[22] Pelabuhan Terakhir?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Buat yang minta cerita Cecil Kafka udah ada ya, I Love My Secretary

Follow ya instagram baruku: chocodelette.
Thankyou😘

Enjoy😅

Kalo hati udah yakin mah harus maju terus! Masalahnya, apa gue udah bener-bener yakin kalo she's the one I share my life with?

-Dendi-

"Mas, kalo rumah gede gitu listrik sebulan berapa ya?"

Kafka mengangkat selimut. ''Ngga tau, yang ngurusin bayar-bayaran, gue cuma ngasih duit perbulan - walaupun seminggu langsung abis."

Dendi garuk-garuk kepalanya. "Kalo pembokat ada berapa di rumah lo?"

"Banyak."

Dendi merapikan bantal. "Gue takut ngga makan gara-gara gaji cuma cukup buat bayar listrik, air sm pembokat dah."

"Cukup lah, lebay banget lo."

Selesai merapikan kamar, Kafka meminta Dendi duduk di kasur. Mau ngobrol empat mata antar lelaki, katanya. Dendi nurut.

"Nanti lamarannya mau pake adat apa yang modern?"

"Modern aja ah, adat ribet."

Sudah bisa ditebak, Dendi emang ngga suka sama hal-hal yang menurutnya merepotkan.

Kafka mengangguk, setuju.

"Gila ya Ga, gue ngga nyangka loh ada cewek lain yang kuat ngadepin lo selain Dinda."

Dendi tersenyum masam. Bukan karena nama perempuan itu disebut lagi, tapi karena kata kuat ngadepin lo itu.

"Emang gue sejelek itu Mas?"

Kafka tertawa. "Muka mah engga, sifat lo itu loh."

Kening Dendi berkerut, alis matanya yang dekat hampir bertemu. "Emang sifat gue kenapa?"

"Jutek sama cuek ngga ketulungan, Ga." Kafka memegang bahu adik iparnya. "Gue aja pas pertama ketemu lo, langsung mikir mundur apa maju terus ya."

"Waktu pertama ketemu itu udah pacaran apa belom?"

"Belom, tapi gue udah naksir."

"Terus kenapa ngga mundur?" Dendi bertanya, ia benar-benar penasaran sekaligus takjub dengan keberanian Kafka.

Cecil turun dari mobil Kafka persis di depan kantor Dendi. Dendi belum ada di lobi, membuat Cecil harus menunggu.

"Thank you, Pak."

Kafka tersenyum, namun enggan masuk kembali masuk ke mobilnya. Ia memilih menunggu sampai adiknya Cecil datang sekalian ingin berkenalan. Kan kalau mau deketin cewek, harus ambil hati keluarganya dulu.

"Bapak ngga pulang?"

Kafka menggeleng. "Nunggu ade kamu dateng."

Cecil gelagapan. Ngga enak sama atasannya. "Ngga usah Pak, adek saya mah lama."

Kafka naik ke mobilnya, membuat Cecil bisa bernafas lega. Tapi, ngga jadi bernafas lega karena mesin mobil malah mati dan bosnya itu turun lagi.

"Kenapa Pak?"

"Kan adek kamu lama, jadi saya matiin aja mobilnya, atau kamu mau nunggu di dalem mobil aja?"

Tangan Cecil terangkat, menolak tawaran itu. "Eh? Ngga usah Pak, suwer deh bapak pulang aja, saya biasa kok nunggu adek saya disini."

Kening Kafka berkerut. "Biasa? Besok-besok saya anterin ke rumah aja daripada anterin ke kantor adek kamu gini."

Mata Cecil membulat. "Ngga usah Pak, beneran deh."

Suara motor terdengar, membuat Cecil dan Kafka menole bersamaan. Itu Dendi.

"Mba, ayo balik!"

Cecil tersenyum kikuk. "Itu adek saya, Pak."

Cecil melangkah mendekat ke Dendi, diikuti Kafka di belakangnya. Kafka mengulurkan tangannya duluan ke Dendi yang dibalas dengan alis terangkat oleh Dendi.

"Saya Kafka."

Dendi tidak menjulurkan tangannya untuk membalas. "Dendi." Cuma itu responnya.

Kafka tersenyum masam. "Besok-besok saya aja yang anter kakak kamu pulang, kasian kalo dia musti ke kantor kamu terus nungguin kamu."

Dendi melempar tatapan sinis. Ia memandang lawan bicaranya dari atas sampai bawah dengan tatapan tajam. "Ngga perlu."

Cecil yang melihat itu rasanya ingin memukul kepala Dendi pakai helm yang ada di tangannya. Bukannya apa, dia takut besok waktu sampai kantor dapat surat pemecatan di mejanya.

Cecil melempar senyum semanis mungkin kepada bosnya itu. "Maafin adek saya ya, Pak, saya pulang dulu, terima kasih tumpangannya."

Setelah selesai Cecil mengatakan itu, Dendi langsung memacu motor dengan kecepatan hampir maksimum. Meninggalkan Kafka yang makin merasa tertantang, namun sempat Kafka liat sekretarisnya itu menoyor kepala adiknya, membuatnya tersenyum diam-diam.

"Ya masa lawan anak bau kencur kaya lo aja gue nyerah." Kafka tertawa meledek Dendi. "Lagian waktu itu gue yakin Cecil pelabuhan terakhir gue."

Dendi melotot. "Apa sih, geli."

"Lo udah yakin belom Avi pelabuhan terakhir lo?"

Dendi berdecak. Ia bingung. Sejujurnya ia sendiri takut kalau Dyvette hanya pelariannya dari Dinda. Yang ia tau, beberapa bulan terakhir ia bahagia menjalani hari-harinya bersama Dyvette, bahagia karena ada yang ngasih perhatian lebih, bahagia karena bisa mencurahkan keluh kesahnya, bahagia karena bisa mejadi tempat pacarnya mengadu.

Bahagia karena ia bisa menggenggam tangan itu, bahagia karena tiap malam ia jatuh tertidur selalu dengan sambungan telpon yang masih tersambung, bahkan kadang baru tidur jam empat pagi karena telponan, bahagia mendengar suara manja pacarnya tiap di telpon, bahagia menghabiskan malam minggu bersama.

Pokoknya dia bahagia. Bahkan lebih bahagia dari beberapa tahun yang lalu, waktu sama Dinda.

"Ngga tau yakin apa engga, tapi gue bahagia sama dia."

Seperti biasa, Dyvette dan Dendi lagi ada di kawasan merokok yang ada di lantainya, menikmati sarapan yang dibawakan Dyvette ditemani semilir angin yang meniup rambut.

Masih jam delapan lewat lima belas, tadi teman-teman kantornya baru sedikit yang datang karena toleransi telat tiga puluh menit tapi keduanya memilih untuk sarapan di tempat ini karena takut diminta sama yang lain – apalagi Arkan.

Menu hari ini yang Dyvette buat adalah Bubur kacang hijau, request dari Dendi.

"Enak ngga?" adalah pertanyaan yang selalu Dyvette tanyakan setiap pagi pada Dendi ketika satu suapan telah masuk.

Dan Dendi selalu menjawab dengan jawaban yang sama setiap paginya. "Enak."

Setelah menghabiskan sarapannya, Dendi mengeluarkan kotak kecil putih dari kantongnya. Bukan cincin, jangan pada baper duluan. Dia mengeluarkan sebungkus rokok dan pemantiknya.

Dyvette udah tau kalau Dendi merokok dari awal-awal mereka pacaran. Sebenernya ia keberatan dengan itu, tapi mau gimana. Masa mau dilarang? Yang dia tau, pacarnya sudah cukup jarang merokok setelah lulus kuliah.

Dendi cerita dulu waktu kuliah karena belom ngerasain susahnya cari uang, dia sering banget ngga makan tapi diganti rokok. Kenyang kok, dulu begitu katanya ke Dyvette. Tapi setelah dia tau susahnya cari uang, dia ngga mau uang yang dia hasilkan dengan lembur dan memeras otaknya dibakar begitu aja.

Dendi bilang, sebulan paling banyak cuma abis dua bungkus. Jadi karena itu, Dyvette ngga melarang. Nanti kalau udah nikah, baru dia berani larang ini – itu.

Saat Dendi tengah menyesap rokoknya, Dyvette menarik kursi mendekat.

Dyvette memberikan sentuhan lembut di lengan Dendi, meletakkan dagu di bahu kanan pacarnya. "Mas lagi mikirin sesuatu ya?"

Dendi membuang asap ke arah kiri, lalu menoleh ke kanan. "Engga."

"Kok tumben ngerokok depan Avi?"

Biasanya Dendi pergi ke kawasan merokok sendiri, itu pun tidak menentu kapannya. Bisa setelah makan siang, bisa sebelum masuk kantor, atau kapan pun yang ia mau, tapi cukup jarang.

"Lagi asem mulutnya, terus ada kamu." Dendi menjawab santai.

"Mas tau kan, Avi ngga suka Mas ngerokok, ngga baik buat kesehatan." Dyvette mengucapkan itu sungguh-sungguh dengan nada sedih.

Dendi yang mendengar itu langsung menekan rokoknya ke asbak. Menekan rokok itu sampai mati. "Tau kok." Lalu ia menenggak air mineralnya beberapa teguk.

Dagu Dyvette diangkat dari bahu Dendi, ia memamerkan senyum senang lalu memberi kecupan di pipi pacarnya. Ngga dibibir karena bibirnya kan abis kena rokok, dia bener-bener ngga suka rokok.

"Nanti Avi makan siang sama Jason sama Alin ya."

"Mas ada rapat di luar?" Dyvette bertanya. "Kok Avi baru tau?"

Dendi menggeleng. "Ngga rapat di luar, Mas ada urusan sama Pak Bos."

"Sama Papi?" Kening Dyvette berkerut. "Urusan kantor?"

Dendi mengangguk, ia berbohong.

"Avi musti ikut dong?"

Dendi menggeleng. "Engga, Mas doang sama Pak Bos, Avi makan siang aja."

Ada suatu hal penting yang harus disampaikan ke Bosnya mengenai anak gadisnya. Ngga mungkin banget Dyvette.

"Balik yuk."

Mereka berdua kembali ke ruang kerja mereka.

Pikiran Dendi ngga pada kerjaannya saat ini, pikirannya terlempar ke beberapa waktu lalu waktu dia dan Pak Bos ngobrol berdua.

"Kalo kamu main-main sama anak saya, mending balikin ke saya dari sekarang Den."

Dendi memijat kepalanya dan menghembuskan nafasnya pelan. Mungkin sekarang waktu yang tepat.

Dendi kayanya belom yakin gaiss sama hatinya, siapa yang mau getok Dendi?

Dear Dendi ... (kalo mau ngehujat dipersilakan loh😁)

Dear Dyvette ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro