Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng




"Ini kalau keburu ditangkep sama orang Jambi, zonk banget kita."

Aku menarik napas panjang mendengar ocehan rekan kerjaku yang sedari tadi hanya bisa mengeluh, seketika aku berharap ada Pak Setyo atau Pak Samudra yang ikut di dalam mobil kami. Sayangnya Pak Samudra harus stand by di posko sedangkan Pak Setya di mobil lain. Kalau saja ada komandan yang mengawasi kami, Naufal tidak akan banyak bicara seperti ini, kepalaku pusing mendengarkan ocehannya. Aku melirik ke kanan, di mana seniorku—Bang Pati sedang tertidur pulas dengan mulut sedikit terbuka.

Aku memilih duduk di kursi paling belakang karena menghindari Naufal yang berisik, untung saja dia duduk di depan bersama dengan Yudi yang sedang menyetir.

"Yud, nanti berhenti bentar ya, mau kencing," ucap Naufal lagi.

"Pake botol aja Fal, nih kosong," Bang Rendra menyodorkan botol minumnya yang sudah kosong pada Naufal, sementara yang lain tertawa.

Ada enam orang di mobil ini termasuk aku. Seperti tugas-tugas sebelumnya kami di minta untuk melacak keberadaan bandar narkoba yang dicurigai membawa ekstasi 1000 butir dan akan diturunkan sebagian di Jambi sebelum dibawa masuk ke Palembang. Kami akan menunggu diperbatasan Jambi untuk menyergap bandar itu. Sebenarnya yang akan menyergap adalah tim lapangan yang ada di mobil satu lagi, tugas kami hanya melacak keberadaan mereka, ikut membantu kalau memang diperlukan.

Sejak naik pangkat menjadi Briptu enam bulan lalu, aku ditugaskan menjadi bagian dari tim Narkoba. Ini pengalaman pertamaku bekerja bersama tim dengan semua anggotanya laki-laki. Hanya aku yang seorang perempuan, dan sejak selesai masa pelatihan di markas besar, aku langsung ditugaskan di sini. Dan sejak awal mereka tidak menganggapku sebagai seorang perempuan. Mulut mereka masih seperti biasanya, sering melontarkan lelucon konyol dan kotor khas laki-laki.

Hanya butuh seminggu untuk tahu seperti apa kepribadian anggota timku. Hampir semuanya gila, mungkin sering tidak pulang ke rumah membuat kondisi kejiwaan kami sedikit demi sedikit mengalami penyimpangan. Wahyudi yang menjadi sopir kami malam ini, sama gilanya seperti Naufal, mereka satu leting denganku, walaupun aku tidak pernah melihat mereka di SPN (Sekolah Polisi Negara, red) dulu.

Naufal adalah bencana, mulutnya yang paling tidak bisa berhenti bicara dan selalu mengangguku. Aku paling membenci dirinya. Dia terlalu berisik.

"Dila, mau kencing nggak? Bareng sini," katanya saat Yudi menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Aku tidak memedulikan ucapan Naufal itu. Harusnya dia sadar, dia baru saja melakukan pelecehan, tapi orang seperti dia mana mau tahu masalah itu. Dan berdebat dengan Naufal adalah hal yang paling aku hindari.

Aku melihat Naufal masuk ke semak-semak di antara hutan karet, dia bersembunyi di balik salah pohon karet itu. "Semoga aja 'anu'-nya digigit pacet atau ular sekalian," gumamku.

Bang Rendra yang duduk di kursi tengah langsung menoleh padaku sambil tertawa. "Jahat banget kamu, Dil," ucapnya. Aku ikut tertawa. Bang Rendra adalah seniorku, pangkatnya Brigpol sudah menikah dan memiliki dua anak. Kadang aku kasihan karena dia sering tidak pulang, apalagi kalau anaknya video call, menanyakan kapan ayahnya bisa pulang. Tetapi beginilah pekerjaan kami. Unit Narkoba adalah salah satu bagian paling sibuk, mendapat hari libur satu kali seminggu saja sudah benar-benar sebuah keajaiban.

Bang Pati yang duduk di sebelahku sama menyedihkannya dengan Bang Rendra, mungkin lebih kasihan lagi karena saat ini istrinya sedang hamil besar, anak pertama pula, apalagi jadwal lahirannya tinggal menghitung hari. Ketakutannya adalah tidak bisa menemani istrinya melahirkan. Tetapi harus bagaimana lagi, bagi kami negara nomor satu, keluarga nomor sekian. Sejak awal jiwa raga kami sudah di kontrak oleh negara.

Itu kenapa menjadi seorang bhayangkari harus menjadi sosok yang kuat, ditinggal suami dalam keadaan hamil besar ataupun tidak bisa didampingi saat melahirkan harus diterima. Walaupun kurasa komandan kami tidak akan setega itu.

"Ini orang bangkai banget sih, dari tadi tidur nggak bangun-bangun." Bang Rendra melirik ke laki-laki di sebelahnya. Seniorku juga, seleting dengan Bang Rendra. Dia satu-satunya laki-laki waras di tim kami. Selama hampir setengah tahun menjadi bagian tim ini, hanya dia satu-satunya yang tidak pernah mengeluarkan lelucon kotor, atau pun ikut membicarakan perempuan-perempuan bahenol yang sering kami temui di jalan.

Hidupnya terlalu lurus, kalau mengutip kata-kata Bang Rendra untuknya. Namun itu memang fakta, dia bukan orang yang banyak bicara seperti Naufal, cendrung pendiam. Satu-satunya yang tidak merokok di tim kami selain aku, padahal menurut Yudi, rokok itu salah satu pengalihan stres bagi mereka. Satu-satunya laki-laki yang selalu bersikap sopan padaku, karena dia menganggapku sebagai seorang perempuan. Tidak pernah tiba-tiba merangkul bahuku atau kontak fisik lainnya, dan aku lihat dia seperti itu pada semua perempuan.

Dia juga orang yang paling tertutup tentang kisah asmaranya, tidak ada yang tahu dia sedang dekat dengan perempuan mana saat ini. Aku pernah curiga kalau dia seorang gay, tapi sepertinya tidak. Satu-satunya laki-laki berpangkat brigpol yang belum menikah di tim kami. Dia yang paling tampan di tim kami, hidung bangir, kulit bersih, tubuh tinggi tegap dan tidak ada lemak berlebihan di perutnya, mungkin kalau dia mau menonjolkan diri seperti Bang Nando yang ada di bagian lapangan, dia bisa menjadi salah satu polisi ganteng dan akan diwawancarai di televisi. Tetapi dia tidak menyukai menjadi pusat perhatian, aku tahu sekali banyak polwan dan juga pegawai honor yang sering membicarakannya. Bahkan banyak di antara mereka yang mencoba menarik perhatiannya, tetapi hasilnya nihil. Entah perempuan seperti apa yang dicarinya.

Jujur aku juga tertarik padanya. Seorang Dilara Lathisa yang mengidap philophobia (fobia jatuh cinta, red) bisa menaruh perasaan padanya, itu sebuah hal yang langka. Mungkin karena kepribadiannya yang cuek, cool dan baik yang membuatku bisa tertarik padanya. Tetapi tentu saja aku tidak berharap dia melirikku. Apalah aku ini? Hanya perempuan biasa, aku tidak cantik dan seksi seperti teman-temanku yang lain.

Aku tidak pernah mengenakan make up dan masih setia dengan bedak bayi. Kulitku... ah, kalau bersanding dengannya aku malu, kulitku jauh lebih gelap beberapa tone darinya. Tubuhku juga sudah tidak proposional lagi, karena saat lepas pendidikan dan menjadi Bripda, aku di tempatkan di bagian krimsus, mengurusi kertas-kertas yang membuatku lebih sering ngemil sampai badanku seperti ini. Sepertinya aku harus mulai lari pagi lagi seperti dulu, itu pun kalau sanggup dan ada waktu luang.

Mobil kami mulai melintasi jalan-jalan rusak, aku melihat dia terganggu karena guncangan itu dan akhirnya terbangun dari tidur, dia membuka topi yang menutupi kepalanya dan merapikan rambutnya yang sudah agak panjang, dia memang suka menutupi kepalanya dengan topi kalau belum sempat memotong rambut. "Masih jauh?" tanyanya pada Bang Rendra.

"Bentar lagi. Dasar bangkai, tidur terus."

Dia tersenyum tipis lalu mencari botol minumnya, menegak setengah isi botol itu. "Laper," ucapnya. Aku tertawa lalu memberikan roti yang kami beli di minimarket sebelum perjalanan panjang ini. "Nih Bang."

Dia tersenyum padaku. "Makasih Dil."

"Hilman... Hilman, kalau nggak tidur, makan aja kerjaannya," keluh Bang Rendra lagi. Dia tidak menanggapi dan memilih melahap roti keju yang kuberikan.

Hilman Alfiandra Wirawan seniorku yang berhasil membuat hatiku tertarik padanya.

*****

Butuh nulis cerita baru. Tapi tenang cerita lama masih bakal dilanjut.

Kisah ini hanya untuk yang bersabar. Karena nggak tau bisa update cepet atau nggak. Dan jangan protes kalau aku update cerita ini dan nggak update yang lain, begitu juga sebaliknya. Nikmatin aja, banyak protes soal update hanya bikin makin males nulis 😂😂😂

Kenalan sama Hilman dari sudut pandang Dilara dulu gih, sebelum peluk bukunya nanti. Yang nggak tahu Hilman baca I am a dreamer.

Happy reading...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro