🥀Kabur🥀

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Gagal itu milik semua orang. Yang membedakan adalah bagaimana tiap orang menyikapinya. Ada yang menjadikannya pelajaran banyak juga yang menjadikan penyesalan~

****
Pilihan Zahra by Galuch Fema

Atas saran sahabatnya, Zahra langsung pergi sebelum waktunya pulang. Dengan jantung yang berdebar,  ia mengintai keberadaan Rayhan dari balik jendela lantai dua. Hatinya sedikit lega karena tak mendapati mobil di depan klinik.

Zahra kemudian perlahan turun melalui tangga menuju tempat parkir. Alangkah terkejutnya ketika bertemu seseorang berdiri tegak di sana.

"E—anu, eh ...." ucap Zahra gugup karena berpapasan dengan seseorang yang selalu mengawasinya.

Orang tersebut melihat arloji di tangannya, kemudian menatap Zahra yang sudah panik karena ketahuan.

"Tumben sudah pulang, bukannya sekarang belum waktunya pulang kerja?"

"I—iya Pak. Ada acara mendadak," sahut Zahra dengan gugup.

Orang di depan Zahra mengangguk sambil berucap, "Silakan."

Perempuan yang sudah menenteng tas bernapas lega. Untung Satpam barusan tidak curiga.

Zahra berjalan cepat menuju tempat parkir sebelum satpam tadi berubah pikiran. Zahra memilih keluar dari pintu belakang karena dirasa lebih aman dibandingkan lewat depan.

Tanpa hitungan menit, perempuan yang sudah lengkap memakai jaket dan masker agar tak dikenali orang langsung melajukan motornya dengan kecepatan tinggi agar secepatnya  sampai rumah. Untung saja jalanan tidak begitu ramai mengingat belum jam pulang kerja  sehingga ia langsung sampai rumah tanpa hambatan.

Selang beberapa menit setelah kepergian Zahra di Klinik, Rayhan memarkirkan mobilnya sengaja dekat pintu gerbang. Sehingga ketika Zahra datang, ia bisa langsung melihat perempuan yang sudah memenangkan hatinya.

Hampir satu jam Rayhan menunggu tetapi Zahra belum juga menampakkan diri. Padahal sejumlah orang yang berpakaian kerja yang seperti Zahra kenakan tadi siang, sudah banyak yang keluar dari Klinik.

Rayhan bolak balik melihat jam tangannya, ia sudah berdiri hampir satu setengah jam. Suara azan Maghrib juga sudah berkumandang. Raut mukanya sudah tampak gelisah. Laki-laki yang wajahnya sudah panik berulang kali menelepon Zahra tetapi panggilannya sama sekali tak terhubung. Akhirnya Rayhan  memberanikan diri bertanya kepada Satpam di klinik.

"Sudah pulang tadi sore. Soalnya Mbak Zahra selalu menitipkan helm kepada saya, jadi  tahu kapan waktunya mbak Zahra pulang. Tadi juga tumben  pulang lewat pintu belakang. Dia kelihatan gugup dan panik tidak seperti biasanya," jawab Pak Satpam.

Jawaban Satpam yang sangat sopan tetapi sarat maknanya sangat menusuk hati Rayhan. Laki-laki itu memilih menunduk sambil meredam rasa kecewanya.

Menyusul mengejar Zahra pun percuma karena perempuan itu sudah berada di rumah. Laki-laki itu pun memilih pergi ke suatu tempat, persis di samping klinik tempat Zahra bekerja.

Satu-satunya yang ia perlukan adalah mengadu kepada yang menciptakan hati seseorang, siapa tahu ada keajaiban setelah melakukan salat Maghrib.

Selesai salat, Rayhan mengendarai mobilnya menuju rumah seseorang. Memastikan jika semuanya baik-baik saja, siapa tahu ada alasan khusus yang menyebabkan Zahra pergi begitu saja. Hati laki-laki itu terlihat lebih tenang tak seperti tadi saat emosi sedang memuncak.

Rayhan sengaja memarkirkan mobilnya menjauh dari rumah Zahra. Dari jauh ia melihat sebuah motor yang pernah ia dorong, terparkir di halaman rumah.

Dari dalam mobil, Rayhan melihat perempuan berbalut mukena warna merah jambu yang hendak masuk ke dalam rumah Zahra.

Rayhan langsung turun dan berjalan mengendap-endap di belakang Zahra yang hendak masuk ke dalam rumah. Sepertinya perempuan itu belum menyadari kehadirannya.

"Zahra!"

Suara dari belakang mengagetkan Zahra yang selangkah lagi hendak masuk ke dalam rumah.

Zahra menoleh ke belakang, tubuhnya sedikit terkejut melihat seseorang yang memanggilnya.

"Om? " sapa Zahra dengan gugup.

Rayhan tidak menjawab, apalagi kata yang terucap dari bibir perempuan itu menambah sakit di hatinya. Ia terus menatap Zahra dengan tatapan yang sulit diartikan. Antara kecewa dan bahagia karena bisa bertatap muka dengan wajah itu lagi tetapi sepertinya situasi yang kurang mendukung.

Zahra  menyuruh Rayhan untuk duduk di teras rumah, sengaja tidak menyuruh masuk ke dalam  karena hari ini kedua orang tuanya sedang bepergian.  Zahra tidak berani menerima tamu di dalam rumah takut menimbulkan fitnah.

Zahra pamit ke belakang. Di dalam kamar, perempuan itu tampak ketakutan karena untuk kedua kalinya ia sudah mengecewakan Rayhan. Niat hati mau menelepon Sinta untuk minta dicarikan jalan keluar tetapi sayang ponselnya baterai habis dan lupa belum di charge.

Dengan terpaksa Zahra keluar menemui Rayhan dengan membawa segelas minuman dingin. Ia pasrah jika nantinya Rayhan akan marah terhadap dirinya.

Setelah menghabiskan  minuman yang diberikan Zahra, Rayhan langsung pamitan pulang. Padahal selama disitu Rayhan tampak diam membisu, lebih sibuk dengan ponselnya.

"Saya izin pulang, sengaja kesini sekedar menepati janji untuk memastikan kamu pulang selamat sampai rumah, entah itu pulang bersama saya atau tidak."

Sengaja Rayhan memberi penekanan kata di bagian akhir sehingga membuat Zahra sedikit syok dan merasa bersalah. Setidaknya jika tak mau pulang bersama, ia bisa menelepon atau berkirim pesan. Bukan membuat laki-laki itu menunggu di depan Klinik. Seharusnya ia tidak mengikuti ide gila sahabatnya.

Zahra mengikuti Rayhan sampai di tepi jalan, dekat dengan mobil terparkir. Ada niat hati mau meminta maaf tetapi ia urungkan karena perasaan takut.

"Jika dia menengok ke belakang aku akan minta maaf," janji Zahra di dalam hati.

Rayhan terus berjalan mendekati mobil yang tinggal beberapa langkah lagi tetapi belum menengok ke belakang.

"Satu."

"Dua."

"Tiga."

Hitungan sampai ketiga, tubuh Rayhan sudah menghilang masuk ke dalam mobil. Hati Zahra kembali menciut. Ia berharap Rayhan akan menurunkan jendela mobil, setelah itu ia akan meminta maaf dan urusan akan selesai.

Suara mesin mobil sudah dinyalakan, jantung Zahra berdenyut lebih cepat sambil berharap bisa melihat wajah Rayhan saat jendela mobil nantinya akan terbuka.

Sayang, mobil itu melesat pelan di hadapan Zahra. Perempuan itu gugup dan kecewa.

"Apa aku harus mengejar mobil itu sambil berteriak memanggil namanya?" Zahra bertanya kepada diri sendiri di dalam hati.

Sepertinya tidak mungkin, justru situasi seperti ini yang ia inginkan dari awal. Laki-laki itu pergi dan menjauh, setelah itu mereka tak kembali berdekatan. Namun, entah kenapa hati Zahra sedikit kecewa setelah Rayhan pergi begitu saja.

Mungkin yang sekarang dirasakan akibat perbuatannya tadi sore, ternyata karma itu memang ada. Apa yang Rayhan tadi rasakan sekarang berbalik sendiri ke Zahra.

Entah mengapa tiba-tiba mata Zahra sudah berkaca-kaca, ia lalu mengusap dengan punggung tangannya. Meraih sebuah gelas yang barusan dipakai oleh Rayhan untuk minum. Mengamati gelas tersebut, entah mengapa tampak bayangan laki-laki tadi di sana.

"Maaf."

Sebuah kata terucap bersamaan lolosnya air mata yang sudah menari-nari di pelupuk matanya.

"Sejak kapan aku kembali menangisi seorang laki-laki setelah kepergian seseorang di masa lalu."

Zahra langsung mengambil charger dan menghubungkan dengan ponselnya. Kedua mata terbelalak kaget melihat layar smartphone yang menampilkan notif puluhan panggilan tak terjawab dari Rayhan. Yang membuat Zahra syok adalah nama yang tertulis di ponsel miliknya saat Rayhan menyimpan sendiri namanya. Dua kata yang membuat perempuan itu bergidik ngeri karena Rayhan menamai dirinya dengan kata calon suami.

Zahra langsung menulis pesan kepada Sinta.

"Rayhan datang ke rumah, dilihat dari wajahnya sangat marah."

Perempuan yang sudah berganti baju tidur kembali lagi menulis pesan kepada seseorang. Isinya tentang permintaan maaf saja.

Hati Zahra berbunga-bunga ketika melihat nama penerima pesan sedang aktif, bahkan perempuan itu berjingkrak karena pesan yang ia kirim sudah terbaca. Kini tinggal menunggu balasan pesan dari Rayhan.

Hati Zahra cemas karena setelah beberapa menit tak ada balasan pesan dari Rayhan.

"Telepon ... Enggak ... Telepon ... Enggak..."

Zahra mondar-mandir di dalam kamar sambil memegang ponselnya.

"Telepon saja," ucap Zahra sendirian.

Dengan cekatan ia men-dial nomor Rayhan, sialnya Zahra belum mengganti nama yang tertera di layar smartphone. Nada sambung terhubung menandakan telepon milik Rayhan aktif, namun yang membuat Zahra jengkel adalah Rayhan sengaja mematikan telepon darinya.

Zahra menggerutu kesal, tahu seperti ini ia tak menelepon. Saking kesalnya, ia melemparkan ponsel ke atas ranjang. Membenamkan wajahnya di atas bantal. Menghapus pelan bayang-bayang Rayhan yang masih tercetak jelas dalam pikirannya.

"Astaghfirullahal'adzim, aku kenapa sih?" pekik Zahra sendirian sambil memukul kepalanya. Hampir setengah tiga malam, ia sama sekali belum terpejam. Kedua matanya masih sibuk mengecek balasan pesan dari seseorang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro