[23] Boleh, Pak?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Baca cerita Cecil ya, I Love My Secretary

Follow ya instagram baruku: chocodelette.
Thankyou😘

Enjoy😆

Ini panggung stand up comedy  ya? Kenapa Aku merasa dipermainkan dan ditertawakan?

-Dyvette-

Dendi udah duduk di ruangan Pak Bos, jantungnya berdetak terlalu cepat, kaya ada yang lari marathon terus ngga mau kalah. Bulir keringat sebesar biji jagung sudah menetes, AC di ruangan ini bener-bener ngga berasa buat dia.

Dendi memilin ujung dasinya, ia benar-benar gugup menunggu Pak Bos yang lagi telponan sambil ketawa-tawa di belakangnya.

Bisa buruan ngga sih telponannya, huh!

"Iya-iya, sambung nanti lagi ya."

Pak Bos udah selesai telponan. Jantung Dendi makin ngga karuan detaknya.

"Gimana Den? Mau ngomong apa?"

Dendi mengatur nafasnya. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Tapi ditatap dengan penuh tanda tanya sama Pak Bos ngga bisa bikin tenang sama sekali.

"Mau ngomong yang penting, Pak."

Pak Bos menyutukan tangannya di atas meja – seperti posisi berdoa. "Kamu ngga minta resign kan, Den?"

Dendi menggeleng cepat. Ngga mungkin dia minta resign dari kantor, dia ngga punya back up karena belom daftar di kantor lain. Bisa sih minta kerjaan ke para kakak iparnya, tapi dia ngga mau. Dia paling ngga suka ngemis kerjaan sama orang lain. Dia bisa sendiri kok.

"Kamu minta naik gaji?" tebak Pak Bos.

Mata Dendi membulat sempurna. Walaupun itu ada dalam pikirannya, tapi bukan itu yang sekarang mau dia utarakan. Tapi semisal dinaikin bulan ini pun dia bersyukur.

Dendi menggeleng lagi. "Bukan, Pak."

"Jadi apa toh yang penting?"

"Anu, pak..."

"Anu-mu kenapa Den?"

Dendi menggeleng dengan cepat. "Baik-baik aja, Pak."

Pak Bos tertawa sambil memegangi perutnya yang besar. "Jadi kenapa? Kamu mau minta apa dari saya?"

Dendi memberanikan diri untuk menatap mata Pak Bos, dalam hatinya pun ia berdoa semoga yang dia minta akan diberikan.

"Waktu itu bapak bilang, kalo saya main-main sama anak bapak mending balikin ke bapak, kan Pak?"

Pak Bos mengangguk. Ia menatap anak buahnya dengan pandangan menelisik. "Kamu mau balikin anak saya?"

Nafas Dendi tercekat di tenggorokan. Ia bingung musti gimana bilangnya. Ini pertama kalinya dia ngelakuin ini.

"Saya mau minta anak bapak," ucap Dendi dengan satu tarikan nafas.

Pak Bos yang sudah menatap anak buahnya dengan tajam karena hatinya takut membayangkan anaknya akan menangis langsung kembali santai. Ia menghembuskan nafasnya dengan ringan.

"Minta? Anak saya ngga gratis Den."

Dendi menelan ludahnya susah payah. Musti bayar? Iya sih pasti nanti ada kaya mas kawin, seserahan dan kawan-kawan, tapi please jangan yang mahal-mahal.

"Kamu bisa bayar berapa?"

"Bayar pake cinta bisa ngga, Pak?"

Pak Bos ketawa ngakak. Perut buncitnya ikutan goyang. "Kamu pikir cinta bisa menyelesaikan masalah?"

Dendi garuk-garuk kepala. Dalam hati dumel, susah banget mau ngelamar aja.

"Saya bingung Pak musti bayar berapa dan pake apa, tapi saya tuh kepengennya bisa bahagia dan sedih bareng Avu gitu pak."

Pak Bos melotot. "Enak aja! Kalo sedih kamu sendiri aja, jangan minta temenin Avi."

Dendi menarik nafasnya pelan. Bingung musti gimana. Ya kan kalo misalkan mereka nikah, seneng sedih bareng ya.

Masa Dyvette senengnya doang, Dendi nanggung sedinya sendirian. Tapi ngga apa-apa lah.

Kalo kata Caesar mah, apa pun yang bikin istrinya sedih biar dia aja yang nanggung.

"Saya janji bakal bikin Avi bahagia, Pak."

Pak Bos menganggukan kepalanya berkali-kali. "Awas ya kamu bikin Avi nangis."

"Jadi boleh, Pak?" Dendi bertanya dengan nafas yang tertahan, bola matanya penuh harapan.

Pak Bos tersenyum. "Ajak orang tuamu ke rumah."

Dendi baru bisa menghembuskan nafasnya. Bebannya dari tadi seakan musnah. Bahunya kini kembali ringan.

"Sabtu ini ya, Pak?"

Pak Bos tertawa. "Ada yang udah ngga sabar rupanya."

Dendi memamerkan susunan gigi putihnya yang rapih.

Tadi, Dyvette terpaksa bangun pagi karena suara Maminya sudah memekakan telinganya. Ditambah sudah banyak orang di rumahnya. Dia dipaksa mandi pagi di hari libur membuatnya kesal tapi ngga bisa ngelawan juga.

Sekarang dirinya sudah duduk di depan meja riasnya. Ada satu make up artist laki-laki yang tengah memulas wajahnya, ada juga penata rambut yang kini telah mengurus rambutnya.

Dari kemarin sudah banyak orang rumah di rumahnya, ada yang memasang dekor bunga berwarna biru tua, biru muda dan putih di salah satu sudut dinding rumahnya.

"Mau ada acara apa di rumah?" itu pertanyaan yang keluar dari Dyvette kemarin ke Maminya.

"Mba Aurel mau lamaran disini." Gitu kemaren kata Maminya.

Dari kemarin juga dia udah minta Dendi buat dateng ke rumahnya supaya bisa dikenalin ke keluarga besarnya, mumpung ada momennya. Dyvette bosan ditanya mana pacarnya, hari ini dia berniat memamerkan Dendi ke keluarga besar dari Maminya.

Kalau Papinya mah ngga punya keluarga besar. Papinya anak tunggal sama kaya dia, kakek dan nenek dari Papinya pun sudah meninggal. Ada sih Om dan Tantenya Papi, tapi ngga deket.

Dyvette mah pasrah aja mau diapain muka sama rambutnya, asal cantik dia ngga akan protes. Kalau jadi jelek baru dia badmood. Soalnya kan pasti nanti ada foto-foto keluarga, masa dia jelek?

"Avi, pake ini ya." Maminya memberikan setelan kebaya untuk Dyvette.

Dyvette mengernyit bingung. "Harus kebaya Mi? Avi mau pake dress aja."

Maminya melotot. "Engga boleh, Avi musti pake kebaya itu."

Dyvette mengembungkan pipinya. Kesal. Dia paling ngga suka pake kebaya, ribet menurutnya. Lebih enak pake dress tinggal masukin kepalanya, udah selesai.

Dyvette mengambil ponselnya lalu membidik kebaya itu lalu mengirimnya pada Dendi.

Dyvette Pastika: sebel masa musti pake kebaya😣

Lima menit ngga mendapat balasan, Dyvette berniat menelpon. Acara lamaran itu mulai sekitar satu jam lagi, ia takut pacarnya belum bangun. Lebih takut lagi ngga jadi dateng, kan ngga bisa dipamerin ke keluarga besarnya.

Dyvette menekan kotak hijau yang ada di layar ponselnya, menunggu sambungan telpon terhubung.

"Halo?"

"MAS!" Dyvette berteriak. "Udah bangun, kan?"

"Udah kok."

"Mas kapan otw? Di rumah Avi udah rame sodara-sodara nih."

Sebenarnya Dyvette ngga tau udah rame apa belom, tapi kalo kupingnya ngga salah denger sih kayanya emang rumahnya udah rame sama orang-orang.

"Ini Mas mau otw, udah dulu ya."

Telpon diputus secara sepihak, membuat Dyvette manyun seketika.

Riasan wajah dan rambut selesai tiga puluh menit sebelum acara mulai, Dyvette masih ogah mengenakkan kebaya sampai Maminya yang ada di lantai bawah harus repot-repot naik ke atas demi memakaikan anaknya kebaya.

"Emang yang lain pada pake kebaya, Mi?"

"Iya, Avi, yang cewek-cewek semua pake kebaya."

"Kenapa ngga dress?"

Maminya melotot. "Banyak nanya deh, udah ayo turun!"

Bukannya bergerak turum, Dyvette malah duduk di kasurnya, mengambil ponselnya. Ingin menelpon pacarnya, mau tau dia udah sampe mana karena belom ngabarin kalo udah sampe.

"Ayo, Avi!"

"Nanti dulu ih, Mami, Avi telpon Mas Dendi dulu."

Maminya menarik tangan Dyvette. "Ayo turun ih, malu kita tuan rumah masa telat."

"Mas Dendi-nya dulu Mi." Dyvette merengek.

"Iya, turun dulu yang penting, tanyain Mas-mu nanti di bawah aja."

Dyvette manyun namun akhirnya ia mengikuti perintah Maminya. Dia memakai sepatu yang senada dengan warna kebayanya, lalu menuruni tangga dengan susah payah.

Dyvette menunggu di bawah, sambil fokus pada ponselnya. Menelpon Dendi berkali-kali tapi ngga diangkat.

Mami dan Papinya ikut keluar, menunggu rombongan tamu yang akan datang. Sedangkan Dyvette di dalam nunggu dengan perasaan kesal. Pacarnya kemana? Pacarnya menghilang waktu mau dipamerin.

Rombongan tamu udah masuk ke rumah, Dyvette memilih ke dapur karena mood-nya hancur. Kalau di depan nanti, ketemu sama Om dan Tantenya pasti ditanyain pacarnya mana. Kan jadi bikin tambah males ya.

Dyvette gelisah memegang ponselnya. "Mas Dendi kemana sih?"

Maminya datang dari depan. "Kamu yang kemana, ngapain di dapur? Ayo ke depan."

"Ih, ngga mau Mami, Mas Dendi-nya belum dateng."

Tangan Dyvette ditariknya Maminya. "Ayo ke depan, keluarga udah ngumpul, kamunya ilang."

Dyvette manyun. Namun akhirnya lagi-lagi ia menuruti kemauan sang Ibu. Ia melangkahkan kakinya ke ruang tengah. Banyak orang yang dia ngga kenal. Dia hanya mendengus kesal.

"Cie ... cie ..." Itu suara Ocha, sepupu Dyvette yang masih SMA.

Dyvette ngga fokus karena dia masih kesal sama Pacarnya. Acara di ruang tengah udah mulai, sependengaran Dyvette. Lagi ngomongin tujuan kenapa keluarga cowok dateng ke rumah.

"Saya dateng kesini bawa keluarga besar, mau minta bapak buat mengizinkan anaknya jadi pendamping saya. Boleh, Pak?"

Mirip suara Mas Dendi, batin Dyvette. Ah, tapi ngga mungkin, orang yang mau lamaran Mba Aurel. Ngga mungkin kan Mas Dendi ngelamar Mba Aurel?

"Saya tergantung anaknya, tapi pasti anaknya ngga nolak sih."

Suara gelak tawa dari orang-orang membuyarkan pikiran ngawur Dyvette.

Dyvette menunduk, ia kembali mengecek ponselnya. Lagi-lagi belum ada pesan maupun telpon masuk dari pacarnya membuat hatinya dongkol merasa dipermainkan.

Tangannya dilepas sama sang Ibu, Dyvette ngga sadar kalau dia sedang berhadapan dengan sang pacar dan keluarga besarnya.

"Avi, nunggu telpon dari siapa sih?" Papinya bertanya di sebelahnya.

Dyvette masih fokus pada ponselnya. Ia me-refresh ponselnya, takut-takut sebenarnya udah ada pesan masuk dari pacar yang bilang ngga bisa dateng karena kecelakaan misalnya, membayangkan itu membuatnya bergidik ngeri.

"Nunggu telpon Mas Dendi, Pi."

Dendi ngga bisa menahan senyumnya. Keluarga besarnya pun ikut tertawa. Dendi udah bilang ke keluarga besarnya kalau pacarnya ini ngga tau akan dilamar, jadi tolong dimaklumi kalau ilang-ilangan.

"Mas juga nunggu jawaban kamu, Vi."

Mendengar itu, Dyvette mendongak. Mulutnya terbuka, rasanya ia ingin mengomeli pacarnya namun ditahannya. Ia mengangkat tangannya, memanggil Dendi supaya mendekat.

"Mas, sini..."

"Kenapa?" Dendi tersenyum.

"Sini, jangan jauh-jauh."

Dendi menoleh ke belakang, ia malu sebenarnya terhadap keluarga besarnya. Namun dilakukan juga permintaan pacarnya.

Setelah mereka bersebelahan. Dendi bertanya, "kenapa emang kalo jauh?"

Dyvette melotot. "Jangan, Avi takut ditanyain sama Tante sama Om, pacar Avi mana."

Dendi ngga kuat menahan tawanya. Keluarga besar Dyvette dan Dendi pun tertawa terbahak.

"Avi ini Mas lagi ngelamar kamu, kamu ngga sadar?"

"HAH?"

Dyvette mengedarkan pandangannya. Hampir semua orang yang duduk di hadapannya ngga dia kenal, namun baris paling depan yang sedang memberi senyuman padanya ia kenal. Ada Mama, para kakak dan kakak ipar pacarnya.

Dyvette benar-benar merasa bodoh. Dia memukul bahu pacarnya sekali karena merasa dipermalukan, bibir bawahnya maju.

"Mau dipasangin cincin ngga?" Dendi bertanya, alisnya naik turun, menggoda sang kekasih.

Dyvette manyun, namun mengangguk malu-malu. Ia menjulurkan tangannya. "Mau."

ayo minta maaf yang kemaren udah ngehujat Dendi! WKWKWK

Dear Dendi ...

Dear Dyvette ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro