[01. Secret Gift] Siswa Berjaket Biru Muda - Boboiboy Ice

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Secret Gift Project

Siswa Berjaket Biru Muda

Secret Gift for Cuzhae
BoBoiBoy Ice x Reader

Story written by eskrimlalala

.
.
.

[Name] selalu melihat siswa berjaket biru muda tidur di atap sekolah.

Ketika [Name] pertama kali menyadari bahwa ada orang lain yang menemani dia saat makan siang, jantungnya seperti jatuh ke lantai. Pasalnya, ia hampir saja menginjak seseorang yang tengah tiduran, atau tidur—[Name] tidak yakin dengan posisi tidurnya yang telungkup.

Melihat siswa tersebut tidak bergeming dari posisinya meskipun ada bekas sepatu di jaket biru mudanya, bahkan setelah kotak makan [Name] mengeluarkan suara yang keras akibat jatuh di lantai—tangannya licin akan keringat dan ia masih kaget akan menginjak orang lain yang bisa tiba-tiba muncul—, [Name] tidak mau ambil pusing. Ia duduk di tempat biasanya, di samping siswa tersebut, dan makan dalam diam.

Siswa tersebut tetap tidak bangun ketika bel menunjukkan dimulainya kembali jam pelajaran berbunyi. [Name] sempat ingin membangunkannya, tapi akhirnya diam saja dan menutup pintu atap dengan pelan.

Keesokan harinya, hal yang sama terjadi. Begitu pula dengan esok, esok, esok, esoknya lagi. [Name] akan duduk datang ke atap ketika jam istirahat tiba, menemukan siswa berjaket biru muda itu telah tidur dengan nyaman di sana, makan siang, lalu kembali ke kelas setelah bel kelas kembali berbunyi.

Pada akhirnya, sudah hampir satu semester rutinitas ini terjalin sebelum siswa berjaket biru muda itu tiba-tiba merusaknya. Ketika [Name] tiba di atap, siswa itu tengah duduk diam menghadap tangga, mengagetkan keduanya.

"Halo," sapa [Name] ketika jantungnya tidak seperti sedang lari maraton lagi.

"Hai," balas siswa berjaket biru muda itu. Kedua matanya masih terbuka lebar, seakan-akan kaget seorang manusia tengah berbicara kepadanya. Mengingat ia sepanjang semester hanya tidur selama jam istirahat, dugaan itu tidak terdengar begitu mengagetkan.

Bingung harus berkata apalagi, [Name] mengambil duduk di tempat biasanya, kini sekitar dua meter dari di mana siswa itu duduk. Seraya mengunyah nasi dengan telur dadar yang masih hangat, [Name] menyadari suasana makannya telah berubah. Tak ada siswa tertidur pulas yang bisa ia tatap hari ini selama hampir tiga puluh menit. Kali ini, ia yang malah merasakan tatapan orang lain pada dirinya.

Selain itu, tak ada lagi yang berubah. [Name] membereskan kotak makannya ketika bel berbunyi dan siswa berjaket biru muda itu tetap duduk di atap tanpa diajak turun olehnya. Mungkin dia punya hobi telat masuk kelas.

[Name] sempat bertanya-tanya apa yang membuat hari itu berbeda. Rutinitas makan siang yang telah ia jalani selama lima bulan tiba-tiba hancur begitu saja. Bagaikan fakta bahwa siang hari ada matahari dan malam hari ada bulan, begitu juga [Name] akan makan siang dan siswa berjaket biru muda akan tidur pulas di atap.

Mungkin besok akan kembali normal lagi, harap [Name] dalam diam. Besoknya tidak kembali normal lagi.

Ketika [Name] memasuki atap, ia menemukan siswa berjaket biru muda itu tengah duduk, bukan tidur, menghadap ke teralis. Kali ini, tidak ada di antara keduanya yang kaget, meskipun [Name] bisa merasakan tatapan tanya dari siswa tersebut.

"Halo," sapa [Name] lagi.

Siswa berjaket biru muda itu mengangguk. "Hai."

[Name] mengerjapkan matanya bingung ketika sang siswa tidak melepaskan tatapannya. Kemarin dia pura-pura tidak melihat dirinya.

"Namamu siapa?" [Name] memutuskan untuk bertanya. Kalau begini tidak akan awkward, 'kan?

"...Ice."

[Name] malah merasa lebih bingung daripada sebelum ia menanyakan namanya. "Ice? Seperti es?"

Pertanyaannya dijawab oleh anggukan singkat dan, "BoBoiBoy Ice."

Oh. Kini semuanya masuk akal. Siswa berjaket biru muda itu ternyata salah satu dari tujuh bersaudara BoBoiBoy yang terkenal di sekolah. Pantas saja dia tidak pernah melihat wajah kembar BoBoiBoy yang kelima itu. Selama ini, dia menyembunyikan dirinya di atap.

"Aku [Name]," balasnya memperkenalkan diri.

Ketika perkenalannya hanya dibalas dengan anggukan, [Name] bingung ingin berkata apa lagi. Benar-benar irit kata laki-laki yang satu ini.

Berusaha menjaga agar suasana tidak menjadi awkward, [Name] menyibukkan diri dengan makan siangnya, membiarkan laki-laki di sebelahnya itu duduk dalam diam.

Kali ini, ia masih merasakan tatapan terang-terangan darinya. [Name] mulai berpikir untuk meratapi nasib. Hilang sudah rasa damai saat makan siang di sekolah. Berkali- kali ia berdoa agar suasana kembali seperti yang sudah berjalan selama lima bulan terakhir.

Besoknya, ia malah mendapati ketua OSIS sekolahnya duduk di sebelah siwa berjaket biru muda itu.

"Oh, halo," sapa BoBoiBoy Gempa dengan hangat. Ice di sebelahnya hanya mengangguk.

"Halo," balas [Name], menelan kembali permintaan maaf yang hampir keluar dari mulutnya. Tidak, tidak. Yang terkejut di sini itu [Name], bukan Gempa ataupun Ice.

Mungkin sang ketua OSIS menyadari tatapan penasaran dari [Name] karena dia tiba- tiba mengajaknya berbicara. "Kamu sering makan di sini dengan Ice kah? Terima kasih sudah menemaninya lho."

"Ah, tidak apa-apa. Biasanya Ice hanya tidur kok," balas [Name] segan. Nampaknya ia memberikan jawaban yang salah karena tiba-tiba Gempa menatap Ice dengan tatapan kecewa.

"Ice? Tidur lagi?" tanyanya dengan nada pasrah.

Ice mengalihkan pandangannya dari saudara kembarnya itu, tampak tak berani menopang beban dari tatapan Gempa.

"...Kemarin tidak kok," ujar Ice kecil setelah Gempa tetap menatapnya. "Kemarin doang?"

"Kemarinnya lagi juga." "Lalu?"

Ice diam kembali, masih tidak menatap Gempa.

Melihat interaksi antar saudara itu, [Name] terkekeh pelan. Ice beralih menatapnya dengan tatapan yang sepertinya memelas. [Name] hanya tersenyum simpul padanya seraya mengangkat bahu.

Hei, bukan dia kok yang selalu tidur selama jam istirahat selama lima bulan. "Ah iya," ujar Gempa tiba-tiba, beralih dari Ice, "apa kamu [Name]?"

Eh? Dari mana sang ketua OSIS bisa tiba-tiba tahu nama seseorang siswa biasa seperti dirinya?

"Ice pernah bercerita tentangmu," jawab Gempa menenangkan. "Lumayan sering malahan. Katanya ada seseorang yang ternyata makan di atas atap bersama dirinya..."

Bersama apanya? Ice selalu tidur.

Namun, ketika [Name] melirik ke arah laki-laki yang sedang dibicarakan, dia mengalihkan pandangannya dari mereka berdua.

"Oh, katanya dia juga merasa ada yang menginjak dia di—"

"Oh, aku tidak melihat apa-apa kok!" [Name] buru-buru menyela. Gempa menatap dirinya seraya tersenyum yang mengatakan dia tahu segalanya, tapi tidak berkata apa-apa lagi mengenai menginjak dan diinjak.

Makan siang hari itu tidak dilewati dalam keheningan seperti biasanya. [Name] berkali- kali terlibat dalam topik pembicaraan yang dibawa Gempa. Laki-laki yang satu itu memang ramah dan hangat, tidak seperti saudara kembarnya yang satu itu.

[Name] sebenarnya masih bertanya-tanya mengapa Gempa tiba-tiba menemani saudara kembarnya yang satu ini setelah satu semester hampir berlalu. Apa karena sekarang sedang musim ujian? Biarpun begitu, ia tidak begitu mempermasalahkan kehadiran Gempa di sana karena keramahannya.

Ia berpikir mungkin tidak akan buruk jika Gempa terus makan siang bersama mereka. Setidaknya ada orang lain yang akan menjadi target tatapan dari Ice.

Bukan berarti semua saudaramu diajak dong, batin [Name] saat ia memasuki atap keesokan harinya, disajikan dengan pemandangan ketujuh bersaudara BoBoiBoy hadir. Kalau dilihat-lihat, mereka mirip pelangi.

"Halo," Ice mengejutkannya—dan saudara-saudaranya, yang langsung menatap Ice ketika ia mengangkat suara—dengan menyapanya duluan. [Name] awalnya hanya diam sebelum menyadari dirinya masih berdiri di ambang pintu memandangi mereka.

"Hai," balas [Name] seraya mengangguk. Ia sadar bahwa tukar sapanya barusan sama persis dengan interaksi mereka yang pertama kalinya beberapa hari yang lalu, hanya ditukar.

Entah apa yang terjadi, tahu-tahu [Name] sudah duduk di samping Ice beberapa detik kemudian.

"Kamu pasti [Name]," ujar salah satu BoBoiBoy—dilihat dari warna jaket biru tuanya yang hampir identik dengan Ice, mungkin ini BoiBoiBoy Taufan—ketika ia membuka kotak makannya. "Ice cerita banyak soal ka—"

"Kak," potong Ice dari sampingnya. Kalau [Name] melotot, ia bisa melihat mulutnya cemberut.

"Ampun," Taufan berujar cengengesan, tidak terlihat seperti meminta ampun sama sekali.

[Name] merasa cukup beruntung Ice memotong perkataan Taufan. Bisa-bisa kejadian mengenai Ice merasa diinjak diangkat-angkat lagi.

"Jangan dengarkan," ujar Ice, membuat dirinya menoleh untuk menatapnya. "Kak Taufan suka ngawur."

Yang dibicarakan pura-pura sakit hati, tangannya diletakkan di atas dada. "Kamu jahat, Ice."

[Name] mengangguk serius. "Oke." "Hei?!"

Makan siang hari itu juga jauh dari kata 'tenang', mengingat adanya delapan orang duduk lesehan di tempat yang cukup sempit. [Name] berkali-kali menangkap tatapan Ice padanya, sama-sama pasrah dengan keributan yang terjadi di hadapan mereka. Mereka berkali-kali harus mengelak dari lemparan tutup kotak makan atau nasi yang bertebaran.

Ramai. Benar-benar ramai.

[Name] bahkan diantar ke kelasnya setelah jam istirahat berbunyi. Dia sudah menolak, tentu saja. Tujuh orang mengikutinya ke kelas, apalagi tujuh orang itu adalah sang kembar BoBoiBoy, akan terlalu mencolok.

Akhirnya mereka berkompromi dengan Ice saja, saudara mereka yang paling tidak mencolok di antara semuanya.

Perjalanan dari atap ke kelas [Name] diisi dengan keheningan. Ice bukan tipe yang akan membuka topik pembicaraan dengan sendirinya dan tenaga [Name] terasa terkuras setelah harus menghadapi tujuh kembaran. Meskipun begitu, tidak seperti sebelumnya, keheningan kali ini dirasa lebih nyaman.

Melihat pintu kelasnya, [Name] mempercepat langkah. "Ah, ini kelasku," ujarnya. "Um."

Ia masih bingung bagaimana harus mengucapkan perpisahan singkat kepada siswa di hadapannya ini.

"Besok..." Ice berkata tiba-tiba, 'kamu akan makan di atap lagi, 'kan?" "Iya," jawab [Name], walaupun terkesan seperti pertanyaan kembali.

"Oke." Setelah mengangguk singkat, Ice berbalik berjalan ke kelasnya di lantai atas, meninggalkan [Name] berdiri di depan pintu kelasnya kebingungan.

Meskipun dia hampir saja berlari mengejar Ice untuk bertanya apa maksudnya, [Name] kembali melanjutkan aktivitas sekolahnya seperti biasa. Alasan Ice menanyakan hal itu juga pasti ia akan tahu besok saat jam istirahat.

Benar saja. Besoknya, ketika [Name] berjalan masuk ke atap, tidak ada orang lain di sana kecuali Ice. Siswa berjaket biru muda itu duduk menghadap pintu seraya memegangi kotak makan yang ada di pangkuannya, seperti sedang menunggu seseorang untuk keluar dari pintu tersebut sejak tadi pagi.

"Hai," sapanya.

[Name] tertawa pelan, tidak mau berpikir panjang atas kemungkinan bahwa rahasia Ice agar dapat berada di atap itu sebelum dirinya adalah duduk di sana sejak sebelum sekolah dimulai.

"Halo, Ice," sapa [Name] balik.

Lagi pula, tidur atau tidak tidur, [Name] sudah terbiasa mendapati siswa berjaket biru muda itu di atap.

Tidak mungkin [Name] melaporkan teman barunya begitu saja, 'kan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro