IV. La même fille

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sedang berdiam diri di kelas. Melihat pohon-pohon yang mulai berubah warna dari balik kaca besar yang membatasi ruangan ini dengan dunia luar.

Sungguh indah ciptaan Tuhan. Aku tidak pernah bosan dengan pemandangan yang tersaji di hadapanku ini.

"Sedang melamunkan apa?" tanya seseorang di belakangku. Membuatku menoleh dan menatap mata hazel milik orang itu.

"Sa-Samuel! Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku panik sekaligus terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba.

Ia tidak mengacuhkanku. Duduk di kursi yang berada di depanku, kemudian membalikkan tubuhnya sehingga kami bertatapan kembali.

"Seharusnya itu yang kutanyakan. Tidak biasanya kau berada di sini," ucapnya dengan nada dingin seperti biasa.

"A-aku hanya ingin menikmati pemandangan kota dari atas sini. Memangnya kenapa?" jawabku dengan gugup luar biasa.

Kalian tahu? Tidak biasanya dia berbicara padaku apalagi bertanya!

"Sudah kubilang ... tidak biasanya, kan?" jawabnya seraya menatap keluar jendela. Membuatku secara tidak langsung menatap wajahnya dari samping.

Memperlihatkan padaku bukti atas salah satu ciptaan Tuhan yang sempurna. Ia benar-benar sangat tampan.

Saat aku sedang asyik-asyiknya memperhatikan wajah tampannya, tiba-tiba ia menoleh dan menyeringai.

"Sedang memperhatikanku, heh?"

Aku yang tertangkap basah olehnya tidak bisa berkutik. Mengerjapkan mataku berulang kali, dan berusaha menentang hal itu namun sayangnya tidak bisa.

Tiba-tiba ia berdiri, berjalan menuju jendela dan membukanya perlahan. Membiarkan angin dingin musim gugur berdesakan memasuki ruangan ini.

Ia membalikkan badannya dan menekukkan tangannya berulang kali. Memberi isyarat agar aku menghampirinya.

"Ada apa?" tanyaku setelah berada di sampingnya.

"Pejamkan matamu dan rasakan angin dingin menerpa wajahmu," suruhnya.

Aku pun memejamkan mataku dan membiarkan angin musim gugur menerpa wajahku. Meresapinya dan menikmati dinginnya yang menyejukkan.

Aku menoleh padanya. Membuka mataku perlahan ingin bertanya, "Mengapa kau menyuruhku melakukan—"

Kata-kataku terhenti karena melihatnya yang kini tengah tersenyum manis di hadapanku.

Sekali lagi aku tekankan. Sosok beruang kutub dari antah berantah ini sedang TERSENYUM!

Dan kalian tahu? Ia benar-benar tampan. Samuel yang biasanya dingin dan datar, kini tengah tersenyum dengan manisnya.

"Kau cantik."

"E-eh apa?"

"Kau cantik." ucapnya sekali lagi.

"Kau juga tampan," kataku dengan tersipu.

Kudengar ia terkekeh pelan. Apalagi ini?! Aku mendengarnya terkekeh?! AJAIB!!!

"Kau cantik dari dalam dan luar. Kau gadis yang benar-benar berbeda," ucapnya seraya tersenyum tulus.

AIR MANA AIR!!!

"Kau melakukan semua hal sesuai dengan hatimu, seolah hidupmu bebas dan tidak terkekang. Aku," jeda sejenak, "aku iri padamu," ucapnya dengan tersenyum sendu.

"Mengapa kauiri padaku?"

"Karena sebenarnya hidupku terkekang. Tidak mudah bagiku untuk hidup di lingkup keluarga yang penuh aturan."

Aku mengusap punggungnya untuk menguatkan. Mengatakan bahwa ia harus bersabar dan berusaha menerima kenyataan.

"Untuk itulah...."

"Apa?" tanyaku dengan mengerutkan dahi.

"Maukah engkau menjadi kekasihku? Mengajariku untuk hidup sepertimu?" tanyanya dengan serius dan menatapku lekat.

Tunggu. Ini mimpi, ya?

🍁🍁🍁

Kini aku sedang berada di apartemenku seraya menonton film bersama Peter. Sedari tadi dia terus mengoceh tentang film yang kami tonton. Tapi, tidak kuhiraukan karena aku terlalu larut dalam pikiranku.

Pertanyaan Samuel tadi siang benar-benar membuatku bingung. Membuatku lelah karena terus-menerus memikirkannya.

"Sebenarnya apa yang kau pikirkan, sih?" tanya Peter dengan gemas karena baru sadar tidak kuperhatikan sedari tadi.

"Banyak pikiran!" jawabku ketus seraya memijat kedua pelipisku.

"Ck. Memangnya apa yang mengganggu pikiranmu?" decaknya dengan nada kesal tingkat dewa.

"Entahlah, aku bingung."

Ia akhirnya terdiam. Kemudian secara tiba-tiba berdiri, dan berjalan ke arah pintu apartemenku

"Kaumau ke mana?!" tanyaku dengan berteriak.

Ia mengedikkan kedua bahunya. "Memberimu waktu untuk memikirkan masalahmu."

"Eh, tunggu!"

Ia berbalik dan menatapku heran. "Ada apa?"

"Temani aku. Aku ingin berbagi masalah ini denganmu."

Ia pun berjalan menghampiriku dan kembali duduk di sebelahku. "Jadi?"

"Jadi, tadi siang aku ditembak oleh Samuel."

"APA?! MANA YANG LUKA?!"

Aku pun menjitak kepalanya cukup keras. "Bukan! Maksudnya ia memintaku untuk menjadi kekasihnya!" ucapku dengan gemas dan membuatnya meringis kesakitan.

Tiba-tiba Peter menatapku serius, membuatku sedikit bergidik ngeri karena tingkahnya yang berubah 180 derajat itu.

"Lalu, apa yang kaujawab?"

"A-aku ... perlu waktu," jawabku gugup.

Kudengar ia menghela napas. Napas lega atau kasar? Entahlah aku tidak tahu.

"Lebih baik kau tenangkan dirimu terlebih dahulu," ucapnya dengan tersenyum tipis.

"Iya, kurasa aku butuh istirahat."

Ia menganggukkan kepalanya. "Baiklah aku pulang dulu ya."

🍁🍁🍁

Sekarang aku tengah berjalan dengan tergesa-gesa menuju apartemen milik salah satu mantan sahabatku.

Aku memencet bel apartemennya itu dengan tidak sabar. Setelah menunggu beberapa menit, kini kulihat ia yang berdiri seraya menatapku bingung.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya.

Tanpa ba bi bu lagi, aku pun memberinya satu bogem mentah yang cukup untuk mematahkan rahangnya.

"Apa yang kau lakukan?!" bentaknya dengan marah.

Ia pun membalas pukulanku sama kuatnya. Dan akhirnya kami pun bertengkar lagi.

Dulu, kami memang sering saling memukul. Tentu saja hal itu hanyalah candaan. Tetapi sekarang, kami bertengkar karena masalah yang sama lagi.

Saat itu kami mencintai orang yang sama. Membuat kami bertengkar, dan memutuskan tali persahabatan yang kami bangun selama bertahun-tahun.

Setelah tenaga kami berdua habis, kami pun terjatuh dan berbaring di lantai marmer apartemennya yang dingin.

"Kau mencintai Wydi?" tanyaku dengan napas memburu.

Kudengar ia yang terkekeh. "Jangan bilang masalah ini terulang kembali."

"Hmm. Begitulah."

"Kita bukan lagi anak SMA kelas 2 yang tengah memperebutkan seorang gadis. Sekarang kita telah dewasa. Mengapa kau melakukan hal bodoh seperti ini lagi?" tanyanya dengan dingin.

Aku tertawa meremehkan. "Memangnya jika kau yang duluan mengetahui bahwa aku mencintai Wydi, kau tidak akan melakukan hal yang sama?" tanyaku sinis.

Ia tertegun sebentar dan kembali tertawa. Namun tertawa lirih.

"Kurasa aku akan melakukannya, haha."

Kami pun tertawa bersama dan mulai duduk walaupun kesusahan.

"Kaubilang kita harus dewasa. Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanyaku serius.

"Biarkan ia memilih."

Aku tertegun sejenak, melihat manik matanya yang tersirat keterpaksaan, sama denganku.

"Baiklah ... biarkan ia memilih." Kulihat ia mengulurkan tangannya padaku, dan aku pun membalasnya.

"Kuharap setidaknya ia memilih salah satu dari kita." Ia tersenyum tulus. Hal yang sudah lama sekali tidak kulihat darinya.

Aku tertawa kecil. "Iya. Aku juga harap seperti itu, sahabatku."

🍁🍁🍁

Aku berjalan menuju apartemenku dengan luka-luka yang tadi sudah terobati di apartemen Samuel.

Dengan lemas, aku mencoba membuka pintu yang ternyata tidak terkunci.

Kini kulihat gadis yang kucintai tengah tertidur dengan damainya di salah satu sofa.

"Pasti nanti tubuhnya akan sakit-sakit," batinku.

Aku pun hendak memindahkannya ke kamar. Namun, baru saja kulangkahkan kakiku untuk menghampirinya, tiba-tiba pandanganku menggelap dan aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.

🍁🍁🍁

Tok tok tok

Tok tok tok

Aku mengetuk berulang kali pintu apartemen miliknya. Huft, aku benar-benar bingung dan ingin bertemu dengannya lagi saat ini juga.

Kuketuk kembali pintu apartemen miliknya. Karena sudah bosan menunggu, akhirnya kucoba untuk membuka pintu tersebut dan ... yup! Pintunya tidak terkunci.

"Peter?" panggilku pelan.

Untuk pertama kalinya aku memasuki apartemen miliknya. Nuansa sederhana namun tetap elegan telah menyambutku ketika memasukinya.

Warna biru, hitam, dan putih mendominasi ruangan ini dan furniturenya berwarna cokelat kayu semua.

Aku pun memanggil namanya lagi. Namun, yang dipanggil tidak menyahut. Karena kesal, aku pun berbaring di atas sofa seraya menutup mataku.

Aroma parfum yang ia kenakan tercium di salah satu bantal sofa, membuatku merasa nyaman ketika menghirupnya. Seketika itu juga kantukku datang, dan akhirnya aku pun mulai masuk ke alam mimpi.

🍁🍁🍁

Bruk

Suara orang terjatuh telah membangunkanku dari bunga tidur.

Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan, dan terkejut ketika melihat ia yang tersungkur tak sadarkan diri di lantai.

Aku langsung berlari menghampirinya, membalikkan tubuhnya dan terkejut ketika melihat luka-luka yang sudah terobati di wajahnya.

Aku pun memanggil ambulance dan berdoa dalam hati agar ia baik-baik saja.

🍁🍁🍁

Suara pintu yang terbuka telah mengalihkan perhatianku dari sosok yang terpejam di ranjang rumah sakit.

"Samuel?" gumamku terkejut.

"Ssttt." Ia menyuruhku diam dan menekukkan tangannya untuk menghampirinya.

"Ada apa?"

"Ikut saja," bisiknya.

Aku pun mengikutinya dari belakang, dan akhirnya kami berada di taman rumah sakit yang sepi.

"Jadi, ada apa Samuel?"

Ia membalikkan tubuhnya, dan betapa terkejutnya aku kelihat luka-luka di wajahnya.

"Kau kenapa?!" tanyaku panik.

"Sudahlah, itu tidak penting," jawabnya santai yang membuatku kesal seketika.

"Itu penting! Bagaimana bisa kau dan Peter terluka seperti ini?!" cibirku kesal.

Kulihat ia yang mengernyitkan dahi ketika mendengar nama Peter. Namun ia langsung biasa lagi. "Peter? Ouh ... kami berkelahi," jawabnya dengan santai.

Apa?!

"Kenapa?! Kenapa kalian berkelahi?!" tanyaku sambil berkecak pinggang.

"Hanya masa lalu yang terulang kembali."

"Hah, apa?"

"Sudahlah lupakan saja. Kini aku menagih jawabanmu."

Deg

Haruskah secepat ini?

"A-aku butuh wak—"

"Aku ingin jawabannya sekarang," tegasnya.

"A-aku ... aku tidak bisa Samuel," ucapku seraya menundukkan kepala.

Takut-takut aku mendongak untuk menatapnya, dan kudapatkan ia yang tengah menatapku sedih. Kulihat ia mengembuskan napasnya dan bersikap tenang lagi.

"Kau mencintai orang lain, ya?" tanyanya.

"Aku tidak tahu ... a-aku—"

"Sudahlah, jangan menyangkal perasaanmu. Itulah yang namanya cinta, Wydi. Kau tidak hanya menyukainya. Namun, kau juga membutuhkannya untuk di sisimu," ucapnya yang sekarang tersenyum tipis.

"A-apa maksudmu?"

"Kaunyaman bersamanya, bukan?"

"Dengan siapa?"

"Peter."

Aku terkejut, jantungku seketika berdegup kencang ketika mendengar namanya.

"A-aku mencintai Peter?"

Ia menganggukkan kepalanya, dan tersenyum lembut kearahku.

"Kejarlah dia. Aku yakin dia akan membalas perasaanmu," ucapnya dengan serius.

"Mengapa kau sangat yakin?"

"Karena aku mengetahuinya." Ia pun berbalik pergi meninggalkanku. Membiarkanku dengan perasaan yang berkecamuk.

"Ternyata.... Aku mencintai Peter!" batinku senang mengakuinya.

🍁🍁🍁

Aku membuka mataku dengan susah payah, melihat sekeliling dan kusadari bahwa aku tengah berada di Rumah sakit.

"Aduh...," ringisku kesakitan.

"Kau jadi lemah, ya?"

Aku dongakkan kepalaku, melihat ia yang sedang bersandar di dinding.

"Aku kalah," katanya lagi seraya berjalan menuju samping ranjangku.

"Apa maksudmu?" tanyaku bingung.

"Aku kalah. Wydi memilihmu," ujarnya dengan santai.

Deg

"Ka-kau serius?"

"Hmm. Jadi, jangan sia-siakan dia yang mencintaimu."

"APA?!" teriakku tidak percaya dengan yang dikatakan Samuel barusan. Sepertinya aku tertular kebiasaan Wydi yang suka berteriak.

"Hmmm." Ia menjawabnya seraya mengusap kedua telinganya yang kuyakin sakit.

"A-aku ... aku tidak percaya."

"Bukankah ini yang kau inginkan? Berpura-pura nerd untuk mencari cinta sejatimu. Sekarang, bukankah sudah kau dapatkan? Jadi, tunggu apa lagi?"

"Aku menunggu waktu yang tepat," Jawabku seraya tersenyum.

Kulihat ia yang terpaku beberapa saat. Tak lama kemudian, ia pun tersenyum tipis kepadaku.

"Aku menunggu kabar baik darimu."

Ia pun melangkah keluar. Namun, terhenti karena teriakkanku.

"Samuel! Terima kasih!"

Ia pun menatapku dan mengangguk.

"Apapun untuk sahabatku."
.
.
.
.
.

_To be Continued _

🍀🍀🍀

Wyd, kan di cerita ini kamu milih Peter.

Tapi, kalau kamu disuruh beneran milih. Bakal milih siapa? Wkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro