[11] Anger Dendi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kalo boleh, vote dulu sebelum baca, vote+komentar kalian berharga dan jadi semangat banget buat aku😁

400+ votes gimana? WKWK

Follow instagramku: chocodelette.
Thankyou😘

Enjoy!

Cara orang menghargai kan beda-beda.
Kalo Arkan caranya muji, kalo gue caranya marah-marah dan sinis.
Terima ya bagus, kalo ngga terima ya bodo amat!

-Dendi-.

Rencana hari sabtu Dendi buyar.

Dendi berencana bangun jam dua belas, mandi, makan, terus niat hati mau tidur lagi dan bangun jam enam nanti karena mau ke nikahan sahabatnya Dyvette.

Ini cuma pengen bales budi aja, bukannya gue naksir Avi ya!

Seminggu kemaren bener-bener menguras otak dan kesabarannya. Gimana engga? Asli, seminggu kemaren Dyvette bener-bener nempel sama dia, dan selalu menjadikan kerja bareng mereka sebagai alasan untuk menghidari ajakan pulang bareng Arkan. Dan sialnya, Arkan selalu menagih kerjaan Dendi di hari itu juga jam pulang kerja.

Jadi, dia musti ngerjain double job di waktu yang bersamaan. Gimana ngga ngebul itu otak?

Tapi semua rencana indah itu literally gagal.

Dendi memarkirkan mobilnya di parkiran yang sama seperti seminggu yang lalu. Dengan panik, dia buru-buru turun dari mobilnya dan bergegas menuju pintu masuk rumah Bos-nya. Dia udah ngga kepikiran lagi mau ngitung berapa langkah untuk sampe ke pintu itu kalau dia lari. Yang dia tau, lumayan capek.

Percaya, ngga percaya, sekarang masih pukul 1:50. Dendi sendiri bingung kenapa dia rela ngejemput Dyvette se-siang ini padahal acaranya masih lima jam lagi. Pokoknya yang membuat dia sampe ke rumah mewah itu karena setengah jam yang lalu, Dyvette nelpon dia sambil nangis-nangis.

Dendi bukan tipe orang yang membawa ponsel kemana-mana kalau lagi di rumah. Dia meninggalkan ponselnya di kamar waktu dia makan siang. Pas dia balik ke kamar, ponselnya udah ada di ujung meja siap jatuh - karena ponsel Dendi dalam mode getar - waktu dia mau liat ponselnya, telpon masuk dari Anak Magang.

"Mas Dendi." Suaranya panik.

Bodohnya, Dendi jawab dengan santai. "Yo?"

"Mas jemput aku, kan?"

"Iya."

"Sekarang ya, Mas?"

Dendi kaget. Ini masih jam satu lewat dikit banget. "He?"

"Please, Mas..." Isakan pun mulai terdengar.

Pertanyaan bodoh keluar dari mulut Dendi. "Kamu kenapa?"

"Papi, Mas, Papi..."

Dendi langsung mematikan ponselnya. Mengambil pakaian yang pantas digunakan ke pesta - kalau misalkan jadi - dan langsung menaiki mobilnya.

Pintu rumah itu dibuka dan menghantarkan wanita paruh baya yang tingginya sedada Dendi, rambut wanita itu sudah setengahnya berwarna putih. Wanita itu menggeret koper.

"Bapak masuk rumah sakit?"

Dyvette datang ke muka pintu dengan wajah panik. "Mas kunci mobil mana?"

"Papi kamu masuk rumah sakit?" Dendi mengulang pertanyaan yang sama karena belum mendapat jawaban.

"Cepetan Mas, kasih kuncinya dulu."

Dendi mengeluarkan kunci mobil yang ada di saku celana jinsnya yang selutut, memberikan pada Dyvette dan Dyvette malah memberikan ke wanita paruh baya tadi yang menggeret koper.

"Mobilnya yang sedan, warna biru dongker, terus yang kucel ngga mengkilap ya. Tolong taroin disitu Mbok."

"Iya, Non."

Setelah mengucapkan terima kasih, Dyvette menarik Dendi yang masih kebingungan masuk ke rumah.

Disela kebingungannya, Dendi masih sempat mengeluh.

"Disebutnya doff."

"Apanya?"

"Yang kamu bilang ngga mengkilap, itu disebutnya doff bukan kucel."

"Ya, aku kan ngga ta-"

"Eh? Dendi?"

Lah gue kira ini anak nangis-nangis gara-gara bapaknya serangan jantung, kok ini si Pak Bos malah sehat bugar begini?

"Pak..." Senyum kikuk Dendi berikan.

Dendi langsung melayangkan tatapan bertanya ke perempuan yang berdiri di sebelahnya. Namun perempuan itu malah melemparkan senyum yang bikin dia ngga mengerti.

"Kalian jadinya mau jalan kemana?"

Mulut Dendi terbuka. Jalan apaan? Sekarang dia tau kalau dia udah masuk keperangkap Dyvette, membuatnya jadi kesel sendiri. Kenapa otaknya bisa sebodoh ini? Masa denger suara orang nangis aja bisa langsung ketipu.

Mana tadi isi pikiran Dendi udah berkeliaran jauh banget. Dia mikir antara Pak Bosnya kena serangan jantung tiba-tiba dan pikiran lainnya dia mikir kalau Dyvette disiksa bapaknya sendiri. Dan dia sadar keduanya adalah pemikiran yang sangat bodoh.

"Kemana Mas?" Dyvette tersenyum, alis matanya dinaikkan beberapa kali. Memberi kode.

Dendi makin kikuk senyumnya di depan Pak Bos. "Belum tau Pak, mungkin nonton."

Pak Bos menganggukan kepalanya. "Disesuaiin aja jamnya, nanti malem kamu musti ke nikahan Wizka, loh."

"Iya, Pi."

Dendi masih bingung dengan keadaan ini. Perasaan Pak Bosnya baik-baik aja, kenapa Dyvette musti nangis-nangis tadi? Apa jangan-jangan, Dyvette segitu kepengennya jalan bareng dia?

"Inget ya Vi, Papi ngga mau kamu jadi tukang make up, Papi kuliahin kamu mahal-mahal buat jadi penerus."

Dyvette mengangguk dan langsung pamit. Diikuti Dendi yang juga berpamitan.

Dendi bingung harus gimana. Mau marah susah, mau ngga marah juga lebih susah. Dia dijadii tameng sama Dyvette dari Pak Bos. Dendi inget sih pernah dikasih tau sama Jason kalau anaknya Pak Bos ini emang minatnya di dunia make up tapi dilarang sama bapaknya.

Tapi kalau emang dilarang, ngga ngejadiin Dendi sebagai tameng dong? Mana pake acara nangis-nangis segala, kan jadi bikin orang panik.

"Mas masih marah?"

Kini Dendi dan Dyvette berada di lobi Hotel Mulia, menunggu ada yang menjemput mereka.

Jadi, tadi di mobil Dyvette cerita untuk menebus kesalahannya yang ngga dateng ke akad nikah sahabatnya akhirnya dia bilang bakal nge-dandan-in waktu resepsi. Dan tadi dia ijin ke Maminya pas mau berangkat tapi malah ketauan Papinya. Dimarahin abis-abisan deh, makanya tadi dia nelpon Dendi sampe nangis-nangis.

Dan daritadi Dendi memilih diam karena benar-benar kesal.

"Udah ya saya mau pergi dulu, yang penting udah sampe hotel dan ngga ketauan Papi kamu kan?" Dendi mengatakan itu dengan nada sinis dan wajah datar.

"Mas, jangan marah gitu dong, Avi kan-"

"Avi!" Seorang perempuan berparas oriental memanggil Dyvette dan memeluknya. Lalu menoleh ke arah Dendi yang memberikan senyum seiklasnya. "Ini pasti Mas Dendi-Mas Dendi itu ya?"

Dendi mengangguk. "Dendi."

Perempuan berparas oriental itu membalas dengan cengiran lebar. "Bener ya kata Avi, Mas Dendi ternyata care padahal pas aku liat fotonya mukanya cuek gitu."

Dendi melemparkan tatapan menyeramkan ke Dyvette, sedangkan Dyvette hanya membalas senyum kikuk karena malu rahasianya dibongkar. Iya, rahasia kalau sering ngomongin Dendi bahkan sampe ngirim foto Dendi ke sahabatnya.

"Ayo naik."

"Saya pergi dulu deh."

Namun langkah Dendi terhenti karena tarikan dari tangan Dyvette, ia memohon lewat tatapan matanya untuk jangan pergi.

"Iya ikut ke atas aja Mas, rame kok di atas."

Dendi melihat dirinya di cermin.

Anjrit! Gue keren banget!

Setelah puas mengaggumi dirinya sendiri ia keluar kamar mandi.

Ia langsung merutuki dirinya dalam hati saat melihat Dyvette. Ia berjanji ini terakhir kalinya dia mau pergi bersama Dyvette. Harusnya waktu tadi di rumah dia nanya dulu perempuan itu pake baju yang modelnya kaya gimana.

Bukannya posesif atau apa, tapi Dendi cukup risih melihat perempuan yang dikenal pake baju se-terbuka itu.

Dendi memandang sinis ke arah Dyvette yang kini berjalan ke arahnya. Menarik nafas panjang lalu mengeluarkan secara perlahan, berusaha menahan emosinya.

"Kamu ngga punya baju lain?"

Dyvette yang ditanya seperti itu otomatis cemberut. Dia berpakaian seperti ini kan supaya Dendi terkesan karena dia jarang-jarang pake dress di hadapan Dendi.

Dengan lemas, ia bertanya, "jelek ya, Mas?"

"Iya." Dendi menjawab dengan datar dan dingin tanpa melihat ke arah perempuan itu.

"Cantik, kok." Suara Arkan terdengar lembut.

Dendi menoleh.

Dyvette merasakan tangan hangat membelai punggungnya yang terbuka. Membuat tubuhnya merinding.

Arkan mendekatkan bibirnya ke telinga Dyvette. "Seksi lagi."

Semua itu bisa Dendi lihat dan dengar. Tiba-tiba ia merasa kepalanya panas, matanya memicing ke arah Arkan dan Dyvette yang mematung di tempatnya. Lalu ia berjalan meninggalkan keduanya dengan langkah panjang.

"Mas Dendi..." Dyvette berusaha mengejar.

"Buat apa sih kamu sama dia - yang jelas-jelas ngga menghargai kamu?"

Langkah kaki Dendi terhenti. Ia balik menghampiri Arkan dan Dyvette. Melemparkan tatapan dingin pada Arkan.

Dendi mengulurkan tangan untuk Dyvette, memasukan jari-jarinya di sela jari perempuan itu dan langsung menariknya pergi untuk meninggalkan Arkan.

"Ayo."

Dendi langsung menuju meja prasmanan dan mengambil piring dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya masih menggenggam tangan Dyvette.

"Mas, Avi ngga tau kenapa ada Mas Arkan."

Dendi melepaskan genggaman tangannya.

Jangan kalian pikir Dendi melepas karena cemburu denger nama Arkan disebut, dia cuma mau ambil sendok sama garpu.

"Saya juga ngga nanya kan."

Dyvette ngga ngambil piring, kedua tangannya malah digunakan untuk memegang lengang Dendi yang dia baru tau ternyata cukup kekar.

"Mas, please malem ini jangan marah sama Avi, Avi pake baju ini cuma kepengen bikin Mas terkesan."

Dendi mendelik. Mata tajamnya lagi-lagi yang diberikan untuk Dyvette, membuat Dyvette semakin takut.

"Saya ngga terkesan sama sekali tuh."

Dendi nyebelin banget ngga sih di part ini?

Dear Dendi..

Dear Dyvette...

31/05/2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro