P: Poindexter |1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebulan setelah perpindahanku dari Yokohama ke distrik di Tokyo, aku hampir setiap hari mengunjungi warung makan di perempatan jalan depan. Begitupula dengan aku yang melihat pria berambut panjang yang kadang dikuncir dan kadang tidak selalu duduk di sebrang mejaku saat makan siang.

Seminggu setelahnya kuajak dia berkenalan karena aku yang terlalu penasaran. Saat tahu bagaimana sifatnya aku sedikit terkejut. Wajahnya sangar, tatanan rambutnya juga rapih, tapi tidak kusangka dia mengenakan kaca mata baca untuk membaca, dan pemalu katanya, itu juga penyebab dia enggan makan siang sebangku denganku. Walau sebenarnya dia mau.

Setelah berkenalan setengah jam, dia ternyata lucu juga. Gaya bicaranya seperti orang misterius dengan otak jenius, tapi tidak kusangka, dia bahkan minus matematika.

Bahasanya lucu, melantur keluar jalur. Katanya dia bisa membatai 20 orang sekaligus sampai babak belur, katanya juga dia selalu mendapatkan apa yang dia pinta. Lalu, yang membuatnya begitu menarik adalah sifatnya, dia baik, simpatik, dan sedikit karismatik saat memakai kacamata dengan rambut yang dia kuncir acak-acakan.

Berlalu seminggu lagi, aku selalu makan siang dengannya di sini. Seperti sekarang, dia dan aku duduk berdua berhadapan.

"Hari ini kau bekerja setengah hari, 'kan?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Memangnya kenapa?" tanyaku lalu mengunyah sandwich.

"Aku ingin keluar denganmu," ujarnya seolah kita sudah berjanji. Ya walaupun aku memang mau keluar dengannya hari ini.

"Kalau begitu ayo," ajakku.

Aku tidak pernah membayangkan, dekat dengan Baji Keisuke ternyata begitu menyenangkan daripada meliriknya dari sudut mata dan beropini yang tidak-tidak.

Terkadang dia juga melempar candaan, katanya aku adalah sisir berwarna merah jambu kesukaanya, dan dia adalah kuncir berwarna hitam seperti yang selalu dia pakai.

"Aku adalah kuncir berwarna hitam, berteman dengan sisir merah jambu. Ketika kamu melihat jarinya menyisir rambutku, maka jadilah rambutku dikuncir olehnya," begitu kiranya Baji Keisuke menjelaskan sebutanku dan dirinya.

Katanya dia suka jari-jariku yang mungil, dengan buku-buku berwarna merah jambu dan kulit putih pualam, itu juga alasannya menyebutku sisir merah jambu.

"Baji, kau tidak mau menguncir rambutmu?" tanyaku padanya yang menggeraikan rambutnya saat angin mulai kencang.

Baji menggeleng.

"Aku tidak mau. Lagi pula rambutku wangi, kau sendiri yang bilang," ucapnya dengan nada bergurau.

Aku terkekeh kecil. Dia benar, memang rambutnya wangi dan halus, aku bahkan merasa iri sebagai wanita berambut panjang pada rambutnya.

Berlalu dari situ, Baji membawaku ke toko tanaman obat-obatan. Aku tidak mengerti apa yang ingin dia lakukan di sini. Sebagai bahan topiknya, kutanya saja tanaman herbal untuk batuk berdahak yang susah menghilang.

"Akhir-akhir ini aku sering batuk berdahak di pagi hari selepas mandi, kira-kira apa obatnya tuan Alikimia?" tanyaku padanya.

Baji sedikit terkekeh, dikeluarkan kacamata baca dari sakunya. "Kau akan terperangah."

Aku hanya bergumam 'wuw' dengan mata berbinar seolah menunggu keajaiban apa yang akan terjadi saat Baji mengenakan kacamatanya.

Botol-botol kaca berisi bubuk ataupun dedaunan berwarna-wanri dengan tulisan, dibaca olehnya satu persatu. Lalu nampaknya ada satu botol yang membuatnya tertarik, dan membuatnya melepaskan kacamata saat ingin melihat detailnya.

"Ini, bubuk jintan," katanya menyodorkan botol kristal berisi bubuk padaku. "Kata ibuku ini bagus untuk meredakan batuk."

"Atau kalau kau tidak suka jintan, seduhan jahe hangat juga bisa kubuatkan." Dia beralih, memakai kembali kacamatanya dan meletakan botol tadi ke tempat semula.

Karena ternyata yang diketahui Baji hanya sedikit, jadilah kita pergi dati toko itu tanpa membeli apa-apa.

Keluar dari situ, kembali kita pergi lagi berdua menyusuri kota. Dilihat dari manapun aku yakin jika Baji bukanlah pria yang terlambat puber, perawakan dan tampangnya begitu matang, hanya sifatnya saja yang kurasa masih dia sembunyikan.

Dia pria yang baik, hanya saja nampak begitu antusias saat ada beberapa pria yang dekat denganku, dan nampak menahan amarah saat ada pria yang berbicara tidak sopan kepadaku. Aku jadi mengkhatirkannya saat bagaimana jika aku sudah memiliki pacar.

Kembali pada perjalanan kita, Baji memberhentikan motornya di hilir sungai. Mengajakku duduk di bebatuan yang kering.

"Lepas sepatumu, nanti basah," interupsi Baji padaku.

Kulepaskan alas kakiku seperti dia melepaskannya dan melemparnya ke rerumputan. Lalu menyusul duduk bersebelahan dengannya.

Kuregangkan otot-otot tubuhku yang kaku karena terlalu lama berkeliling dan duduk di motornya. "Ah, legahnya. Di sini sepi, menenangkan," ucapku seraya melebarkan tangan serakah mendorongnya.

Baji tersenyum. Di ke bawahkan lagi tanganku olehnya. "[Name]," panggilnya.

Aku menoleh menatap Baji.

"Kenapa?" tanyaku.

Wajah Baji menjadi serius, figura perawakannya nampak begitu sempurna di bawah sinar matahari yang hampir menenggelamkan diri di ufuk sungai. "Aku sudah terlalu nyaman dengan sisir merah jambuku," katanya. "Kalau mau sisir itu berpasangan dengan ikat rambut hitamnya, mungkin aku akan senang."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro