: chocodelette.
Thankyou😘

Ngga menghargai usaha orang banget, sih!

-Dyvette

Lima hari sudah Dendi lalui di kantornya. Sejak hari pertama ia kembali bekerja, bos besarnya yang selalu datang siang itu sudah menugaskan dirinya untuk membimbing Dyvette. Kata si bos, Dendi lah yang paling berilmu daripada yang lain.

Dendi sih seneng-seneng aja ya bisa ngajarin anaknya bos besar, lumayan buat cuci mata setiap hari gitu. Tapi, mengajarkan Dyvette itu membuat kerjaannya semakin bertambah. Dia juga harus mengerjakan tugas-tugas kantor seperti biasa. Sejak hari pertama dia bekerja pun, ia sudah dan selalu lembur karena Dyvette selalu nanya-nanya sampe-sampe dia ngga bisa fokus ngerjain kerjaannya.

Hmm, bukan gagal fokus karena itu-nya Dyvette ya, tapi karena keseringan nanya ngebuat Dendi malah lebih sibuk ngurusin kerjaan itu anak magang.

Tangan Dendi sedang sibuk menari-menari di atas keyboard laptopnya. Matanya bergantian memerhatikan layar sekaligus berkas yang dikerjakan. Jam sudah menunjukkan hampir sepuluh malam sekarang. Kerjaannya masih banyak. Seharian ini dia benar-benar ngga bisa menyelesaikkan berkasnya sama sekali. Dyvette diberi pekerjaan. Dendi diminta untuk menemani –duduk disebelahnya, mengajari—sampai pekerjaan itu selesai.

"Mas, kopinya."

Dendi menoleh sedetik dengan alis terangkat. Lalu kembali fokus ke pekerjaannya lagi. Masih ada dua tumpuk berkas yang harus diselesaikan malam ini. Sebenarnya, deadline-nya masih senin depan. Tapi, Mamanya melarang membawa kerjaan ke rumah. Jadi, ya harus lembur untuk menuntaskan semua. Lagipula, dalam kamus hidup Dendi: sabtu itu hidupnya dikuasi Kanjeng Ratu di rumah dan minggu adalah harinya.

Setiap minggu dia sama sekali ngga mau diganggu sama hal apa pun. Entah itu kumpul keluarga atau kumpul-kumpul sama temen. Pasti akan dengan penuh semangat ditolak kalau ada acara hari minggu.

"Thanks."

Masih tetap fokus pada pekerjaan. Namun, mata kanan Dendi menangkap pergerakkan yang Dyvette lakukan. Ia menarik kursi dari kubikel Jason. Duduk persis di sebelah Dendi dan memainkan ponselnya.

"Udam malem, ngga pulang?" tanya Dendi. Menoleh sebentar pada perempuan di sebelahnya. Saat perempuan itu hendak menjawab, kembali fokusnya ke pekerjaan.

"Kata Papi suruh nunggu Mas Dendi pulang dulu."

"Hm?"

Dendi mengambil cangkir yang tadi Dyvette berikan. Isinya kopi hitam. Dendi suka kopi hitam, kopi kental apalagi. Laki-laki itu kurang suka minuman manis. Karena dirinya sudah manis, katanya. Melirik Dyvette karena ngga mendapat tanggapan apa-apa.

Tadi Dendi bilang 'hm' itu maksudnya bertanya loh.

Dendi sekarang ngga sebawel Dendi yang dulu. Kecuali sama Jason ya. Sama Dyvette pun dia termasuk irit ngomong. Bukannya gimana, awalnya dia emang agak tertarik sama perempuan ini. Cantik, modis, sexy, ya tipikal cewek yang banyak digilai sama semua laki-laki lah.

Tapi ... semenjak Dendi dititipkan Dyvette dan dia merasa hidupnya ngga sesantai dulu, dia jadi bete sendiri. Di kantor jam delapan sampai jam lima. Itu normalnya. Jason bekerja seperti orang normal. Tapi Dendi engga. Dia bahkan jarang keluar dari gedung kantornya jam delapan. Pasti diatasnya.

Dia merasa mengerjakan tugas dua orang. Dyvette apa-apa nanya. Kaya ngga paham-paham gitu sama yang udah diajarin. Dendi mau kehidupan kaya Jason yang normal dan punya waktu istirahat yang cukup. Karena faktanya, Dendi sampai rumah jam sebelas malam pun ponselnya akan berdering. Dyvette masih suka bertanya padahal udah tengah malam.

Kalau udah makan belom, udah mau tidur ya, jangan lupa cuci kaki sama cuci tangan, jangan lupa berdoa sih mungkin Dendi bakal seneng. Tapi ini tentang pekerjaan dong. Malesin banget.

Ngerti sih keadaannya Dyvette ini itungannya anak magang yang polos kinyis. Ceritanya dia lagi kaya masuk labirin dan tersesat di kantor ini. Tau kok. Tapi, harusnya bisa dong belajar. Ini engga...

Sadar kalau dia ngga akan direspon karena perempuan disebelahnya malah asik sama ponselnya, Dendi berdeham. Kali ini bahkan badan serta kursinya berputar 90 derajat demi menatap perempuan itu.

"Kamu mending pulang aja, saya masih lama." Dendi serius. Bukannya bermaksud mau kurang ajar atau ngusir, tapi emang lebih baik dia ngga ada disini.

Walaupun Dendi tipikal ekstrovert yang ngga suka sepi, tapi kali ini dia mau sendiri. Ya, seenggaknya kalau ditemenin pun jangan sama anak bosnya lah. Dendi ngga enak kalau kerja ditungguin. Rencananya dia mau kerja sambil dengerin lagu. Kalau jenuh, dia mau nonton film pembelajaran pake wi-fi kantor bukan pake paketnya. Dan itu ngga akan mungkin dilakukan kalau ada orang disebelahnya. Apalagi perempuan.

"Ngga, Mas. Kata Papi aku baru boleh pulang waktu Mas Dendi selesai."

Dendi memutar mata malas.

Ini anak terlalu nurut apa terlalu bloon, sih? Kan bisa tinggal bilang ke Papinya kalo gue udah kelar.

Tangan Dendi berhenti menari di atas keyboard laptopnya, ia berpikir harus dengan cara apa untuk mengusir anak bosnya ini supaya bisa pulang—ya ngga harus pulang sih, yang penting tinggalin Dendi sendiri gitu.

Lagipula, kalau Dyvette masih ada di kantor selarut ini, normalnya seorang laki-laki yang gentle kaya Dendi musti nganterin pulang dong? Dendi ngga mau, ngga searah, muter ke rumah bosnya jauh, bensin mobil udah sekarat.

"Saya nginep di kantor." Akhirnya kata-kata itu yang Dendi rasa masuk akal untuk mengusir perempuan di sebelahnya.

Dyvette mengalihkan pandangan dari ponselnya ke arah Dendi. "Jangan nginep di kantor, Mas, mending nginep di apart-ku aja.

Dan, Dendi lemas mendapat tawaran seperti itu.

Hari Senin, jam 8:30 pagi, bilik Dendi masih kosong. Sayang banget, padahal Jason bawain sarapan yang dibuat sama istrinya buat Dendi, buat pamer sekaligus motivasi supaya perjaka tua itu buru-buru menikah.

Bola mata Dyvette menatap jam dinding dan bilik Dendi bergantian dan terus-menerus selama 10 menit terakhir. Semua orang di kantor tau Dendi bukan orang yang suka telat, jadi Dyvette curiga jangan-jangan Dendi ngga masuk, dia musti nanya kerjaannya ke siapa.

Dyvette berjalan ke ujung ruangan, menghampiri bilik Alin, dan bertanya, "Mas Dendi ngga masuk ya?"

Jadi urusan cuti dan laporan kerja setengah hari itu salah satu kerjaannya Alin. Alin menggeleng, "mungkin masuk siang, mungkin juga cuti." Alin mengangkat ponselnya lalu menunjukkan isi chatnya dengan Dendi ke Dyvette.

"Wiii, kenapa nih nyariin si Dendi? Kangen ya?" Jason terbahak-bahak, diikuti tawa Alin juga. Tanpa mereka sadari, wajah Dyvette bersemu merah.

"Emang kemana si Dendi? Kok tumben jam segini belom dateng?" tanya Jason sambil mengambil pulpen dan kertas di meja Alin untuk menuliskan bahwa dia akan kerja setengah hari karena hari ini adalah hari anniversary pernikahannya.

"Ngga tau. Cuma bilang gini, 'lin gue masuk siang ato ga cuti ya'" ucap Alin sambil membacakan pesan dari Dendi yang masuk ke ponselnya.

Dyvette kembali ke mejanya masih dengan wajah bersemunya. Dyvette cepat-cepat mengambil ponselnya lalu mengetikkan sebuah pesan untuk Dendi.

Dyvette Pastika: Mas, ngga ke kantor?

Dyvette Pastika: Mas  sakit ya?

Setelah mengirimkan pesan tersebut, ia pergi ke pantry untuk membuat teh hijau untuknya, meninggalkan ponselnya yang sedang diisi daya. Cukup lama di dalam pantry, ia berpikir, kok bisa Dendi ngomong gue-elo ke Alin tapi waktu ngomong sama dia malah ngomongnya saya-kamu.

Ia kembali ke mejanya dan langsung mengecek ponselnya, namun tidak ada pesan balasan dari Dendi, membuat hatinya sedikit gelisah. Ia benar-benar bingung harus mengerjakan tugasnya bagaimana, selama ini Dendi selalu ada di biliknya dan akan menjawab pertanyaan darinya.

Jangankan mulai mengerjakan tugas kantornya, melihat nama-nama dan tanggal dalam berkas aja sudah membuat Dyvette pusing-pusing.

Ia memasang earphone ke kupingnya dan mencolokkan ujung satunya ke laptop, dan memilih untuk membuka YouTube dan menonton video tutorial make up. Kesukaannya.

Entah sudah berapa banyak video yang ia tonton, yang ia tau ponselnya belum ada pesan masuk dari Dendi dan itu benar-benar membuatnya gusar. Ia lirik sudut kanan bawah laptopnya, jam 10:48, 12 menit lagi Dendi ngga dateng berarti beneran cuti.

Dengan cepat ia mencabut ponselnya dan berjalan lewat pintu belakang karena lebih dekat dengan toilet. Setelah mengunci pintu toilet, ia mencari nama Dendi lalu menekan tombol hijau di layarnya.

Dendi menekankan jarinya ke alat pendeteksi sidik jari di kantor. Setelah mendengar kata thank you dari mesin itu, matanya memerhatikan jam yang tertera di layar hijau. Jam 10:50. Ia belum telat karena maksimal masuk jam 11:00 kalau kerja setengah hari.

Pagi tadi kepala Dendi pusing, matanya kunang-kunang, sehingga ia memberi tau Alin bahwa dia akan masuk siang atau cuti sekalian. Sesudahnya, ia tak mengecek ponselnya lagi karena pusing di kepalanya. Sampai di kantor ini pun kepalanya masih sedikit pusing, makanya ia memilih naik taksi ke kantor.

"LAH! Dateng ni bocah." Jason menyapa Dendi yang dibalas dengan anggukan.

Setelah ia duduk, ponselnya menyala memperlihatkan ada 6 telpon yang tidak terangkat. Saat ia ingin melihat siapa yang menelpon, ponselnya bergetar lagi mengantarkan tulisan Anak Magang. Keningnya berkerut, lalu ia berdiri sedikit dan melihat meja perempuan itu kosong.

Digesernya gambar telpon warna hijau, lalu mendekatkan ponselnya ke telinga.

"Mas Dendi ngga ngantor?"

Dendi mengernyit mendengar nada perempuan itu.

"Mas sakit ya?"

"Ngga," jawab Dendi singkat.

"Kok Mas ngga ngantor? Aku kuatir Mas kenapa-napa," ucap perempuan itu lagi.

Kuatir? Apa yang perlu dikuatirkan?

"Ngantor."

"Mas di kantor?" nada perempuan itu berubah.

"Iya."

Telpon terputus begitu cepat, membuat Dendi kebingungan dengan perempuan itu. Kalau kupingnya ngga salah mencerna, tadi pas awal nelpon suara Dyvette terdengar panik tapi setelah ia bilang ia masuk kantor, nadanya jadi berubah ceria.

Kenapa?

Tak mau ambil pusing, Dendi menyalakan laptopnya dan langsung membuka e-mail untuknya, sekitar 15 menit ia membuka satu per satu e-mail yang masuk, tiba-tiba perempuan yang tadi menelponnya sudah berdiri di hadapnnya. Membuat nafasnya berat.

"Ini buat Mas," perempuan itu meletakkan sebuah gelas beling kecil tanpa penutup yang bisa langsung terlihat bahwa isinya coklat panas juga meletakkan sepiring cookies di meja Dendi.

"Buat saya?" tanya Dendi ragu.

Dyvette mengangguk semangat sambil memamerkan senyum manisnya.

Dendi menolak. "Buat kamu aja, saya ngga terlalu suka manis." Karena ia merasa dirinya sudah terlalu manis.

"Buat gue aja, gue mau kok!" teriak Jason dari meja sebelah.

Dendi sontak menoleh ke arah Jason, lalu dengan alis terangkat menatap perempuan di hadapannya. "Itu Jason mau."

Dyvette menelan ludahnya. Memandang Dendi jengkel. "Yaudah Mas Dendi kasih aja ke Mas Jason," ucapnya dengan nada ketus.

Dalam hati Dyvette berharap dengan ia memperdengarkan suaranya yang marah, laki-laki yang telah membuatnya berlari ke kantin bawah dengan hak setinggi 10 senti ini mengerti bahwa coklat panas dan cookies itu sengaja ia beli untuknya.

"Nih, Son, ambil." Dendi mengangkat gelas dan piring yang berisi kue itu, menyuruh Jason mengambil.

Jason baru mau berdiri, namun mengurungkan niatnya setelah mendengar suara Dyvette, "ngga menghargai usaha orang banget sih." Sebelum wanita itu lagi-lagi berjalan cepat ke arah pintu belakang dan membanting pintu itu.

Dendi melihat kepergian perempuan itu dengan bingung. "Dia kenapa?"

01/05/19

Ada yang masih inget Dendi itu siapa? Hahahah

Mau ingetin lagi Dyvette dibacanya dayve ya😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro