Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Besok jangan lupa press realese, semua harus hadir," ucap Pak Samudra Komandan kami.

"Siap, Ndan," jawab kami semua. Setelah apel malam ini, kami tetap harus kembali ke posko untuk melacak keberadaan bandar lainnya.  Aku mencuri pandang pada Bang Hilman yang saat ini sibuk dengan ponselnya. Beberapa hari ini aku perhatikan dia lebih sering melihat ponselnya, biasanya dia hanya melakukan itu pada ponsel yang digunakannya untuk bermain game. Iya aku sampai hafal ponsel mana yang digunakannya untuk berkomunikasi juga berbalas chat dan ponselnya yang digunakan untuk bermain game.

Aku mengikuti langkahnya dari belakang, dan mencoba mendengarkan percakapannya di telepon. "Belum tahu bisa pulang atau nggak, Ma. Mama tidur aja, Hilman kan bawa kunci."

Oh, ternyata dia sedang berbicara dengan ibunya. Aku tahu Hilman sangat menyayangi ibunya, terlihat dari foto profil WhatsApp-nya yang tidak pernah berganti, foto dia dan ibunya. Katanya pria yang menyayangi ibunya juga akan sangat menyanyangi istrinya kelak. Beruntung sekali yang akan mendampingi laki-laki ini.

"Bang, accept dong request friend aku di Instagram, udah dari zaman kapan kali nggak pernah diterima," ucapku sambil mensejajari langkahnya.

Dia menoleh padaku. "Oh, nanti ya."

"Awas lho, kalau lupa."

"Iya. Lagian kan udah ada nomor WA, ngapain juga request di IG juga?"

"Ya biar banyak temen lah akunku."

Dia tertawa, aku suka suara tawanya, renyah. "Iya iya."

Sebenarnya aku hanya ingin melihat postingannya saja, aku tahu tidak banyak foto di sana, tidak sampai sepuluh postingan, pengikut dan yang mengikutinya pun tidak lebih dari tiga puluh orang. "Dil, kamu juga nggak terima aku di IG."

Aku menoleh saat ada seseorang yang merangkulku  begitu saja. "Males," ucapku ketus pada Naufal.

"Yah. Udah Bang nggak usah di accept dia. Pasti dia mau kepoin Abang," ucapnya asal.

Hilman hanya tertawa. "Udah lah, kita balik posko. Kerjaan masih banyak tuh. Harus selesai malam ini, biar besok abis press realese bisa istirahat di rumah."

Aku setuju dengan ucapannya. Aku juga rindu tidur di rumah, rasanya seminggu ini badanku remuk karena harus tidur di kasur tipis yang ada di posko. Apalagi diiringi oleh dengkuran mereka semua. Aku rindu kamarku yang tenang. Tetapi aku juga bangga karena lagi-lagi kami berhasil menangkap pengedar, rasanya semua pengorbanan ini sebanding.

*****

Menjadi seorang polwan sudah menjadi cita-citaku sejak kecil. Dulu saat TK aku sangat menantikan hari Jumat di mana anak-anak akan mengenakan seragam polisi. Aku merasa begitu keren saat mengenakan pakaian itu, kemudian aku berusaha untuk mewujudkannya. Untungnya mama mendukung keputusanku, aku mendapat pelatihan sejak dini, bekal latihan fisik juga pengetahuan. Sayangnya saat mengikuti tes AKPOL aku tidak berhasil. Mama meyakinkanku kalau mungkin jalanku di tempat lain dan akhirnya aku mengikuti seleksi untuk bisa menjadi polwan dan akhirnya bisa merasakan pendidikan di SPN selama tujuh bulan.

Di SPN aku menjalani pelatihan milter yang benar-benar berat, bangun pukul empat pagi, tidur pukul sebelas malam, latihan fisik dan juga harus menerima pukulan dari pelatih sudah sering aku alami. Sempat terbersit untuk pulang dan menjalani hidup seperti biasa, mengikuti jejak mama dan kakak perempuanku untuk menjadi guru, namun rasanya malu kalau harus menyerah. Hingga akhirnya aku berhasil lulus dan menerima pangkat sebagai seorang Bripda.

Saat upacara kelulusan adalah saat-saat yang paling mengharukan, rasanya perjuangan semua ini aku bayar lunas saat melihat mama yang menangis bahagia sambil memelukku. Aku tidak akan pernah melupakan hari itu. Hari di mana aku bisa membuat mama dan kakak perempuanku bangga.

"Lho, mau pergi? Kirain Mama libur," tanya mamaku yang sedang sibuk di dapur.

"Kerja Ma, tadi ditelepon Bang Rendra, di suruh stand by di posko."

"Ini Mama baru mau masak buat kamu."

"Kayaknya nggak sampe malem sih, Ma. Nanti buat makan malem aja. Dila pergi ya, Ma." Aku menyalami tangan mama dan berjalan ke garasi. Mengeluarkan kunci motor matic-ku dan menyalakannya. Ada larangan untuk membawa mobil bagi kami para Bintara, di posko atau pun di kantor karena keterbatasan tempat parkir, jadi hanya boleh Perwira yang membawa mobil. Kecuali kalau hari Sabtu dan Minggu, perwira kan libur, jadi kami baru boleh membawa mobil. Namun aku lebih suka mengendarai motorku, karena bisa menembus kemacetan Palembang yang makin hari makin padat. Jarak antara rumahku dan posko sekitar tiga puluh menit kalau ditempuh dengan sepeda motor, kalau mobil mungkin sekitar satu jam.

Aku memarkirkan motorku di samping Ninja hijau yang aku tahu sekali siapa pemiliknya. Hanya Hilman yang mengendarai motor keren ini, dan dia akan terlihat jauh lebih keren saat duduk di atasnya. Hilman punya selera yang lumayan, walaupun urusan fashion dia lebih sering mengenakan kaos dan celana jins tetapi aku tahu hampir semua pakaiannya bermerk.

Aku masuk ke posko dan menyapa teman-temanku yang sudah duduk di belakang laptop masing-masing. Hanya ada Hilman, Yudi dan juga Pati di ruangan ini. "Yang lain ke mana?" tanyaku.

"Ke lapangan. Kita stand by di sini," jawab Bang Pati.

"Ngapain?" tanyaku.

"Ya tunggu intruksi aja. Santai-santai dulu aja lah, makan nih. Ada kuaci," Yudi menaruh sebungkus kuaci di mejaku.

"Bosen, kuaci terus," keluhku. Aku duduk di kursi  dan membuka-buka ponselku. Aku melirik Hilman yang mejanya terletak di samping kananku. Dia juga sedang memainkan ponselnya, sesekali aku melihat bibirnya tertarik membentuk senyuman. Aku melihat ponsel yang digunakannya, warna putih, itu artinya dia sedang berbalas chat dengan seseorang. Karena ponsel yang biasa digunakannya untuk bermain game adalah yang hitam dan dia tidak pernah senyum-senyum sendiri kalau sedang bermain game. Iya, aku memperhatikannya sampai sedetail itu.

Tidak lama kemudian aku melihat dia menelepon seseorang, aku memasang telinga lebar-lebar. Dia mengawali percakapan itu dengan salam. "Assalamualaikum, lagi ngapain?"

Jantungku berdetak cepat, aku yakin sekali Hilman bukan sedang menelepon mama ataupun kakaknya. Karena cara bicaranya sangat berbeda.

"Baca buku apa?" Jeda senejak. "Oh. Abang lagi di kantor, di suruh stand by," lanjutnya.

"Iya nih nggak libur. Belum makan juga, laper. Adek masak apa hari ini?"

Aku menahan napas mendengar percakapannya di telepon. Mungkinkah Hilman sedang menelepon pacarnya? Tapi setahuku dia tidak pernah punya pacar. Atau aku saja yang tidak tahu.

"Jadi Adek makan sayur aja? Nggak laper? Ya udah kirimin sini sayur sama ayam bakarnya."

Ini benar-benar seperti bukan Hilman, dia tidak pernah berbicara dengan nada manja seperti ini. Apalagi sambil tersenyum-senyum sendiri begini.  "Haha, nanti Abang ke rumah kalau kerjaan udah selesai. Masakin pempeknya yang enak, ya. Ya udah Abang kerja dulu."

Setelah mengakhiri panggilan itu dia menoleh padaku, aku langsung mengalihkan pandangan. Sudah pasti itu adalah kekasihnya. Jadi dia sudah punya kekasih? Lalu bagaimana dengan perasaanku?

******

Happy reading...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro