Iris - Part 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Like the moon and stars hidden in the dark. Finally, I found myself in your eyes. If we were meant to be, my love. Why do we keep making mistakes? Nothing can fulfill us in this world. Give me hopes to believe in our fate.
Zwei - Last Game lyrics.

--0--

Tifa bersama teman-teman seperjuangan dan setanah air, sibuk membersihkan lab setelah ujian Farmakognosi. Salah satu ujian paling rempong yang mereka alami. Teknis ujiannya menggunakan beraneka jenis ekstrak. Tiap praktikan mendapat secara acak ekstrak yang akan di uji dan semuanya mendapatkan jenis yang berbeda-beda satu sama lain. jumlah vial yang di gunakan lebih dari 100 biji—sesuai dengan jumlah praktikan yang ikut ujian. Belum dihitung dengan alat-alat yang juga digunakan selama dilaksanakan ujian. Seketika lab itu berubah menjadi toko pecah belah.

Sebagai praktikan yang sudah bebas dari satu lab—walaupun belum ditentukan apakah mereka lulus maupun tidak. Mereka memiliki kewajiban bergotong royong untuk membersihkan ruangan yang sudah mereka gunakan selama satu semester. Apalagi besok adalah hari sabtu, mereka lebih memilih menyelesaikan pada hari yang sama, agar peringatan hari 'pulang kampung berjamaah' tidak terganggu. Siapa coba yang mau datang ke kampus hari sabtu?

Seharusnya mereka sudah pulang pada pukul lima sore, tetapi dengan kerja rodi yang tak terelakkan tersebut, waktu sudah menunjukkan jam 6 lewat 10 menit. Satpam yang biasa ronda di fakultas sudah menyenteri jendela-jendela lab dari lantai dasar, seperti ada lampu sorot yang menyinari wajah-wajah kusut mereka. Satpam itu telah memberi tanda 'mengusir' untuk siapapun yang masih ada di lantai empat.

"Sudah selesai semuanya?" tanya ketua tingkat Tifa, salah satu pria yang paling bisa diandalkan di angkatannya. "Kita udah diusir. Cepat semuanya! Liburan sudah di depan mata." Seluruh praktikan yang masih santai membersihkan, segera mempercepat gerakannya setelah mendengar kata 'Liburan'. Kata semu yang kadang mereka lupa definisinya.

Untung saja, Tifa sudah selesai mengepel lantai, teman sekelasnya pun telah menyelesaikan tugasnya masing-masing. Mereka akhirnya bisa bersiap pulang dan mengucapkan selamat tinggal kepada kampus selama dua hari ke depan. Suara tangisan haru dan sorak-sorai memenuhi seluruh fakultas yang sepi bagaikan manusia sudah punah di sana.

Gedung fakultas yang gelap gulita, berhasil meningkatkan rasa takut kawanan farmasis itu. Tifa yang sudah putus urat takutnya terhadap hal-hal gaib, menuruni tangga dengan santai. Tas ranselnya yang dia kenakan, digenggam oleh salah satu teman perempuannya dan begitu seterusnya hingga terbentuk kereta yang panjang. Berhubung jumlah pria di kelasnya hanya empat ekor, mereka membuat formasi 1-2-2 untuk menjaga satu sama lain.

Sesampainya mereka di tempat parkir dengan selamat, Tifa segera menaiki motornya dan berpisah dengan kawannya. Rata-rata dari mereka mengarah ke arah kota. Sedangkan Tifa yang bermukim di kos belakang kampus, berlawanan arah dari kota, menuju jalan poros kabupaten.

"Tifa! Mau kami antar?" tanya salah satu teman cowok sekelas Tifa.

"Enggak usah repot-repot. Kosku dekat kok, lebih baik kalian pulang duluan, mau sholat maghrib, loh!" Tifa menolak tawaran temannya dengan alasan klasik.

"Yakin? Kamu itu masih ingatkan jenis kelaminmu?"

"Hei! Kamu menyinggungku, hah?" Tifa mulai marah karena keperempuannya dipertanyakan.

"Hahaha, habis ... kamu tuh beda banget sama cewek-cewek yang lain, taunya cuman merengek terus, pengen ditemani ke mana-mana," sambung ketua tingkat yang diikuti dengan tawa tiga ekor cowok lainnya.

"Jangan meremehkanku. Gini-gini aku udah biasa belajar bela diri, tau!" Tifa menganjungkan jempolnya bangga.

"Yah ... belajar dari youtube, bukan? Apa yang kamu tonton? Smack Down?"

Tifa yang sudah sebal dengan teman-teman cowoknya, langsung melempar batu kali yang berjejer di atas tanah. Masih sayang nyawa, mereka tancap gas dan tertawa disepanjang jalan, meninggalkan Tifa sendirian di tempat parkir. Gadis berambut hitam itu hanya bisa melempar batu yang ada digenggamannya, jauh ke lapangan sepak bola di seberang fakultasnya.

--0--

Adzan maghrib telah berkumandang. Jalan raya mulai sepi, kendaraan yang melintas hanya bisa dihitung jari. Dengan santainya, Tifa mengendarai motor biru kesayangannya tanpa beban, sehingga gadis berkacamata itu membawa motornya tidak terlalu kencang.

Tifa yang bosan di atas motornya, memikirkan Aris yang mulai bertingkah aneh akhir-akhir ini. Lelaki berambut kelabu itu mulai jarang memanggil Tifa, Cony maupun Eni ke rumahnya.

Padahal dia paling sering panggil aku dan Cony untuk memeriksa laporan praktikum atau menginput nilai ujian. Atau meminta Eni memasok kulkasnya dengan makanan lezat buatan Mama beranak dua itu. Semenjak kasus Theo dinyatakan tuntas, Aris juga tiba-tiba menjadi pendiam daripada biasanya ....

Tifa membayangkan Aris yang sedang melamun di teras rumahnya. Sambil mengelus kopiko yang sedang tertidur pulas di pahanya, air mukanya pucat dan lemas. Setiap kali ditanya, dia seperti berpura-pura tuli, tidak ingin diganggu. Cony dan Eni yang sudah lama bersama Aris pun kebingungan terhadap tingkah lakunya.

Beberapa hari yang lalu, Tifa tidak sengaja mendengar isi hati Aris yang gundah. "Apakah sudah benar, menghukum orang yang tidak sengaja melukai orang yang dicintainya? Apakah sebuah kesalahan harus dibalas setimpal?" gumam Aris yang duduk di depan televisi namun matanya sama sekali tidak fokus menonton tanyang di hadapannya.

Tifa yang baru tersadar telah mengkhawatirkan Si-pria-bermulut-bisa-sematikan-ular-Black-Mamba, sontak menampar keras pipinya dengan tangan kiri, tanpa melepas tangan kanannya yang terus mengegas motor.

Kampret! Ngapain aku mikirin cowok sialan begitu! Cih, mungkin aku harus cepat minum air kelapa. Pikiranku sudah kotor dengan racun yang dia sebar di kepalaku.

Sesampainya di pertigaan, gadis itu membelokkan kendaraannya ke arah kanan. Jalanannya pun sedikit demi sedikit mulai menyempit. Gang menuju kos Tifa adalah jalan tikus, dinding tinggi di kanan kiri menghimpit jalanan yang hanya muat untuk dua motor.

Saking sunyinya, pertahanan Tifa sangat lemah. Tanpa dia sadari—dari arah belakang, ada motor yang dikendarai dua pria tidak dikenal. Mereka tampak berusaha mengejar gadis berkuncir kuda itu. Sepertinya kedua pria itu sudah mengawasi Tifa sesaat memasuki gang.

<><><><><>

Hei, guys! Selamat datang di kasus terakhir Pharma.con 😄. Gimana menurut kalian dengan ceritaku ini? Bagus? Seru? Atau Mudah ditebak dan kurang menarik?

Hiks ... 😭 sampai sekarang ceritaku malah tambah ancur. Mungkin karena para pembaca sudah semakin lama, semakin jarang membaca karyaku. Memang ini sedikit egois, tapi vote dan koment kalian sangat membantu membangkitkan semangat menulisku. Bukannya aku meminta-minta, hanya saja aku butuh jejak kalian bahwa memang benar karyaku telah dibaca.

Btw, aku akan merevisi besar-besaran setelah bulan 2 Maret. Semoga karya ini bisa sempurna dan bisa menjadi karya yang banyak dibaca orang-orang. Amin ... 😳

Please, jangan lupa vote dan koment ya. Aku tidak mengigit kok, silahkan jangan malu-malu. 😂

Sampai jumpa esok hari! Bye-bye 😆

[23/2/2019]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro