[21] Bertemu Keluarga Dendi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Follow ya instagram baruku: chocodelette.
Thankyou😘

Aku udah bacain komen kalian tapi belom bisa bales gara-gara lagi seneng nonton sidang MK, seru soalnya😂😂

Kalian ada yang ngikutin sidang Mk juga kah?

Enjoy😆

Ternyata sifat posesifnya udah dari dulu toh, jadi seneng deh diposesifin.

-Dyvette-

Dendi senang Dyvette ngga membuat jantungnya ngga karuan dengan pilihan bajunya. Dia cuma pesen kalo pake dress yang panjangnya di bawah lutut, bagian dada dan pundaknya juga musti tertutup. Bukannya apa, ini pertama kali pacarnya bakal ketemu kakak-kakaknya. Dia takut kakaknya udah galak duluan kalo ngeliat baju yang aneh-aneh.

Dyvette merapihkan rambutnya yang tergerai. "Gimana Mas?"

Dendi tersenyum simpul. "Cantik, ayo masuk."

Dyvette menarik tangan Dendi. "Mas ngga mau ngasih wejangan dulu?" Dia takut dan gugup di waktu yang bersamaan.

Dendi tersenyum, ia mengusap punggung Dyvette beberapa kali. "Kakakknya Mas pada baik-baik kok, cuma ada satu yang lagi hamil jadi agak sensi."

Dyvette tambah pucat. "Avi musti gimana ngadepinnya?"

"Santai aja," Dendi memijat pundak pacarnya supaya sedikit rileks. "Kalo ditanya jawab kaya biasa aja, kalo dijutekin senyumin aja."

Dyvette menarik nafasnya berkali-kali, menyiapkan dirinya. Kini dia tau apa yang dirasakan Dendi waktu bertemu oleh Papinya.

Tapi sebenernya yang Dendi rasain ngga seberapa karena dia udah kenal sama Pak Bos, sedangkan Dyvette sama sekali ngga kenal kakak-kakaknya Dendi, pernah ketemu sekali itu pun sama Mamanya Dendi aja. Ditambah ini jumlah kakak pacarnya ada tiga.

"Ayo." Seperti biasa, Dendi memasukkan jari-jarinya di sela jari pacarnya, menggenggamnya lembut, memberikan kekuatan.

Mereka masuk ke rumah Dendi. Semua telah menunggu di meja makan, kecuali yang anak-anak karena lagi main di halaman belakang - di jaga sama beberapa baby sitter.

"Mah, Mba, Mas, kenalin ini Avi, pacar Yoga."

Dyvette menoleh ke Dendi, dia baru tau kalau di rumah pacarnya ini dipanggil Yoga. Sedetik kemudian ia kembali menoleh ke semua yang ada di meja makan. Memberi senyuman, lalu sedikit membungkukkan tubuhnya - persis yang Dendi lakukan dulu - seperti orang Korea memberi salam.

"Avi."

Cecil mangap melihat Dyvette, ia mengelus perutnya dalam hati berdoa semoga anak di kandungannya secantik Dyvette.

"Cantik banget," bisik Cecil ke telinga suaminya.

"Avi bawa apa? Ngga perlu repot-repot harusnya." Alia yang membuka obrolan pertama.

Dyvette tersenyum. Menyerahkan yang ia bawa pada Alia. "Dessert, Mba."

Alia melihat box itu, dan melihat tulisan yang tertera di box kue tersebut. Salah satu toko kue yang lumayan mahal. "Thank you loh, Mba masukin kulkas ya."

"Duduk Vi," perintah Mamanya Dendi, ia menepuk kursi di sebelahnya.

Dyvette tersenyum lagi. Ia melangkah untuk duduk persis di sebelah Mamanya Dendi dan Dendi duduk di sebelahnya. Tepat di depannya, duduk Cecil yang daritadi memandanginya kagum.

"Mas kenalin satu-satu ya." Dendi berniat memperkenalkan keluarganya pada sang kekasih secara resmi, karena kemarin-kemarin Dyvette cuma nanya-nanya dan tau nama serta sifat keluarganya dari foto.

"Cie, Mas..." Bintang tertawa, diikuti Cecil. Sedangkan Alia yang datang dari dapur bingung.

Dendi melemparkan pandangan sinis pada dua kakaknya karena mempermalukannya, padahal di kantor kan dia cukup berwibawa.

Dyvette di tempatnya ingin tertawa, namun ditahan. Demi first impression yang baik dia musti jaga sikap.

Dendi mulai menunjuk orang yang ada disebelahnya. "Ini kakak tertuanya Mas, Mba Alia sebelahnya Mas Tigran." Lalu mata dan jarinya beralihnya ke yang duduk di depan Alia dan Tigran. "Yang ini anak kedua, Mba Bintang sama Mas Mahawira." Lalu ia beralih lagi ke dua orang yang duduk persis di hadapannya. "Kalo ini Mas Kafka sama Mba Cecil - dia anak angkat." Dendi tertawa setelahnya.

"Biarin aja, hadiahnya batal." Cecil membuang muka.

"Bercanda, Mba," Dendi berusaha menghentikkan tawanya.

"Kalo yang duduk sendirian itu Mama, kasian udah jomlo lama." Dendi bercanda lagi.

Alia disebelahnya memukul kepala Dendi. "Ngga sopan!"

Setelah acara berkenalan selesai, mereka mulai makan malam. Sesekali mereka melemparkan pertanyaan pada Dyvette yang dijawab dengan santai namun sopan. Tadi Dendi sempat berbisik, "sesi tanya jawab udah mulai, jawabnya santai."

Dengan Cecil yang ngga bisa melepas tatapannya dari Dyvette. Membuat Dyvette sedikit takut.

"Avi," panggil Cecil akhirnya.

"Iya, Mba?"

"Kok mau sih sama Dendi? Dia kan jelek." Cecil berkata itu dengan santai, sedangkan Kafka hanya mampu geleng-geleng kepala. Takut anak kedua mereka kenapa-napa.

Dendi sebal mendengar itu. "Mas Kafka kok mau nikahin Mba Cecil sih? Dia kan galak kaya singa."

Cecil melotot, sedangkan Kafka tertawa. "Kan gue pawang singanya."

"Avi jawab dong." Cecil ngga menggubris omongan suami dan adiknya. Ia benar-benar penasaran kenapa perempuan secantik itu mau sama adiknya yang ya ngga jelek-jelek amat sih, tapi lumayan lah jeleknya.

"Ngga tau juga Mba, waktu pertama kali ngeliat langsung suka."

Dyvette ngga sepenuhnya berbohong kan? Pertama kali dia ngeliat foto yang Papinya tunjukkin waktu Dendi meriang langsung bikin dia jatuh hati - padahal belom ketemu.

Dendi membungsungkan dada jumawa.

"Pesona gue keren kan, Mba!"

Alia, Tigran, Bintang dan Mahawira sudah pulang lima belas menit yang lalu. Tersisa Mamanya Dendi yang udah masuk kamar duluan karena udah capek, Cecil dan Kafka yang baru menidurkan anak pertama mereka di kamar Dendi dan Dendi juga Dyvette yang kini sedang mengobrol di ruang tamu.

"Yoga! Gue mau nginep." Cecil datang dan menganggu kemesreaan adiknya.

Dendi ngga acuh. "Ya udah."

Cecil memukul bahu adiknya, gemas karena mendapat respon seperti itu. "Beresin kamar Mba dong."

"Beresin aja sendiri, ngga liat orang lagi pacaran apa."

Cecil menarik kuping Dendi sampai adiknya berdiri dan mengaduh kesakitan. "Ngga ada sopannya ya sama Mba, beresin sana." Cecil melotot. "Kafka juga bantuin aja."

Dendi masih memegangi kupingnya yang ia yakini sudah merah, menatap kakaknya dengan sebal. "Ayo Vi, sekalian bantuin."

"Eh, eh, kamu sama Kafka aja, Mba mau ngomong berdua sama Avi." Cecil melemparkan tatapan tajam pada adiknya sambil mendorong tubuh Dendi.

Dendi menatap kakaknya dan pacarnya bergantian. Dalam hati sebenarnya ia takut Dyvette ditanya pertanyaan yang aneh-aneh.

"Mba, jangan digalakin dong." Dendi memohon.

"Engga, udah sanaaa!"

Kafka menarik Dendi menuju kamar Cecil dulu, sebelum mereka menikah. Meninggalkan istrinya yang pacar adik iparnya berdua.

Cecil menoleh ke belakang, melihat apakah suami dan adiknya sudah menghilang. Setelah ia memastikan keduanya telah ke kamarnya dulu, ia baru menoleh kembali ke Dyvette yang memberikan senyum lembut padanya.

"Mba masih penasaran, kenapa cewek secantik kamu mau sama adeknya Mba?"

Dyvette tersipu menerima pujian seperti itu. "Biasa aja ah, Mba."

Cecil menunggu jawaban.

"Aku juga bingung sih Mba kenapa bisa suka sama Mas Dendi, tiba-tiba aja gitu," jawab Dyvette jujur.

Cecil menganggukan kepalanya, daritadi pertanyaannya dijawab seperti itu. Berarti emang beneran Dyvette ini ngga tau alesan kenapa suka sama adiknya. Bagus! Kalau ada alesannya malah berabe.

"Dia gimana kalo di kantor?"

Wajah Dyvette yang tadinya ramah, berubah menjadi kesal tiba-tiba. "Nyebelin Mba."

"Kok gitu?"

"Kan jadi orang kantor ngga ada yang tau kalo kita pacaran, jadi Mas Dendi tuh kalo di kantor galak, cuek, gila kerja, nyuruh-nyuruh mulu, pokoknya nyebelin deh mba." Dyvette menumpahkan kekesalannya.

Cecil mendesah kecewa. Ia menepuk-nepuk kepala Dyvette. "Kasian, backstreet emang ngga enak, ngga bisa mesra-mesraan."

Dyvette mengangguk. Bibirnya maju, ia sedih. Dia tuh mau aja bilang ke se-isi kantor kalo dia sama Dendi udah pacaran tapi dia bingung gimana musti bilangnya. Mana sikap Dendi juga ngga menunjukkan kalo mereka pacaran. Dia musti narik Dendi keluar ruangan dulu kalo mau mesra-mesraan.

"Mba." Dyvette memanggil.

"Ya?"

"Mba ngga keberatan kan kalo Avi pacaran sama Mas Dendi?" Dyvette bertanya dengan perasaan takut. Takut dijawab keberatan. Takut harus putus sama Dendi.

Cecil tertawa mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Dyvette. Dia ingat pernah menanyakan itu ke Dendi dulu waktu Kafka mau main ke rumah.

"Engga kok, yang berat mah badan Mba nih." Cecil mengelus perutnya.

Dyvette tersenyum. Kali ini bernafas lega. "Thank you, Mba, aku ngga jadi putus deh sama Mas Dendi."

Mata Cecil membulat, mulutnya terbuka lebar. Ngga percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Putus? Kenapa harus putus emangnya kalo misalkan dia keberatan?

"Emang hampir putus?"

Dyvette menggeleng sebentar lalu mengangguk kemudian, membuat Cecil yang melihatnya jadi bingung.

"Dari kemaren-kemaren tuh Mas Dendi takut ngenalin aku ke Mba, takutnya Mba ngga setuju, terus minta kita putus."

Lagi-lagi mata Cecil sukses membulat. Perasaan dia ngga pernah ngelarang adiknya pacaran sama siapa pun, ngga pernah juga nyuruh adiknya putus sama mantannya. Itu mah kelakuannya Dendi yang ngga suka tiap dia bilang lagi deket sama cowok, langsung suruh jauhin.

Lalu Cecil mengangguk paham dengan jalan pikiran sang adik. Dendi takut dibalas kelakuannya dulu, mungkin.

"Takut karma kali."

"Karma gimana, Mba?"

Cecil tertawa meningat kejadian dulu, air matanya pun menetes saking menurutnya kejadian dulu sangatlah lucu.

"Dendi itu kan posesif banget sama Mba, dulu Mba tuh pernah ngga jadi menikah padahal udah nyewa gedung gitu-gitu karena mantan Mba ketemu cewek yang lebih sexy terus dia marah banget kan, jadi tiap Mba cerita lagi ada cowok yang deketin yang sensi dia, nyuruh jauhin, nyuruh jutekin aja gitu, ya bener aja cowok-cowok kan kalo dijutekkin pergi ya."

Mulut Dyvette terbuka. Ternyata sifat pacarnya dari yang posesif udah terbentuk dari dulu.

"Pasti kamu di-posesif-in juga deh sama dia."

Dyvette mengangguk. "Iya Mba, Avi ngga boleh pake baju kebuka sama ketat."

Cecil tertawa. "Itu dia sayang sama kamu berarti."

Dyvette tersenyum. Mengingat pertama kali Dendi melarangnya pakai baju terbuka itu waktu di Bandung, berarti sejak di Bandung dong udah mulai sayangnya.

"Mba kan dulu kerjanya jadi sekretaris ya, isi lemari Mba tuh rok-rok pendek semua, dibuang-buangin sama dia, untung dibeliin yang baru sih tapi kulot yang gede semua gitu."

Dyvette mengelus dadanya, merasa beruntung pacarnya ngga bertindak sejauh itu atas isi lemarinya. "Sama aku ngga sampe segitunya sih, Mba."

"Belom aja, nanti juga digituin kamu." Cecil tertawa.

Dyvette memandang seram. Membayangkan isi lemarinya yang rata-rata dress ketat dan terbuka diganti daster yang longgar, membuatnya bergidik ngeri.

"Terus Mba, kalo sama Mas Kafka gimana bisa dibolehin sama Mas Dendi?"

Buat yang minta cerita Cecil Kafka udah ada ya, I Love My Secretary

Kalian kalo lebih diposesifin seneng apa engga?

Dear Dendi ...

Dear Dyvette ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro