[26] Dendi Memiliki Penyakit Mematikan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

1000+ votes ya😊

Kalau umur kalian tinggal beberapa bulan lagi, apa hal-hal yang mau kalian lakuin?

-Dendi-

Senin pagi Dendi terbangun karena mendengar suara perempuan menangis kencang. Dia membuka matanya dan menemukan Mamanya, Cecil, Kafka dan Dyvette.

Bisa kalian tebak siapa yang menangis kencang?

Dyvette?

Bukan!

Yang menangis adalah Cecil, yang lagi ditenangin sama Kafka.

Sedangkan Mamanya hanya menangis pelan, dan melihat anak bungsunya membuka mata, ia langsung menyeka air matanya lalu mengusap kening dan rambut bungsunya.

Dendi tersenyum.

"Mah..."

"Kok Mama sih yang dipanggil? Yang nangisnya kenceng kan gue." Cecil memprotes disela tangisannya.

Dyvette memilih diam.

"Caesar pulang dulu, nanti dia balik." Mamanya menjelaskan.

"Nyebelin banget Caesar, sahabatnya sakit masih aja mikirin kantor." Dalam keadaan sakit pun, Dendi masih suka sewot.

Mamanya masih mengelus rambut anaknya. "Engga, dia mau ambil baju buat nginep disini sama mau nganterin Daffin ke tempat ayahnya."

Semalam Deana pulang duluan ke rumah karena ada peraturan rumah sakit bahwa anak kecil yang sehat ngga boleh masuk rumah sakit itu, takut jadi sakit. Dan dia ngga mau Daffin jadi sakit.

"Tadi kata Caesar hasil CT scan udah keluar, terus dokter bilang kamu musti nginep minimal tujuh hari."

Dendi mengangguk. Ia pasrah. Sebenarnya ia ingin menangis di depan keluarganya, tapi ditahannya karena ngga mau bikin kuatir. Ia cuma bisa nangis di depan Caesar – setidaknya yang ia tau sahabatnya kan datar.

"Bae-bae lo de sama Caesar, dia cuti seminggu demi jagain lo disini tau." Cecil menyudahi tangisannya. Dia menoleh ke Dyvette. "Gantian sama Avi, ya?"

"Iya, Mba." Akhirnya Dyvette membuka suaranya.

Dendi benci keadaan seperti ini, benci keadaan dimana ia terlihat lemah dan dipandang menyedihkan oleh orang-orang disekitarnya.

Walaupun dia kesel sama Caesar yang terlihat sangat santai, tapi mungkin dia memang membutuhkan sahabatnya disaat-saat seperti ini. Karena cuma Caesar lah yang ngga memandangnya dengan pandangan yang menyedihkan.

"Caesar bilang ngga aku sakit apa?"

Semuanya menggeleng. "Tadi ngga lama kita dateng, dia langsung pamit."

Cecil dan Mamanya nanya, kenapa bisa gini. Kemaren yang dirasain apa. Sebelumnya dia makan apa. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang males Dendi jawab karena semakin menggambarkan betapa menyedihkannya dia.

Lalu Suster masuk membawakan sarapan dan obat. "Obatnya diminum setengah jam setelah makan ya."

Suster itu pergi.

Dyvette ingin menyuapi Dendi sebenarnya, tapi melihat Mamanya Dendi sudah mengambil sendok duluan. Dia mengurungkan niatnya.

Cecil yang melihat itu, langsung merangkul bahu Dyvette. "Yoga anak kesayangan Mama, anak yang paling diharepin tuh dia jadi kamu maklum ya."

Dyvette tersenyum, ia mengangguk dan mencoba maklum.

"Lagipula abis ini kita pulang, kamu bisa nyuapin makan siang, kan?"

"Iya, Mba."

Dendi selesai makan bersamaan dengan datangnya Caesar dan Deana membawa, plastik yang isinya makanan yang dibeli – karena Deana ngga sempet masak tadi pagi, ia sibuk menyiapkan bawaan untuk Daffin menginap selama seminggu.

Enaknya di ruang VIP ini, jam besuk bisa kapan aja dan berapa aja dibebaskan. Ada sofa dan ada dua kursi single juga, jadi yang besuk bisa santai-santai disitu, dan pastinya ada TV.

Keluarga Dendi makan di sofa sambil menonton televisi. Deana duduk di kursi single di sebelah Caesar yang memilih duduk di kasur, Dyvette pun duduk di kursi single satunya lagi.

"Enak kan makanan sini?" Caesar bertanya.

Dulu, Deana melahirkan di rumah sakit ini. Caesar juga pernah di rawat di rumah sakit ini karena tipes.

Dendi mengangguk. Yang enak dari rumah sakit ini, pasien boleh memilih mau makan bubur, nasi tim atau nasi putih biasa.

"Emang lauknya apa?" Deana yang kali ini bertanya.

"Ngga tau, kan tadi gue disuapin nyokap."

Caesar dan Deana tertawa.

Mamanya Dendi, Cecil dan Kafka pamit pulang karena malamnya Kafka harus ke luar kota lagi.

Dendi dikecup keningnya oleh sang Mama. Di mata Mamanya, dia tetap anak kecil yang harus diperlakukan seperti itu. Cecil ngga mau nyium, takut jadi nangis. Kafka cuma ngajak tos terus bilang ngga usah kuatir soal biaya.

Setelah mereka pergi, tersisalah Dendi yang masih terbaring. Caesar yang duduk di kasur sisi sebelah kanan Dendi, Dyvette yang duduk di kursi single di sebelah kiri Dendi dan Deana yang sibuk menelpon anaknya – membujuk supaya mau makan disuapin orang lain.

"Gimana badan lo? Yang kiri udah bisa digerakin ngga?"

Dendi mengangguk. "Udah bisa ditekuk dikit, tangannya juga bisa diangkat dikit."

Caesar mengangguk mengerti. "Tadi kata dokter lo kena stroke, tapi kayanya prank deh." Ia tertawa, dan seperti biasa, ia menangis dalam hati mengetahui sahabatnya sakit parah seperti itu. "Nanti pas dokter visit minta pulang aja ya."

Dendi diam. Dia berusaha mencerna perkataan sahabatnya. Dia sakit apa tadi katanya? Stroke? Dia mengidap penyakit orang tua begitu? Dia tersenyum kecut akhirnya.

"Umur gue tinggal berapa lama, Sar?"

Caesar tertawa dan Dendi sebal karena itu. Bisa-bisanya sahabatnya itu tertawa disaat ia merasa ini sudah akhir dari hidupnya?

Sahabat macam apa itu!!!!

Dendi melemparkan tatapan sinis yang langsung menghentikkan tawa Caesar. Bahunya ditepuk Caesar pelan.

"Sorry-sorry, abis pertanyaan lo lucu banget."

Lucu katanya? Dimana letak lucunya? Kalian tau rasanya jatuh karena air cucian licin terus airnya masuk ke mulut dan rasanya pait banget sekaligus kalian ketimpa jemurannya sekalian? Ngga enak kan? Itu yang Dendi rasakan.

"Umur lo masih panjang lah, Den."

Kening Dendi berkerut, alisnya yang tebal hampir menyatu. Tau darimana umurnya masih panjang? Kan banyak orang yang meninggal karena stroke.

Walaupun meninggal dengan penyakit stroke menurunkan angka kematian karena rokok dan kecelakaan, sih, tapi dia ngga mau meninggal karena penyakit orang tua begitu. Kan dia belom tua-tua banget.

Membayangkan umurnya tinggal hitungan bulan, otak Dendi merancangkan beberapa keinginan untuk dilakukan.

Mau beli handphone keluaran terbaru yang paling canggih.

Mau terbang pake paralayang tanpa didampingin sama mas-mas.

Mau naik jetski ke tengah laut sendiri tanpa harus bonceng mas-mas yang malah narik pelampungnya.

Mau ke Sumba.

Mau berenang di Maladewa.

Mau foto sama komodo.

Mau beliin Mamanya Berlian segede cincin Thanos.

Dendi ngga kepengen menikah. Kenapa? Dia ngga mau meninggalkan Dyvette jadi janda yang menyedihkan. Baru menikah beberapa bulan langsung ditinggal meninggal.

Dia lebih baik dicap brengsek tapi waktu dia meninggal Dyvette udah nemuin penggantinya.

Dendi merasa itu adalah keinginan terbaik, terkeren dan termulia yang dia inginkan di akhir hidupnya. Tanpa sadar, hal itu membuatnya tersenyum.

Mana ada orang yang semulia gue?

"Mas kenapa senyum-senyum?"

Dendi menoleh ke sebelah kirinya. Dilihatnya wajah cemas tunangannya, membuatnya mendesah dalam hati. Dia jadi ngga yakin rela jadi cowok brengsek yang bakal ngejauhin Dyvette dan ngerelain perempuan itu jatuh ke laki lain-lain.

Buktinya, sekarang, semisal ngga ada Caesar dan Deana, dia yakin bakal minta Dyvette untuk tiduran satu ranjang dengannya. Mau dipeluk sama tunangannya, mau nyium kening, mata, jidat dan pasti bibir tunangannnya.

Sial! Ngga rela meninggal secepet ini!

"Mas seneng Avi disini." Akhirnya, itulah yang keluar dari mulut Dendi.

Dendi tau satu-satunya keinginan di akhir hidupnya adalah menikahi perempuan yang memakai cincin yang sama dengan yang melingkar di jarinya. Tapi dia bener-bener ngga mau meninggalkan Dyvette jadi janda.

Apa gue kasih racun supaya meninggal? Biar kaya Romeo Juliet gitu.

Anjrit! Bego banget dah gue.

Dokter yang cukup muda dengan rambut jarang-jarang datang dan memberi senyuman pada Dendi dan yang lainnya.

"Wah, rame ya yang nungguin."

Dendi tersenyum. Sebenarnya ia takut bertemu dokter. Terakhir dia bertemu dokter itu hampir empat belas tahun lalu – dokter dulu menyampaikan kabar kepergian Papanya.

Dendi merasakan cengkraman di bahu kirinya. Sahabatnya yang melakukan itu. Sahabatnya tau dia takut ngeliat dan ngobrol sama dokter.

Dokter menanyakan kabar Dendi hari ini, dan dijawab seadanya sama Dendi. Dokter juga minta diceritakan apa yang terjadi kemarin sebelum sakit, dan Dendi mencoba menjelaskan sebisa mungkin.

"Pusing-pusing begitu udah berapa lama?"

Dendi mengangguk. "Tujuh tahun kalo ngga salah."

"Pusingnya di sebelah mana?"

"Kanan." Dendi selalu tidur menghadap kanan karena dia pikir sakit kepalanya akan terus di kepala bagian kanan kalo dia tidur ke arah kanan. Dia takut kalo tidur menghadap kiri, pusingnya nyebar ke kiri juga.

"Iya, bener."

Dendi mengerutkan kening. Iya bener lah, kan dia yang pusing. Masa dia salah?

"Apanya yang bener, Dok?"

Dokter meminta hasil CT Scan yang tadi diserahkan ke Caesar lalu mencoba menerangkan ke Dendi.

"Ada penyumbatan karena penggumpalan darah di otak sebelah kanan, untungnya terjadi di otak besar bukan di otak kecil."

Dendi ingin berkata kasar. Ngga ada untungnya sakit, Dok! Menderita! Eh ada deh yang diuntungin, rumah sakit, kan nerima bayaran.

"Lebih beruntung lagi hanya tersumbat pembuluh darahnya, bukan pecah pembuluh darah di otak."

"Apa untungnya Dok? Kan sama-sama sakit." Itu suara Caesar.

Dendi berdecak kagum dalam hatinya. Ternyata berteman lebih dari sepuluh tahun membuatnya dan sahabatnya sehati dan sepikiran.

"Kalau yang terjadi pecah pembuluh darah akan lebih sulit untuk pulih, lalu kalau terjadinya di otak kecil akan lebih bahaya."

"Umur saya tinggal berapa lama lagi, Dok?"

Dendi sebenarnya takut menanyakan itu, tapi lebih baik tau dan mempersiapkan diri. Daripada lagi asik-asik hidup, tiba-tiba meninggal mendadak.

"Kalau umur Tuhan yang tau Mas, tapi kalo dilihat dari penyakitnya masih lama kok."

Dendi menghela nafas. Dia mengenyahkan pikiran-pikiran ngelanturnya. Di otaknya kini, kalau ia sembuh ia mau menikahi Dyvette – itupun kalau wanitanya mau menikah dengan laki-laki penyakitan sepertinya.

"Mas ini stroke ringan, harusnya pemulihannya cepat, tapi--"

"Tapia pa Dok?" Dyvette bersuara.

Dokter itu tersenyum. "Tapi kita harus melakukan observasi selama tujuh hari ya, biasanya stroke itu kalau membaik akan membaik terus, kalau memburuk akan memburuk terus."

Dendi kembali cemas. Kalau dia tiap harinya akan memburuk terus, dia bakalan cepet meninggal kah?

"Kami sih berharapnya Mas akan membaik terus sampai seminggu ke depan, karena kalau dari cerita temannya kemarin ngga yang kiri ngga bisa digerakin sama sekali, hari ini udah bisa gerak dikit-dikit kan."

"Amin." Dendi berucap sepenuh hati.

"Dok, stroke kan penyakit eyang-eyang, kok bisa kena ke dia?" Kali ini suara Deana mebuat Dendi was-was lagi.

Dokter itu tertawa. "Jaman sekarang mah penyakit ngga kenal umur lagi, de." Jawaban dari dokter itu membuat Dendi sedikit lebih tenang. "Eh iya, kok kamu bisa masuk sini? Bukannya anak di bawah umur lima belas tahun ngga boleh masuk?"

Dendi ngga kuat menahan tawanya melihat Deana manyun karena dikira anak kecil.

"Dia istri saya, Dok." Caesar tampak garang.

sebutin kemauan kalian yang pengen banget dilakuin.
kalo aku, pengen banget beli rumah yang parkirannya muat mobil orang sekomplek😂😂

Dear Dendi...

Dear Dyvette...

04/07/2019
Ta💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro