[12] Mampus lo, Arkan!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kalo boleh, vote dulu sebelum baca, vote+komentar kalian berharga dan jadi semangat banget buat aku😁

450+ votes ya?

Maafin belom balesin komen, nanti kubales ya😚

Follow instagramku: chocodelette.
Thankyou😘

ENJOY😁

Arkan bangsat!

-Dendi-

Sebulan di kantor berasa kaya setahun di neraka. Arkan iblisnya!

Selama sebulan kemaren, Dendi selalu nerima tugas seabrek-abrek di mejanya. Dan tugas di meja Dyvette kosong. Sebenernya ngerjain tugas sebanyak ini sih udah biasa, tapi biasanya dia ngerjain sampe jam sembilan malam. Sedangkan si setan Arkan nuntut itu untuk selesai jam enam sore, maksimal. Dendi bukan robot, jadi target iu selalu meleset.

Dyvette selalu menawarkan bantuan, tapi selalu ditolak sama Dendi - bukan mau sok hebat, tapi itu kan tanggung jawab yang dikasih ke dia.

Dendi tau kok kalau Arkan emang sengaja mau nyiksa Dendi sekaligus mau cari-cari kesalahannya.

Buktinya pagi ini, Dendi baru mendaratkan bokongnya di kursi dan melihat di mejanya ada satu amplop putih. Isinya bukan uang lembur kaya yang Dendi harapkan, isinya Surat Peringatan.

Yang gini ini nih, yang bikin males terlibat cinta segitiga di kantor. Pasti gue yang dapet apesnya.

"Perlu diperjelas itu apa?" Arkan duduk di atas meja kerjanya, tangannya ia silangkan di dada.

"Perlu."

"Saya rasa Om Fristman salah waktu bilang kamu yang paling bisa diandalkan di kantor ini."

Dendi bergeming.

"Kamu ngga bisa mengerjakan tugas dengan tepat waktu."

Mata, hati dan kepala Dendi memanas. Orang secerdas apa pun ngga akan bisa mengerjakan tugas sebanyak itu dalam tepat waktu tanpa bantuan siapapun.

Bandung Bandawasa aja bikin seribu candi dibantuin jin. Gila!

Dendi malas mendebat. Ia langsung keluar untuk kembali ke mejanya. Mood kerjanya hari ini hilang. Dia memilih memainkan ponselnya dan menceritakan kejadian ini ke Caesar sambil misuh sendiri.

Dendi memasangkan handsfree ke kupingnya dan menyetel lagu dengan volume paling kencang. Dia ngga mau diganggu sama siapapun untuk detik ini.

Ngga tau udah berapa judul lagu yang dia puter, tiba-tiba Dyvette udah berdiri di depan kubikalnya. Dia melepaskan handsfree itu dari telinganya.

"Kenapa?"

Dyvette geleng-geleng kepala. "Mas daritadi dipanggil Papi."

Dendi mengangguk dan langsung berdiri. Ia kaget melihat seisi ruangan menatapnya. Tapi dia ngga memedulikan itu, dia berjalan arah ke ruangan Pak Bos yang ada di sebelah ruangan Arkan - dan sepenglihatannya Arkan ngga ada di ruangan.

Dendi mengetuk pintu itu beberapa kali, dan langsung masuk saat dipersilakan.

Ternyata di dalam ruangan itu ada Pak Bos yang menatapnya dengan tenang dan Arkan yang melemparkan senyum sinis untuknya.

"Ada apa, Pak?"

Fristman tersenyum. Ia lalu mengangkat salinan Surat Peringatan yang tadi diberikan Arkan padanya.

"Jadi ini kenapa?"

Dendi tersenyum kecut. Dalam hati ia menghina Arkan si setan tukang ngadu itu. Dasar atasan ngga professional, bawa-bawa masalah pribadi ke kantor. Kalau mau ambil Dyvette ya ambil aja, toh bukannya dia kan yang kepengen Dyvette terus-terusan di sebelahnya.

"Dia ngga bisa nyelesaiin tugas dengan tepat waktu, Om, kinerjanya menurun."

Si bangsat! Kaya kinerja lo bagus aja, Nyet! Sebulan kerjaan cuma main hape doang, dikasih surat buat tanda tangan aja ngga pernah dibaca.

"Bener gitu, Den?"

NGGA LAH! Si Arkan aja yang ngga punya hati ngasih tugas segunung.

"Iya, Pak."

"Kenapa ngga bagi bareng Avi tugasnya?"

Arkan melotot.

"Kan waktu itu saya minta kamu buat ngajarin Avi - sekalian aja suruh kerjain tugas kamu, biar belajar itu anak."

Mampus lu! Senjata makan tuan, kan!

"Saya bingung beberapa kali saya cek, mejanya Avi kok kosong terus."

"Saya ngga enak, Pak, kalau musti nyuruh Dyvette bantu saya nugas." Dendi sok baik.

Oh iya, yang tau Dendi manggil Dyvette pake 'Avi' itu cuma mereka berdua, di depan orang kantor lain mah manggilnya Dyvette.

"Kok ngga enak? Anggep aja Avi itu aspri kamu."

Ngga enak, Pak, nanti ada yang cemburu lagi. HAHAHA.

"Kasian dong Om kalo Dyvette disuruh bantuin Dendi." Arkan berusaha mencegah.

"Justru kasian Dyvette nanti diomogin sama karyawan lain karena ngga kerja apa-apa."

Dendi masih bersorak dalam hati. Bukan bersorak karena dia bakal kerja bareng Dyvette, tapi dia seneng karena usaha Arkan yang ngebuat seolah-olah dia salah di mata bosnya mendapat karma instan.

"Hari ini saya minta Jason sama Avi tukeran meja deh."

Mampus, kebakaran jenggot kan lu.

Dendi bisa melihat dari sudut matanya kalau Arkan kini berdiri depan kubikal Dyvette. Kalau ngga salah udah sepuluh menit. Dan dari sepuluh menit itu, Dyvette udah berkali-kali nolak buat pulang bareng.

"Dy, tolong fotokopi ini dong." Dendi menoleh ke perempuan di sebelahnyan dan ke atasannya secara bergantian. "Eh? Lagi ngobrol ya? Saya fotokopi sendiri aja deh."

"Aku aja, Mas." Dyvettee langsung berdiri, mengambil beberapa lembar kertas di tangan Dendi. Dan langsung berjalan ke mesin fotokopi yang ngga jauh di depannya. "Berapa kali, Mas?"

"Tiga, terus tolong di-staples-in ya."

"Iya, Mas."

"Saya liat kamu jadi seenaknya nyuruh Dyvette."

"Kan minta tolong, Pak." Dendi cengengesan. "Pak Arkan sih ngasih tugas banyak, kan saya jadi butuh bantuan Dyvette, kan."

Arkan kembali ke ruangannya untuk mengambil tas. Seisi kantor udah pada pulang karena sekarang udah hampir jam tujuh.

Dyvette kembali dan menyerahkan fotokopiannnya. Dendi mengucapkan terima kasih lalu berfokus pada kerjaannya.

"Kamu pulang gih sama Pak Arkan."

Dyvette menarik kursi yang didudukinya supaya lebih dekat ke arah Dendi. Sebulan ini, Dendi super sibuk sampe Dyvette bisa dihitung jarang banget ngobrol apalagi ngeliatin muka Dendi. Bikin kangen.

"Ngga mau ah." Dyvette berucap pelan karena melihat Arkan sudah berjalan ke mejanya lagi.

"Dyvette, ayo! Mobil kamu kan udah dibawa pulang sama Om Fritsman."

"Masih ada kerjaan, Mas." Kesekian kalinya Dyvette menolak.

Dyvette mencubit paha Dendi minta pertolongan.

Dendi mau teriak tapi ngga mungkin dilakuin. Ia malah memilih membuka satu kasus dan mencetak itu. Satu cubitan lagi diterima oleh pahanya, kali ini cubitan yang lebih kecil, jadi perihnya lebih berasa.

"Itu tolong ambilin print-an dong di mesin fotokopi."

"Iya, Mas."

Arkan melihat pergerakan Dyvette lalu beralih ke Dendi yang dengan santainya ngga memandangnya balik, malah lebih memilih memperhatikan laptopnya.

Dyvette menyerakan pada Dendi.

"Kamu tolong tandain dong yang penting yang mana aja."

"Den, kamu bisa nyelesaiin itu besok, kan?" Arkan jengah.

"Maaf, Pak, saya bukan tipe orang yang suka nunda kerjaan." Dendi tersenyum dalam hatinya.

"Mas Arkan mending pulang duluan aja."

Arkan sudah mengepalkan tangannya. Kesal dengan penolakan yang ia terima. Tapi dia ngga mau nyerah buat dapetin hati Dyvette. Ia harus sabar menghadapi ini semua.

"Kata Om Fristman, kamu udah harus pulang."

Dendi kali ini mendongak ke arah Arkan. "Iya gitu? Tumben, biasanya kita lembur sampe jam sebelas Pak Bos ngga ngomel."

Dyvette berusaha menahan senyumnya mendengar ucapan Dendi, ia sangat senang dibantu untuk lepas dari Arkan.

Arkan memicingkan matanya, alis kanannya terangkat, rahangnya mengeras. Kehabisan kata-kata untuk mengajak Dyvette pulang.

"Saya pulang duluan kalo gitu."

Lima menit setelah Arkan keluar, Dendi kembali membuka suara.

"Udah ngga usah ditandain, saya lagi nandain itu di laptop."

Dyvette menoleh. Ia tersenyum. "Thanks ya, Mas, udah bantuin Avi."

Dendi menaikkan alis, lalu mengangguk kemudian. Ia merenggangkan tubuhnya sebentar.

"Kamu tidur aja, nanti saya bangunin waktu mau pulang."

Dyvette lebih senang mendengar itu. Dengan rasa bahagia yang membuncah di hati dan tekad besar karena sebulan kangen, dia mendekatkan kursinya ke Dendi lalu mendaratkan bibirnya ke pipi Dendi sedetik.

Anjrit, kenapa musti di pipi sih?

Pengen getok siapa? Dendi apa Arkan?😂😂

Dear Dendi...

Dear Dyvette...

01/06/2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro