[19] Do Fun!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Makin kesini, ceritanya makin gimana sih menurut kalian?

F

ollow instagramku: chocodelette.
Thankyou😘

Enjoy😆

Bodo amat kalo ada netijen yang bilang gue ngga sadar umur, orang gue mau mesra-mesraan sama pacar gue. Repot amat jadi netijen!

-Dendi-

Fristman berdiri di depan kubikal Dendi, memerhatikan anak buahnya dan anak gadisnya sedang serius mengerjakan sesuatu di laptopnya Dendi.

"Vi, kamu pulangnya masih lama?"

Dyvette dan Dendi mendongak bersamaan ke arah sumber suara. Fristman sudah melepas jasnya, dilipat dan digantung di tangannya sendiri.

Dendi langsung berdiri dan membungkukkan badannya ke Pak Bos. "Malem, Pak."

Fristman menahan tawanya dan menepuk bahunya beberapa kali. "Santai Den, kamu jadi lebay banget."

Dendi tersenyum kikuk walaupun dalam hati ia merutukki kebodohannya. Bener-bener kaku tuh dia sekarang kalo ketemu Pak Bos – kaya ketemu Presiden Korea, sampe harus bungkuk segala.

Dyvette melihat laptop dan berkas di hadapannya, baru sedikit yang selesai. "Masih Pi."

"Papi pulang duluan kalo gitu ya, mobil Papi bawa sekalian."

"Iya, Pi."

"Nanti Avi pulang sama siapa?" Fristman bertanya.

Sekarang sudah jam enam sore. Karyawan yang lain udah pada pulang menyisakkan Pak Bos, Dendi, Dyvette dan ... Arkan yang sedang berjalan ke arah mereka.

"Dyvette biar pulang sama saya, Om."

Fristman, Dyvette dan Dendi menoleh bersamaan. Fristman berusaha menahan tawanya saat ujung matanya melihat ekspresi marah yang dikeluarkan Dendi dan Dyvette.

"Bapak bisa pulang duluan, Dyvette sama saya pulangnya." Dendi mengatakan itu pada Pak Bos dan penuh penekanan untuk Arkan.

Arkan melempakan tatapan tajam pada Dendi yang dibalas tatapan nyerah-aja-lo-sana oleh Dendi.

"Iya, Mas Arkan pulang aja mending, aku sama Mas Dendi," setelah mengatakan itu, Dyvette langsung melingkarkan tangannya pada lengan pacarnya

Arkan menyipitkan mata dan menahan erangan kesalnya. Tangannya terkepal di sebelah tubuhnya, namun ia berusaha menahan emosi karena ada Fristman dan Dyvette. Kalau cuma berdua, mungkin kepalan tangannya sudah melayang.

Fristman menepuk bahu Arkan sekali. "Pulang aja, kasian kalo kamu nunggu mereka sampe malem."

Wajah Arkan yang sudah mengeras akhirnya melunak saat menoleh ke Fristman. "Iya, om."

Dan untuk kesekian kalinya, Arkan menyerah.

Lalu keduanya melangkah meninggalkan kantor dan meninggalkan Dendi juga Dyvette yang kembali sibuk dengan pekerjaan mereka.

Setelah dua jam lebih mereka bekerja, pekerjaan pun selesai. Dyvette mengangkat kedua tangannya, merenggangkan tubuhnya, pun hal yang sama dilakukan Dendi untuk merenggangkan otot-ototnya.

Setelah itu Dendi merapihkan meja dan Dyvette sibuk dengan ponselnya. Lalu, keduanya berjalan keluar kantor setelah menekankan jari mereka di mesin absen.

"Mas, sabtu ke dufan, mau ngga?"

Dendi menoleh setelah memencet tombol lift. "Lagi promo ngga? Kalo ngga, males ah, mahal."

Pintu lift terbuka, Dyvette masuk dan melingkarkan tangannya di lengan Dendi. Mumpung jam segini gedung kantornya sepi, pasti ngga ada yang liat mereka bermesraan seperti itu.

"Promo kok, buy one get one."

Dendi berpikir sebentar. Lalu mengangguk akhirnya. "Boleh deh, ada syarat-syaratnya gitu ngga?"

Dyvette dengan tangan satunya yang bebas menekan ponselnya, melihat sampai bawah, mencari persyaratan yang dimaksud. "Bawa STNK motor, Mas ada?"

"Ada kok."

"Sabtu dijemput, kan?" Dyvette bertanya.

"Iyalah Mas jemput, masa kamu sendirian kesana," Dendi tersenyum. "Mas juga musti cek baju kamu apa."

Dyvette manyun, ia melepaskan tangannya dari lengan pacarnya. "Mulai deh nyebelinnya."

Hari ini kayanya hari baik buat Dendi, karena pacar kesayangannya ngga pake baju yang aneh-aneh. Memakai kaos putih lengan panjang dan overall jeans panjang dan sepatu putih. Sebenernya ada satu hal yang mau diprotes yaitu cepolan rambut pacarnya, karena itu memamerkan leher – tapi dia ngga selebay itu.

Kini mereka sedang mengantre wahana kora-kora saat angin cukup kencang menerpa keduanya. Anak rambut Dyvette bergerak menutupi wajahnya.

Dendi yang melihat itu, menyingkirkan anak rambut yang menghalangi pemandangan indahnya. Pacarnya memberikan senyum yang begitu manis, membuat senyum itu menular. Dia memajukan wajahnya supaya bibirnya sampai ke kening pacarnya.

"Cantik."

Dyvette yang menerima pujian itu tersenyum, namun ia tersenyum malu.

Dendi tertawa melihat senyuman itu. Hatinya menghangat, mungkin es di hatinya mulai mencair atau telah cair sepenuhnya.

"Tumben pake bajunya ngga aneh-aneh."

"Kan siang panas, Mas, Avi ngga mau jadi item."

Dendi mengangguk, mulutnya membentuk huruf O.

"Kalo nanti malem, bajunya beda lagi dong." Dyvette terkekeh.

Dendi langsung melotot. "Mas belom liat baju ganti kamu, mana sini liat."

Sebelum Dendi bisa melihat, petugas memanggil untuk giliran berikutnya yang naik wahana – termasuk mereka.

Keduanya memilih duduk di bagian dua dari depan, Dyvette takut muntah kalo di paling atas terus wahana ini kan naik turun.

Setelah itu mereka menaiki wahana lain, ontang-anting, halilintar, kicir-kicir, poci-poci, tornado, gajah bledug dan rajawali dan perang bintang sebelum mereka main yang basah-basahan.

Sudah pukul lima sore, namun Dufan masih sangat ramai.

"Daridulu arung jeram selalu paling rame, kenapa ya?"

Dendi mengedikkan bahu. "Ngga tau."

Antrean sangat padat, dari dua baris mengerucut menjadi satu menaiki tangga. Dendi udah naik tangga terlebih dahulu, namun kaosnya ditarik sehingga ia turun kembali.

"Kok ngga naik?"

"Avi takut kalo musti serobot-serobotan."

"Oh." Dendi tersenyum, ia mengusap puncak kepala Dyvette. Lalu menarik pacarnya untuk berdiri di depannya. "Nanti kalo ada yang mau nyerobot, Mas yang hadang."

Dyvette tersenyum. Ingin memberi kecupan untuk pacarnya tapi dia malu karena antrean sangat ramai.

Mereka naik arung jeram, ombaknya cukup besar membuat baju yang Dendi dan Dyvette gunakan basah semua.

Setelah turun, Dyvette langsung lari mencari ruang ganti baju karena ia malu bajunya basah semua. Dendi juga mengikuti. Memakai ruang ganti di sebelahnya.

Dendi membawa setelan yang mirip seperti yang sebelumnya ia pakai, kaos lengan pendek dan celana selutut. Ia lebih cepat selesai dibanding pacarnya, ia menunggu di bangku dekat ruang ganti itu. Mengecek ponselnya yang daritadi siang berada di tas tanpa ia sentuh sama sekali.

"Mas..."

Dendi mendongak, dan matanya nyaris mau keluar, melihat baju ganti yang dipakai oleh pacarnya. Ia mengelus dadanya, berusaha sabar.

"Astaga..."

Dyvette tertawa. Lalu ia merangkul pacarnya sebelum mendapat omelan tentang bajunya. Kan udah dia bilang, kalo malem bajunya beda lagi. Beda model, beda potongan juga pasti.

"Ngga bawa baju lain, Mas."

Dendi cuma bisa pasrah. Dia harus bisa menurunkan egonya, harus mengurangi ke-posesif-annya, padahal dia ngga mau pacarnya pake baju kaya gitu buat kebaikan bersama. Tapi mau gimana? Dia takut pacarnya kabur kalau terlalu dikekang.

"Naik bianglala, ngga? Dari atas bagus bisa liat lampu-lampu," Dendi menawarkan.

Sudah pukul enam lewat sedikit, langit mulai menggelap, sehingga lampu-lampu di dufan sudah dinyalakan.

Dendi sudah bisa membayangkan keromantisan naik bianglala malam hari. Suasana redup namun bisa melihat lampu-lampu dari atas.

Dyvette menggeleng. "Avi takut naik bianglala, tinggi banget."

Dendi mendesah kecewa. Buyar sudah bayangan keromantisan yang telah dirancang oleh otak pintarnya. Namun, lagi-lagi dia harus menekan egonya. Ngga mungkin dong dia maksa terus tiba-tiba pacarnya pingsan di atas gara-gara ketakutan? Sama aja bohong, ngga dapet momen romantisnya.

Dengan hati yang kurang rela, Dendi mengangguk juga akhirnya. "Kita kemana sekarang?"

"Makan di pinggir pantai, liat lampu-lampu."

Dendi tersenyum, ia mengangguk. Ia meraih tangan pacarnya, memasukan jari-jarinya di sela jari-jari pacarnya. "Lego!"

Mereka berjalan ke luar Dufan, menuju parkiran, mencari motor Dendi. Oh iya, tadi Dendi naik motor ke rumah Dyvette. Waktu Dyvette bilang naik mobilnya aja, Dendi menolak. Dia bilang pengen ngerasain dipeluk sepanjang perjalanan sama pacarnya.

Agak menggelikan ya.

Dyvette pastinya seneng denger itu. Walaupun harus panas-panasan, tapi mereka tetep ke Dufan naik motor.

Dendi mengendarai motornya menuju pantai, lalu memarkirkannya di sebelah rumah makan yang langsung menghadap ke pantai. Dan dari tempatnya sekarang, ia bisa melihat ada banyak lampu di seberangnya.

Mereka memesan makanan dan minta diantar samping pantai persis, mereka berjalan ke samping pantai.

Sedetik pun tangan Dendi ngga melepas genggamannya, membuat Dyvette bahagia. Mereka duduk di pasir pantai tanpa takut kotor.

"Mas ngga mau ngelepas tangan Avi banget ceritanya?"

"Engga."

Dyvette tersenyum, ia menyenderkan kepalanya di bahu laki-laki yang membuat hari-harinya bahagia. "Mas janji ya, apa pun yang terjadi jangan lepasin Avi."

Dendi mengecup kening Dyvette. "Yang terjadi apa dulu?" Ia bercanda.

"Ya kan apa pun, Mas."

"Iya, Mas janji ngga akan lepasin Avi, kecuali..."

"Kecuali apa?" Dyvette suaranya sedih.

"Kecuali Avi jadi arwah, Mas takut setan soalnya."

Dyvette memukul dada Dendi. "Kalo Avi jadi arwah, Mas Dendi orang pertama yang Avi ajak buat ikut."

Dendi tertawa. "Kita kalo jadi arwah, tetep pacaran ya."

Udah romantiss belom sih?

Dear Dendi...

Dear Dyvette...

18/06/2019
Ta💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro