[10] Kehadiran Arkan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kalo boleh, vote dulu sebelum baca, vote+komentar kalian berharga dan jadi semangat banget buat aku😁

350+ votes ya?😊😊😊

Follow instagramku: chocodelette.
Thankyou😘

Enjoy!

Kerjaan gue makin banyak, kok saldo masuk tiap tanggal 25 ngga ikutan makin banyak sih?
😑😑😑

-Dendi-

"Saya harap bisa bekerja sama dengan baik."

Namanya Grafebo Arkan Pramuditya. Berumur 32 tahun. Berbadan tinggi dan atletis karena keliatan dibalik kemejanya ada dada yang cukup bidang yang bikin perempuan-perempuan disini - termasuk ibu-ibu yang udah punya anak pun - menatapnya dengan kagum, kecuali Dyvette tentunya. Dia memiliki kulit sawo matang dan senyum yang menawan. Dari kalangan keluarga kaya raya pula.

Dendi bisa lihat, di jidatnya Arkan ada stempel bertulisan: CALON SUAMI POTENSIAL.

"Dendi, bisa bicara sebentar?"

Sebelumnya mereka sudah saling berkenalan. Jelas, yang laki-laki ditambah Dyvette memasang wajah datar, sedangkan yang lainnya memberikan senyum-senyum genit.

Dendi mengangguk. "Bisa."

Semua karyawan meninggalkan ruangan Arkan, kecuali Dendi dan Dyvette.

Dyvette ngga mau pergi karena penasaran apa yang bakal diomongin Arkan ke Dendi.

"Dyvette, ada yang mau kamu sampein?" Arkan membuka suara saat melihat perempuan itu bergeming di tempatnya.

"Aku nunggu Mas Dendi," jawab Dyvette sinis.

Dendi menoleh ke Dyvette. Alisnya naik. Lalu kembali memperhatikan Arkan yang wajahnya mengeras.

"Tunggu di meja kamu aja."

Dyvette mendadak lesu. Tapi dia ngga bisa ngelawan perintah Dendi, perintah apa pun itu. Entah kenapa, jiwa nakalnya bisa tunduk sama Dendi. Dia berjalan keluar, ke arah mejanya, namun ngga memilih duduk - melainkan berdiri memperhatikan Dendi di ruangan Arkan.

"Kamu bisa bikin Dyvette tunduk." Arkan berucap dengan nada sangat datar, ia melemparkan tatapan tajam pada Dendi.

Dendi tau kalau atasan barunya ini berusaha mengintimidasi, tapi hal kaya gitu ngga akan mempan sama dia.

"Mau ngomong apa, Pak?" Dendi mengalihkan pembicaraan.

Demi sopan santun, ia memanggil Arkan dengan sebutan itu. Padahal usia mereka hanya terpaut dua tahun.

"Om Fristman bilang kamu yang paling bisa diandalkan di kantor ini."

"Oh ya?" Dendi pura-pura bego. Padahal ia tau memang cuma dia yang bisa diandalkan di kantor.

"Saya ngga ngerti apa-apa soal hukum, saya mau kerja disini karena ada Dyvette."

Dendi menganggukan kepalanya. Ternyata ada juga yang tingkat bucinnya sebelas dua belas sama dia. Dia bakal ceritain ini ke Caesar karena ngga mau dihina sendirian.

"Terus?"

Arkan melipat tangannya di depan dada bidangnya. "Kamu harus jadi back up saya, saya bakal belajar banyak dari kamu."

Dendi menaikkan alisnya. Kesal, makin banyak aja kerjaannya berarti. Nasib lah jadi budak korporat, perintah atasan kan ngga boleh dilanggar. Kerjain kerjaan dia sama Dyvette aja udah repot, udah selalu pulang minimal jam sembilan malam.

Apalagi ditambah harus ngajarin Arkan? Sekalian aja kos di kantor, pulang baru sabtu minggu.

Namun, semua itu dipendam dalam hati. Hanya anggukan yang diberikan sebagai tanda setuju.

"Saya juga harus belajar bikin Dyvette tunduk."

Jam makan siang sudah lewat sepuluh menit, ruangan sudah sepi karena para karyawan sudah pergi.

Arkan kini berdiri di sebelah meja Dyvette untuk mengajaknya makan siang. Ditolak, udah pasti.

"Masih ada kerjaan yang belom selesai kan, Mas?" Dyvette menghadap ke Dendi, ia melemparkan pelototan minta pertolongan.

"Iya."

Dyvette tersenyum senang. "Mending Mas Arkan makan duluan aja."

Dendi mendongak, melihat ke arah Arkan. Ekspresi yang dihasilkan wajahnya masih sama seperti tadi saat Dyvette bilang mau menunggunya. Rahangnya kaku, matanya tajam.

Arkan di tempatnya, mengepalkan kedua tangannya. Memandang Dendi dan Dyvette secara bergantian. Namun, sepertinya Dendi dan Dyvette sama sekali ngga takut dengan tatapan Arkan sehingga akhirnya ia memilih pergi.

Dyvette merenggangkan tubuhnya. Baru setengah hari ia bekerja, tapi tubuhnya sudah pegel. Sedangkan Dendi disampingnya hanya melirik sekilas.

"Mas, makan di restoran depan yuk."

"Ngga mau."

"Yah, kenapa?"

"Mahal," jawab Dendi cuek.

Dyvette mengangguk. "Iya, ya, pasti nanti Arkan makan disitu."

"Hm." Dendi fokus pada laptop Dyvette, membaca ulang ketikan anak magang itu.

"Makan di kantin aja yuk, Mas."

"Kamu aja."

"Kok gitu?" Dyvette memanyunkan bibirnya.

"Kalo saya mah beneran kerjaannya belom selesai." Dendi menyindir.

Dyvette mendadak lesu. Dia sebenernya ngga enak hati sama Dendi, dia selalu ngerepotin Dendi sampai-sampai kerjaan Dendi emang ngga pernah selesai di jam pulang kantor. Jangankan selesai, kadang disentuh aja belom.

Dendi baru bisa menyentuh kerjaan utamanya minimal setelah jam empat sore, disaat kerjaan Dyvette udah rampung.

Dendi balik ke mejanya. Membuka laptopnya dan mulai fokus membaca agendanya hari ini.

Biasanya jam makan siang gini, Dyvette selalu makan bareng Jason tapi karena hari ini ada Arkan, Dyvette lebih milih buat nungguin Dendi - sekalian pengen nunjukkin ke Arkan kalau dia itu sukanya sama Dendi.

Dan biasanya, jam makan siang gini yang dimanfaatkan Dendi untuk mulai kerja karena ruangan udah sepi.

Dyvette menyusul Dendi, ia menarik kursi Jason ke sebelah Dendi dan jari-jarinya sibuk menekan layar ponselnya.

Dendi akan tetap menjadi Dendi. Sebaik apa pun dia di luar jam kerja, dia akan tetap menjadi Dendi yang menyebalkan kalau jam kerja - apalagi di kantor.

"Gih, makan siang sama yang lain."

Dyvette menggeleng. "Ngga mau, maunya sama Mas Dendi."

"Saya ngga keluar buat makan siang."

Dyvette mengangguk senang. "Aku udah deliv kok, Mas Dendi udah aku pesenin sapi sambal matah sama tumis kangkung."

Dendi menoleh sebentar ke arah perempuan di sebelahnya. Lalu mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Ia kembali sibuk membuka e-mailnya.

Dyvette hanya bisa menatap Dendi dengan kagum. Ulet, telaten dan kerja keras. Ia melihat sosok Papinya dalam diri Dendi.

"Daripada kamu liatin saya, mending kamu main hape aja."

Dyvette manyun. Dia bukannya malu karena ketauan ngeliatin Dendi, lebih ke arah sebel karena masa buat ngeliatin aja ngga boleh.

"Mas, sabtu pergi kemana?"

"Belom tau, mama saya belom ngajakin pergi." Dendi menjawab meskipun matanya fokus pada berkas yang baru ia ambil.

Dendi itu multi tasking dan hal itu menambahkan daftar alasan kenapa Dyvette kagum. Kata Mami-nya, kalau ngomong sama cowok terus didiemin tuh musti sabar - apalagi kalo si cowok lagi ngelakuin aktivitas lain. Ngga akan didengerin karena emang bisanya fokus sama satu kegiatan.

Tapi Dendi ngga begitu. Dia bisa sambil kerja, sambil dengerin orang, sambil ngejawabin juga.

"Mas, sabtu ini temenin Avi mau ngga?"

NGGAK!

"Kemana? Ngapain? Jam berapa?"

"Ke Hotel Mulia, datengin resepsi nikahan sahabat aku, acaranya sih jam tujuh malem."

Duh, males banget!

"Boleh."

Dendi merutuki mulut dan otaknya yang ngga sejalan.

Dyvette merangkul lengan Dendi dan berteriak senang. "Makasih Mas."

"Kenapa ngga minta temenin Arkan?" Dendi beneran penasaran.

Maksudnya, buat minta temenin ke dia kan lebih besar kemungkinan ditolaknya daripada diterima. Kalau sama Arkan mah ngga ada kemungkinan ditolak.

"Males banget."

Dendi mengangguk. "Kenapa ngga dateng ke nikahannya juga?"

"Nikahannya udah lewat Mas, tapi waktu itu aku emang ngga dateng."

Dendi menoleh. Lalu berniat meledek Dyvette. "Sahabat macem apa yang ngga dateng ke nikahan sahabatnya."

"Sahabat yang lebih milih nemenin orang yang disuka dateng ke nikahan tetangganya."

Lah gue dong? Elah kan, jadi ngga enak hati.

Dendi menelan ludahnya. "Ya udah sabtu saya temenin, saya jemput kalo perlu."

"Iya Mas, perlu banget."

Yah, salah deh nawarin ngejemput.

Dear Dendi...

Dear Dyvette...

30/05/2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro