Intermezzo - Part 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

#Play the music for better reading#
🎧🎼🎶
Kalafina (A Capella Cover by Lollia) - Intermezzo.

--0--

"Ayah, aku sudah jenuh tinggal di sini," ucap Ningrum sambil terus memotong berbagai macam sayuran yang akan dia masak menjadi capcay.

"Kenapa memangnya?" Musa sibuk menonton berita siang sembari meminum secangkir kopi hitam panas.

"Aku malu! Punya keturunan gila seperti Theo. Belum lagi dengan Eugene, aku dapat lagi peringatan dari Pak RT."

"Biarkan saja ... mereka sudah besar."

"Selalu saja itu yang Ayah katakan! Enak memang Ayah kerja terus tanpa mengurus rumah atau anaknya. Aku lelah!"

Suara pintu dibanting keras, Eugene keluar dari kamarnya. Rambutnya sudah gondrong tak terurus, celananya dia sobek-sobek secara sengaja, dan badannya yang six pack terlihat tanpa busana. Dia menguap besar hingga muat satu tangan terhisap ke dalamnya.

"Eugene! Jam berapa sekarang, hah? Kamu itu kerajaannya tidur saja!" bentak Ningrum yang malah direspon dengan tatapan kesal Eugene.

"Apa sih! Terserah aku, mau tidur, mau mandi, mau makan. Aku sudah bukan anak kecil lagi, Ibu!" Eugene yang lelah dengan omelan ibunya, pergi mengambil baju kaosnya yang bergelantungan di atas sofa.

"Mana Theo? Theo! Aku bosan!" teriak Eugene sambil melempar pandangannya ke seluruh ruangan, seperti seekor serigala mencari mangsanya.

Tiba-tiba suara pagar didorong hingga batasnya dan disusul dengan suara ketukan pintu depan. Ningrum yang ingin meminta suami atau anak laki-lakinya untuk membukakan pintu, mengurungkan niatnya karena mereka seperti masa bodoh dengan dirinya.

Ningrum yang kesal melihat keluarganya yang acuh tak acuh, membanting pisau dapurnya dan pergi menuju pintu depan. Dia mengintip di jendela, ada tiga pria yang memakai baju seragam biru dan membawa kotak perkakas untuk memperbaiki pipa. Ningrum membukakan pintu dan mempersilakan mereka masuk ke dalam rumah.

--0--

Theo membuka pintu depan, "Ibu! Ibu ada dimana? Theo lapar."

Sejenak Theo berdiri dan kebingungan dengan penampakan ruang tamu yang berantakan. Theo tidak menyukainya. Rasa kesal mulai dia rasakan. Dia tidak suka melihat kotak merahnya jatuh—memuntahkan puzzel, lego, mobil-mobilan dan robot-robotnya hingga berserakan di ruang tamu. Padahal sebelum pergi keluar, Theo sudah merapikannya.

Theo tahu, pasti ini perbuatan kakaknya lagi. Eugene sangat suka membuat Theo marah. Kalau Theo bertemu lagi dengan kakaknya, dia pasti akan melemparkan batu tepat di wajahnya, atau mencakarnya seperti yang dia lakukan sebelumnya.

"...."

Langkahnya terhenti. Theo melihat ada sesuatu yang menggeliat di dapur. Penasaran, Theo mendekatinya. Terlihat di atas lantai itu ada ayah, ibu, kakaknya yang terikat. Di mulut mereka terekat lakban hitam. Mereka meronta-ronta, berusaha melepaskan diri. Secara bersamaan, mereka menatap Theo dan memberi kode untuk melepaskan ikatan di punggung mereka.

"Apa itu? Monster? Bukan .... Ah! Itu ogre raksasa!" Sesaat Theo berkata, sontak ketiganya menggelengkan kepala. Theo benar-benar tidak bisa membaca situasi.

"Hahaha, aku berhasil menangkap mereka. Kalian tidak bisa lari dariku!" Theo melompat kegirangan.

Setelah beberapa lompatan, seketika dia menyadari ada sebilah pisau dapur yang tergeletak di atas meja, tidak jauh dari posisinya sekarang. Dia mengambilnya dan membalik-balikannya dengan kagum. Benda itu berkilauan. Theo menganggap bahwa pisau itu adalah pedang yang biasa dia baca di bukunya.

Sambil mengayunkannya ke udara, Theo menoleh ke arah 'tiga ogre raksasa' yang terpaku melihat benda yang Theo pegang. Mereka tahu, Theo dan benda tajam ... artinya sesuatu yang buruk akan terjadi. "Dengan pedang suci ini, aku akan menghukum kalian!"

Theo menebaskan pisau itu tanpa ragu. Menusuk secara membabi buta. Cairan merah tersemprot ke seluruh ruangan. Bau anyir pun mulai tercium. Ketiganya hanya pasrah melihat tubuh mereka yang dirobek-robek. Suara tawa kekakanak-kanakan terdengar di penjuru rumah.

--0--

Setelah semuanya terungkap dan kepolisian telah mengantongi barang bukti—Theo yang sudah cukup umur, ditangkap dan terjerat hukum pembunuhan terhadap keluarganya. Namun dengan alasan keterbelakangan mental yang diidap Theo, selama sidang dilaksanakan, sulit untuk meminta keterangan darinya. Berkali-kali Theo mengamuk menyebabkan sidang selalu dibatalkan.

Lebih parahnya lagi, selama di penjara, Theo terus menerus menangis karena takut dengan ruang sel yang sempit dan orang-orang asing yang berada di sana. Eni yang tidak tahan melihat penderitaan Theo—setiap hari menjenguknya dan mencari cara agar Theo diberi perlakuan khusus. Sampai-sampai Eni rela membayar berapapun hanya untuk memindahkan Theo di sel tersendiri.

Selang beberapa bulan, atas keputusan hakim, Theo dinyatakan dibebaskan dari hukum dengan alasan adanya gangguan jiwa serta tidak bisa mempertanggung jawabkan tindakannya. Namun Theo akan tetap diawasi di rumah sakit jiwa selama masa percobaan, yaitu satu tahun untuk dilindungi dan diperiksa lebih lanjut. Eni hanya bisa puas dengan keputusan tersebut, tidak ada lagi yang bisa dia lakukan kepada Theo. Perjuangannya telah selesai.

--0--

Eni mengalami depresi akhir-akhir ini, membuat kesehatannya menurun. Selama berkerja konsentrasinya terganggu. Beberapa kali dia juga mendapat semprotan ceramah dari atasannya.

"Ini sudah keterlaluan! Dia itu bukan anakmu. Sadarlah!" Perkataan atasannya memang benar, namun sifat keibuan Eni sudah sangat kental pada dirinya.

Eni sangat menyukai anak-anak, meskipun bukan dari darah dagingnya sekalipun. Wanita berambut coklat itu tidak tega melihat tubuh mungil itu menderita. Dia tahu Theo sudah besar—sama besarnya dengan Aris. Tapi tetap saja, dia sudah menganggap Theo seperi anaknya sendiri. Bagaikan dia bisa merasakan penderitaan yang dialami Theo. Hingga detik ini, rasa perih masih terus menerus menghantuinya.

Dari bagian dalam rumah, anak bungsu Eni mendatangi dirinya yang sedang terkulai lemas di sofa ruang tamu. Wajahnya merah padam, tangannya dikepalkan. Dia bersiap-siap untuk memarahi mamanya yang datang terlambat lagi ke rumah.

"Mama! Pembohong!" teriak Resa, anak laki-laki Eni.

Eni yang masih terkulai di atas sofa hanya bisa melihat anaknya yang memukul-mukul punggungnya dengan kasar. Resa masih berumur lima tahun, kenakalannya masih dianggap sebagai hal lumrah bagi dirinya.

Mencoba untuk memeluk anaknya yang kesal, Resa malah menepisnya, membuat Eni terjatuh keras ke bawah sofa. "Mama, pembohong! Mama lebih sayang Kak Theo dibandingkan Resa. Resa benci Mama!" Resa berbicara dengan nada hampir menangis.

Setelah jatuh, tertimpa tangga pula. Eni berhasil mendapatkan pukulan keras dari darah dagingnya sendiri. Mama macam apa yang tidak terluka bila anaknya sudah tidak sayang lagi padanya. Dari arah ruang keluarga, Ica si anak pertama, datang untuk melerai Resa yang mulai mengamuk ke mamanya.

"Mama ... makanya, jangan terus-terusan buat janji tapi enggak pernah ditepati. Resa masih kecil, belum paham. Kalau Ica yang sudah besar, udah biasa," kata Ica yang sudah berumur delapan tahun—kembali berhasil memberi pukulan kedua ke hati Eni yang sudah rapuh. Bila tidak cepat-cepat ditangani, kemungkinan hatinya akan hancur menjadi butiran debu.

Eni yang hanya bisa pasrah dihakimi anaknya sendiri, dilihat oleh suaminya yang baru masuk ke dalam rumah, Ali. Sambil tersenyum hangat, Ali menyuruh kedua anaknya untuk kembali ke kamarnya masing-masing. Dia pun tak lupa membantu istrinya yang terkapar di lantai untuk berdiri. Eni yang sudah tidak bisa lagi menahan ledakan emosinya, langsung merangkul suaminya sangat erat. Wanita berambut coklat itu menangis tersedu-sedu di bahu suaminya.

"Aku adalah mama yang jahat," isak Eni.

Ali sangat mengenal istrinya. Dari dulu, Eni lebih suka membuat orang bahagia walaupun dia harus menahan penderitaan. Dia berusaha tersenyum dan baik kepada semua orang. Tidak pernah ada orang yang bercerita tentang keburukannya—karena memang dia tidak pernah memperlihatkannya.

Ketika dia berada di rumah, sendirian, maka saat itulah Eni akan mengeluarkan semua rasa sakit yang dipendamnya dengan menangis berjam-jam. Ali mencintai istrinya yang tulus. Tetapi dalam waktu bersamaan dia juga membencinya. Bahwa Eni peduli orang-orang di sekitarnya namun selalu lupa untuk memperdulikan diri sendiri ataupun keluarganya.

Ali mengecup kening Eni, dan menatap istrinya dengan tatapan hangat, "Kamu mau jadi keluarga Theo berikutnya?"

Eni menggeleng cepat, dia sadar bahwa selama ini dia malah lebih sibuk dengan pekerjaannya maupun orang lain dibandingkan dengan anak-anaknya. "Maafkan aku. Aku sudah lupa dengan kalian semua."

"Hei ... jangan cuman meminta maaf kepadaku. Minta maaflah dengan Ica dan Resa," Ali menggerakkan bola matanya ke arah pintu kamar kedua anaknya. Di sana Ica dan Resa sedang mengintip pada celah pintu.

Eni mulai paham bahwa kedua anaknya patut diberi kasih sayang yang lebih banyak dibandingkan teman-temannya, sekalipun itu Theo. Eni melepas pelukan dari tubuh Ali, lalu membuka tangannya lebar-lebar sembari tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. Ica dan Resa yang memahaminya, keluar dari tempat persembunyiannya dan memeluk erat mama dan papanya.

"Maafkan Mama, ya. Mama janji, tidak akan berbohong lagi dengan Ica, Resa, dan Papa."

<><><><><>

Kasus Intermezzo [Ditutup]

Maafkan Hygea karena semakin lama tulisanku semakin berantakan 😭. Dari kemarin aku selalu kena urusan yang tiba-tiba datang bertubi-tubi sehingga gairah untuk menulisku menurun. Aku janji bakalan revisi habis-habisan kalau udah selesai. 😢

Oh ya, hampir lupa. Perkenalan tokoh Intermezzo kelewatan. Aduh, diriku udah mulai pikun. 😂

Theo (Theobroma cacao) artinya cokelat.
Eugene (Eugenia aperculata) artinya daun salam.
Ningrum (Piper nigrum) artinya lada.
Musa (Musa sp.) artinya pisang.
Amar (Amaranthus sp.) artinya bayam.
Adi (Caladium sp.) artinya keladi.

Terima kasih yang masih mau mampir dan baca karyaku yang masih belum sempurna ini.

Oh ya, ini lagu yang menjadi inspirasiku untuk menulis cerita ini. Coba deh kalian cari liriknya, kalian bakalan mengerti tentang penderitaan Theo dan Eni.

Todrick Hall - No Place Like Home.

https://youtu.be/vT9iK6NYaTw


Btw, sepertinya kasus ini tidak terlalu sulit. Kalau ada yang masih bingung, silahkan bertanya. Untuk sementara, tidak ada penjelasan khusus untuk kasus satu ini.

[22/2/2019]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro