[01. Secret Gift] Simple Act - Akashi Seijuuro

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Secret Gift Project

Simple Act
Secret Gift for Zaskia_putri

***

Akashi Seijuuro x Reader

Story Written by Rashi-cchi

.
.
.

"Akashi-kun, akhir-akhir ini raut wajahmu terlihat tidak baik."

Gadis itu menatap laki-laki berambut merah yang duduk di hadapannya. Kedua alisnya bertaut ketika sepasang netra merah sang pemuda menatap selembar kertas di tangan. Saat ini, keduanya tengah berada di ruang tamu keluarga sang lelaki, ia mengundang gadis itu untuk mampir ke rumahnya untuk mengurus sesuatu.

Laki-laki itu hanya tertawa kecil mendengar pernyataan sang gadis, sembari menatap lekat-lekat sepasang netra sang gadis. "Oh ya? Apakah terlihat sejelas itu?"

"Betul." Sang gadis mengangguk, raut wajahnya terlihat mengkhawatirkan teman terdekatnya di SMA Rakuzan itu. "Bukan hanya hari ini saja, lho, Akashi-kun. Seminggu belakangan ini, kau tampak gusar."

"Apa ... ada masalah yang terjadi?"

(Full Name) adalah nama gadis itu, ia merupakan salah satu anggota OSIS di SMA Rakuzan–yang seringkali membantu Akashi Seijuuro dalam mengurus hal-hal di sekolah.

Memang, (Name) memiliki banyak kekurangan–terkadang ia ceroboh dan sering bertindak sebelum berpikir. Namun, Akashi melihat potensi dan bakatnya. Maka dengan berbagai pertimbangan, alih- alih bersama dengan anggota OSIS lain yang lebih 'kompeten', Akashi memilih (Name) sebagai partner-nya.

Waktu terus berjalan, sudah setahun Akashi menjabat sebagai ketua OSIS dengan (Name) sebagai partner. Sampai sekarang ia duduk di kelas dua SMA pun, Akashi tetap berpasangan dengan (Name).

Yah–meski sejujurnya sewaktu Akashi masih 'dikuasai' oleh kepribadiannya yang lain, tak jarang laki- laki itu mencibir (Name), tetapi (Name) sudah memahami watak Akashi yang memang seperti itu.

Mengapa gadis itu bisa bertahan meski terkadang dicaci-maki oleh Akashi? Sebab, sejujurnya ia sudah lama menaruh hati pada sang laki-laki.

Setelah Akashi kembali ke kepribadiannya yang asli, (Name) agak terkejut dengan perubahan sikap yang drastis, tetapi dalam sekejap ia kembali terbiasa dengannya. Perasaannya tak berubah– sebaliknya, ia semakin menyukai Akashi.

Menyambung ke pertanyaan (Name) tadi, Akashi hanya membalasnya dengan helaan napas kecil. Bagi orang lain, melihat seorang Akashi Seijuuro yang multitalenta dan berbakat menghela napas itu sangatlah langka. Namun, tidak bagi (Name) yang selama enam bulan lamanya sudah bersama Akashi yang lebih manusiawi. Hanya pada (Name) seorang sajalah ia menunjukkan sisi manusiawinya yang tetap mengeluh–sesempurna apa pun dirinya di mata orang lain.

"Kau ini peka juga ya, (Surname)-san." Akashi tersenyum tipis, sembari merapikan kertas di tangannya. "Aku hanya sedang bingung, akhir-akhir ini performa basket anak-anak kelas satu menurun drastis."

"Meski aku dan teman-teman lain sudah melatih mereka, tapi tetap saja hasilnya di bawah ekspektasi. Mereka tampak kekurangan motivasi sejak kekalahannya melawan SMU Kaijou sebulan yang lalu."

(Name) mengangguk-angguk paham. "Ternyata begitu. Aku sangat paham itu memberikan beban tersendiri untukmu, Akashi-kun."

"Ya ... kau benar." Akashi menghela napas berat, ia menyandarkan punggungnya di sofa ruang tamunya. Sepasang netranya ia pejamkan, hendak menenangkan diri. "Aku sudah berusaha sebaik mungkin. Namun, percuma saja jika mereka tidak memiliki semangat."

Akashi kembali mengeluhkan isi hatinya. Banyak hal yang ia sampaikan pada gadis, dan (Name) terus mendengarkannya dengan saksama.

Keluhan itu merambat ke keluhan lain, Akashi membahas masalah yang ada di keluarganya–tentang ayahnya sendiri. Sekali lagi, (Name) hanya memberikan sedikit tanggapan dan berusaha memberikan dukungan pada laki-laki berambut merah itu.

Alih-alih memberikan banyak nasihat dan motivasi, (Name) hanya bisa mendengarkan dan memberikan dukungan semaksimal mungkin yang ia bisa. Pada dasarnya, ia merupakan pendengar yang baik dibandingkan pemberi motivasi.

Itulah sebabnya, Akashi memilih untuk menceritakan tiap keluh kesahnya kepada (Name). Teruntuk orang seperti Akashi, ia lebih memilih perasaannya divalidasi ketimbang diberikan segudang nasihat.

(Name) adalah satu-satunya orang yang bersedia mendengarkan keluhannya, Akashi menaruh perhatian lebih kepada gadis itu–dan juga menjadikan dia sebagai satu-satunya tempat Akashi bercerita. Bukan hanya perhatian, bahkan Akashi menaruh rasa kepada (Name). Alasannya? Hanya satu alasan, tindakan kecil yang dilakukan oleh (Name) seperti mendengarkannya saja sudah membuat laki-laki itu jatuh hati.

Ia memiliki kenyamanan tersendiri apabila menceritakan keluh kesahnya pada (Name). Maka dari itu, ia ingin lebih dekat lagi dengan gadis itu.

"Begitulah, (Surname)-san. Makanya aku terlihat lesu akhir-akhir ini, haha." Akashi mengakhiri ceritanya dengan tawa kecil, ia memejamkan mata dan menghela napas sekali lagi sebelum kembali memasang atensinya pada (Name). "Maaf ya, lagi-lagi aku mengeluh padamu."

(Name) hanya mengulas senyuman tipis, tatapannya yang lembut beradu pandang dengan tatapan Akashi yang terkesan canggung. "Tidak apa-apa, Akashi-kun. Terima kasih sudah berbagi ceritamu denganku."

"Aku senang bisa menceritakan ini padamu. Hanya kau satu-satunya orang yang mau mendengarkan–tanpa memberikan nasihat," kata Akashi dengan senyuman yang terpampang di wajahnya.

Seketika raut wajah (Name) berubah menjadi panik. "Uhh–maaf, ya. Aku kurang pandai memberikan saran, tetapi aku bisa mendengarkan."

"Sebentar ... aku akan memikirkan nasihat untuk–"

Sebelum (Name) menyelesaikan kalimatnya, Akashi berdiri dari posisinya dan mencondongkan tubuhnya ke depan (Name), terlebih dahulu telunjuknya menyentuh bibir (Name), membuat perkataan gadis itu terhenti, kedua netra mereka saling bertatapan lagi. Akashi tertawa kecil. "Haha, aku bilang begitu bukan dalam artian negatif."

"Sebaliknya, aku senang. Rasanya kau bisa mengerti aku, kau adalah pendengar yang sangat baik. Aku seringkali tidak menginginkan nasihat, aku hanya ingin didengarkan. Terima kasih, ya, (Surname)-san."

Gadis itu terdiam beberapa saat, jantungnya berdebar-debar. Spontan, (Name) memalingkan wajahnya. "Aku tidak melakukan apa-apa, kok ... tapi, terima kasih kembali, Akashi-kun."

Melihat reaksi (Name) yang seperti itu, Akashi hanya menyunggingkan senyuman khas, ia kembali duduk di sofanya. Sudah sekian lamanya mereka berteman, dan Akashi mengetahui gestur seperti itu menandakan (Name) sedang berdebar-debar. Sang gadis terlihat sangat manis di matanya–tetapi ia tampak tak ingin mengomentarinya.

Maka dari itu, Akashi memilih untuk mengalihkan pembicaraannya ke topik lain. "Ngomong- ngomong, (Surname)-san. Bagaimana dengan proposal festival Rakuzan yang kuminta kau membawanya ke sini?"

"Apa kau sudah membawanya?"

Seketika, raut wajah sang gadis yang sedari tadi merona samar berubah menjadi pucat, ia memaksakan diri untuk tersenyum kaku. "A-ah, maaf–aku lupa membawanya."

Akashi hanya tertawa geli, ia menghampiri gadis itu dan mengacak-acak pucuk kepalanya dengan gemas. Ia duduk di samping (Name) dan kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. "Yah, sudah aku duga kau akan melupakannya."

"Aku minta maaf, Akashi-kun!" Sekali lagi, (Name) memohon maaf pada laki-laki berambut merah itu. Sungguh ia merasa sangat konyol–baru tadi ia dipuji oleh Akashi, bahkan lima menit belum berlalu–dan kini (Name) sudah membuat Akashi kecewa karena ia tak membawa proposal yang diminta. "Tunggu sebentar, aku akan menelepon kakakku dan memintanya membawakan proposal itu ke sini!"

Ketika gadis itu hendak menekan nomor-nomor di ponselnya, Akashi terlebih dahulu mengambil ponsel tersebut dari tangan (Name). "Tidak perlu repot-repot, (Surname)-san."

"Kita ambil saja ke rumahmu, sekalian aku mengantarmu pulang."

(Name) menatap Akashi dengan khawatir, ia merasa tak ingin merepotkan Akashi. "Tidak apa-apa, Akashi-kun. Kakakku sedang senggang di rumah, kok."

"Hmm? Aku ingin mengajakmu jalan-jalan dulu sebelum pulang ke rumah," kata Akashi seraya memandang gadis itu dengan cengiran yang terpampang di wajahnya. "Besok libur, 'kan?"

"Jalan-jalan dengan Akashi-kun?" (Name) mengulangi perkataan Akashi barusan–ia memandang laki- laki berambut merah itu dengan tatapan bingung. "Besok memang libur ... tapi–"

"Ah, jadi kau tidak mau jalan-jalan denganku, ya?" tanya Akashi dengan tatapan yang menyiratkan rasa kecewa.

(Name) segera menggelengkan kepalanya dengan cepat, membantah pertanyaan Akashi. "Bukannya begitu! Tapi ... aku hanya bingung saja."

Akashi terkekeh kecil mendengar jawaban gadis itu, ia kemudian beranjak berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah (Name). Dengan senyuman manis di wahah, sekali lagi ia mengajak (Name), "Tak perlu bingung. Ayo kita pergi, (Name)-san."

Mendengar nama yang diucap oleh Akashi kepadanya, sang gadis memandang laki-laki itu keheranan. "Lho ... Akashi-kun? Sejak kapan kau memanggilku dengan nama kecilku lagi?"

"Kau Akashi-kun yang bokushi?"

Tawa lepas keluar dari bibir Akashi, ia pun menarik tangan gadis itu dan menyentuh wajahnya, ia mengarahkan kepala (Name) untuk memandang sepasang netranya yang masih berwarna merah. "Lihat baik-baik, aku ini Akashi yang asli, kok."

"Aku hanya ingin lebih dekat denganmu lagi. Boleh, 'kan, kupanggil dengan nama (Name)?"

(Name) terdiam dan menatap wajah Akashi lekat-lekat, sesaat sebelum ia mengulas senyum lebar dan menyentuh pula wajah Akashi dengan kedua tangannya. "Kalau begitu, aku panggil Akashi-kun dengan nama Sei-kun, ya!"

Keduanya hanya tersenyum ketika sepasang netra mereka saling bertatapan. Meski hubungan mereka saat ini tetaplah seorang teman, kala itu entah kenapa keduanya merasakan suatu 'perasaan' yang muncul di hati mereka.

Mereka belum menjadi sepasang kekasih–setidaknya, bukan sekarang. Keduanya sudah saling menyukai, tetapi belum ada yang 'bergerak' terlebih dahulu.

Siapa yang tahu jikalau seorang Akashi Seijuuro akan menyatakan cintanya pada seorang (Full Name) setelah mengantarnya pulang nanti, 'kan?

End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro