[24] Pertanyaan Tak Terduga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Follow ya instagram baruku: chocodelette.
Thankyou😘

Enjoy😘

Kalo cari pertemanan itu yang sehat ya, jangan yang hobinya cuma pamer.

-Dendi-

Dendi duduk di hadapan Pak Bos karena dipanggil lima menit yang lalu. Kali ini jantungnya berdetak dengan normal, sehingga ia bisa bernafas dengan benar.

"Ada apa, Pak?"

Pak Bos memijat pelipisnya, hatinya sedang cemas. Ia memanggil Dendi untuk menceritakan keluh kesahnya dan ingin minta pendapat. Toh, sebentar lagi mereka akan jadi keluarga kan? Jadi harus sering ngobrol.

"Saya bingung, keluarga Arkan belom tau kalo Avi udah tunangan."

Dendi menghembuskan nafas berat. Arkan lagi, Arkan lagi. Tapi emang bener sih belom ada yang tau soal pertunangan itu kecuali keluarga besar Dyvette, keluarga besar Dendi dan Caesar juga Deana. Bahkan Jason pun ngga tau. Ia jadi ikutan bingung sekarang.

"Gimana ya Pak? Saya juga jadi ikutan bingung."

Pak Bos gusar, ia mengetukkan jari-jarinya ke meja. Otak pintarnya ngga bisa berpikir dalam keadaan seperti itu. Waktu itu ia menerima lamaran laki-laki di depannya untuk anaknya kan karena anaknya yang menginginkan. Waktu itu dia ngga kepikiran sama keluarga Arkan.

Walaupun waktu itu Dyvette udah nolak lamaran Arkan, tapi ngga dilakuin di depan keluarganya. Jadi kemungkinan keluarga Arkan taunya lamarannya masih digantung karena Arkan belum melamar dengan keluarganya kaya yang Dendi lakukan kemarin.

"Apa pertunangan kamu sama Dyvette mau dipestain aja?"

Dendi menggeleng cepat. "Jangan Pak, ngga perlu." Bukannya apa, dia mikir berapa banyak duit yang harus dikeluarkan untuk mengadakan pesta perayaan pertunangan itu.

Bukannya mau itung-itungan, tapi kemaren beli seserahan aja udah cukup nguras tabungannya. Ditambah mengongkosi tiket dan penginapan saudara-saudaranya yang datang dari luar kota. Dompetnya lagi bener-bener kering sekarang.

"Makan-makan kantor aja gimana? Sekalian ngasih tau pertunangan kamu, kan nanti Arkan ada."

Kalau menraktir orang kantor masih mungkin. Toh, orang kantornya ngga terlalu banyak. Asal jangan ngundang tamu ratusan yang rata-rata Dendi ngga kenal. Krisis ekonomi beneran nih. Kan ngga mungkin dia bilang ke Pak Bos kalau duitnya menipis.

"Keluarganya Pak Arkan gimana?"

Pak Bos menelan ludahnya. "Menurut saya, akan lebih gampang ngasih taunya kalo Arkan udah tau."

Dendi mengangguk, menyetujui. Ia kembali ke mejanya, lalu menelpon Alia untuk minta dimasakin beberapa menu untuk tiga puluh orang. Alia melanjutkan usaha Mamanya mereka: catering.

"Diskon lah Mba sama adek sendiri, tipis nih." Dendi memohon pada kakaknya.

Tawa Alia terdengar, membuat Dendi ikut tersenyum.

"Ngga! Harga normal!"

"Bangkrut, Mba..."

Setelah acara makan siang yang ditaktir Dendi dan Dyvette kemarin, sekarang mereka berdua ngga perlu ngumpet-ngumpet sama orang kantor. Termasuk Arkan. Walaupun kemarin Jason sempet ngomel dalam hati, tapi ngga berani diutarain karena ada Pak Bos.

"Den, malem minggu main bilyard yok," ajak Jason.

Dendi mengangguk meng-iya-kan, namun Dyvette langsung memotong. "Mas, Avi mau ke ulang tahun temen, Mas ikut ya."

Jason memilih mengalah. Anak bos kan ngga bisa dibantah.

Dan disilah Dendi sekarang. Menunggu Dyvette di ruang makan sambil makan buah papaya yang baru dipotong sama Maminya Dyvette. Ada Pak Bos juga yang baru pulang dari ketemu orang tua Arkan.

Oh iya, kemaren Arkan marah banget. Dan memilih meninggalkan kantor waktu yang lain pada makan-makan.

"Gimana Pak tadi?"

Pak Bos menghembuskan nafas kasar. "Ya keluarganya marah, kita dibilang mencoreng nama baik keluarga."

Dendi keringat dingin. Ya siapa coba yang ngga marah, lamaran ditolak terus nerima lamaran orang lain. Udah gitu dikasih taunya setelah udah selesai lamaran lagi kan.

"Terus gimana dong, Pak?"

Pak Bos menatap Dendi, ia menepuk bahu anak itu sekilas. Menyunggingkan senyum untuk sediki menenangkan.

"Udah, ngga apa-apa."

Dendi mengangguk sekali. Walaupun ia tau ngga ada yang baik-baik aja. Pasti hubungan baik kedua keluarga itu terputus. Dan itu karena ulahnya. Ya, tapi mau gimana? Masa dia harus ngalah sama Arkan yang jelas-jelas brengsek dan bikin pacarnya ngga bahagia.

Sedikit egois, boleh kan?

"Besok senin, Arkan ngga kerja lagi di kantor, Den."

YES! Dari kemaren-kemaren harusnya.

"Astaga Avi, bajunya." Itu suara Ibunya Dyvette.

Dendi dan Pak Bos reflek menoleh bersamaan ke arah tangga.

Dendi mencoba mengatur nafasnya. Tubuhnya panas, bukan karena nafsu melihat tubuh calon istrinya. Lebih ke arah kesal karena lagi-lagi ngga nurut. Dan kali ini bajunya terhitung parah.

Dyvette tersenyum malu-malu menuruni tangga. Memegang bahu lalu turun ke dada Dendi, lalu memberi kecupan di pipi.

Dendi menegang menerima itu. Ia laki-laki normal. Laki-laki normal mana yang ngga tergoda melihat perempuan memakai pakaian se-seksi itu dan menyentuh dirinya?

"Mas udah lama nunggu ya?"

Jujur, Dendi suka melihat Dyvette memakai baju yang ketat dan seksi, ngga mau munafik. Tapi dia yakin, bukan cuma dia yang akan menikmati keindahan tubuh kekasihnya. Laki-laki lain pun pasti ikut menikmatinya. Dan itu yang Dendi ngga mau.

"I..ya." Dendi tergugu-gugu.

"Ck," Pak Bos berdecak. "Kamu mau pergi pake baju itu Vi?"

"Iya." Dyvette mengangguk dan memberikan senyum semaksimal mungkin.

Dendi berusaha menormalkan debaran jantungnya. Ia ngga boleh lengah. Ia ngga mau membiarkan laki-laki lain menikmati secara gratis apa yang menjadi miliknya.

"Ganti bajunya."

Dyvette dan kedua orang tuanya menoleh kea rah sumber suara: Dendi. Dia mengatakan itu dengan tegas karena ngga ingin dibantah.

Kedua orang tua Dyvette memulas senyuman, sedangkan anaknya sudah manyun.

Dyvette meraih tangan Dendi. Memohon diizinkan memakai pakaian itu. "Mas, boleh ya?"

"Engga." Dendi tetap pada pendiriannya.

Dyvette memulai aksinya, ia pura-pura menangis supaya dikasihani oleh pacarnya, atau setidaknya dibela oleh kedua orang tuanya.

"Avi udah gede, Mas, Avi bebas nentuin baju yang mau dipake."

Rahang Dendi mengeras. "Ganti atau ngga pergi."

Untuk pertama kalinya Dyvette melihat kekasihnya marah, bukan sekedar ngomel-ngomel kaya biasanya. Ia melihat ke kedua orang tuanya yang sepertinya ngga akan membantunya. Ia menarik tangan Dendi lagi untuk berdiri.

"Ya udah, Mas yang pilihin, Avi capek milih baju." Dyvette menyerah.

Dendi tersenyum. Ia pamit pada orang tua pacarnya untuk ke atas, ke kamar Dyvette.

Selama Dendi membuka lemari, pacarnya hanya duduk di kasur dengan wajah ditekuk. Mengingat sudah banyak baju yang dicobanya, membuatnya lelah. Ujung-ujungnya disuruh ganti.

Dendi memilih sepasang baju yang menurutnya lumayan tertutup dan menyuruh Dyvette mengganti baju, ia melangkah keluar untuk menunggu.

Sekitar lima menit Dendi menunggu, Dyvette keluar dengan wajah yang masih ditekuk.

"Mas kepengennya aku jelek, kan?"

Dendi tertawa. Menurutnya, pacarnya cantik dengan baju yang dipilihnya.

"Iya, biar ngga ada yang ganjen lagi."

Mau ngga mau, Dyvette sedikit tersenyum. Namun ditahan sekuat tenaga.

"Ayo."

Acara ulang tahun ini dijadikan ajang reuni bagi geng Dyvette semasa SMA. Dulu dia punya geng yang isinya lima orang. Dan keempat temannya udah pada nikah dan bawa suami mereka.

Untung Dyvette bawa Dendi. Walaupun belum menikah, yang penting dia ngga keliatan kasian karena sendiri.

Mereka kini asik mengobrol menceritakan keseharian mereka. Ada Frida, yang menceritakan betapa repot sekaligus bahagianya menjadi ibu. Ada Resta, yang memamerkan sekaligus mempromosikan usaha-usaha yang dirintisnya. Ada Raras, yang menceritakan betapa loyal suaminya yang membelikan ini dan itu untuknya. Ada Wizka, si pengantin baru yang menceritakan bagaimana indahnya malam pertama, dan disambut gelak tawa dari semuanya - kecuali Dyvette.

"Dyvette, kamu ngga maua cerita apa gitu?"

Dyvette ngga punya cerita apa-apa. Dia belum menikah jadi ngga bisa cerita tentang malam pertama dan keloyalan suaminya. Suami aja belom ada, apalagi anak kan. Dia juga ngga punya usaha apa-apa selain jadi make up artist yang dilarang Papinya - mau cerita dia kerja di kantor Papinya juga ngga ada bagusnya.

Dyvette mau cerita kalau sekarang dia punya pacar dan udah tunangan tapi malu. Malu karena diumur segini masa baru tunangan. Mau minta dinikahin sekarang lebih malu lagi.

Dyvette tersenyum kikuk. "Aku ke toilet sebentar ya."

Dyvette langsung melangkah pergi, menarik Dendi yang ada di dekatnya keluar dari pesta ini. Ia menceritakan ulang cerita teman-temannya pada Dendi. Ia kesal. Di umurnya yang sekarang, dia ngga punya pencapaian apa-apa.

Dendi mengelus kepala Dyvette lembut, lalu menarik pacarnya dalam pelukannya. Memberikan usapan pelan dipunggung wanitanya.

"Mas, kapan nikahin Avi?"

Dendi langsung keringet dingin.

Maafin part ini absurd😢

Dear Dendi...

Dear Dyvette...

28/06/2019
Ta💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro