🥀Si Om🥀

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Jodoh itu sedekat urat nadi. Dia sudah tertulis bahkan saat masih di kandungan. Kita hanya bisa menunggu saat semesta mempertemukan~

***

Pilihan Zahra by Galuch Fema

"Sudah makannya?" tanya Rayhan dengan kedua mata yang tak pernah lepas pada perempuan yang sudah menyihir hatinya.

Zahra mengangguk pasrah.

Rayhan langsung menuju ke kasir, ia membeli sebotol air mineral dan langsung menyerahkan Zahra yang masih menanti di meja makan.

"Nih, minum. Sebagai ganti tadi jus yang saya minum."

Zahra langsung menerima dan sedikit meminum air tersebut karena gugup. Sudah ketiga kalinya ia bertemu dengan sosok laki-laki yang sekarang sering menemui dirinya. Apalagi sekarang ia harus berada dalam satu mobil dengan Rayhan.

Rayhan membuka pintu depan untuk Zahra tetapi perempuan itu menolak dan memilih membuka pintu bagian tengah. Rayhan menaikkan alisnya tanda tak paham maksud Zahra.

"Aku bukan sopir," ucap Rayhan dengan nada ketus. Niat hati mau memandang wajah perempuan saat menyetir, sirna sudah karena ia lebih memilih duduk di belakang.

"Memang sopir Om di mana?" tanya Zahra sambil melihat arah kanan kiri mencari sosok yang seperti seorang sopir.

Rayhan menghirup napas, berusaha mengkondisikan udara di dada yang menipis karena sudah kehilangan kesabaran. Berurusan dengan perempuan seperti ini benar-benar membuat urat nadinya menegang.

"Buruan masuk!" perintah Rayhan yang sudah berbalik arah menuju kursi depan. Selama perjalanan Zahra lebih memilih membuka jendela sehingga Rayhan terpaksa mematikan AC mobil.

"Tempat kerja kamu mana?" tanya Rayhan sambil mencuri pandang lewat kaca di depan.

"Klinik An Nur Syifa. Jalan proklamasi dekat Swalayan Tip Top."

Rayhan langsung mengemudikan mobil menuju klinik tempat Zahra bekerja, untung saja jalanan lengang sehingga mobil Rayhan dapat melesat agar sampai ke sana secepatnya.

"Kenapa kamu membohongiku?" tanya Rayhan pelan di sela-sela menyetir mobil.

Zahra hanya diam membisu, tak berani menjawab pertanyaan laki-laki di sana. Berusaha mengalihkan tatapannya sambil meredam suara denyut jantung yang terus berdetak lebih cepat.

"Kenapa kamu membohongiku AZKIA?" tanya Rayhan dengan nada agak keras sehingga membuat Zahra tersentak kaget. Kedua mata yang sudah berkaca-kaca dan keringat dingin yang sudah keluar tanda panik.

"Saya paling tidak suka dibohongi."

Suara Rayhan merendah, tatapan masih tertuju ke depan mencari tempat untuk memarkirkan mobil di pinggir jalan. Rayhan langsung keluar dari mobil untuk membukakan pintu untuk Zahra.

"Pinjam ponsel kamu!"

Tangan kanan Rayhan sudah terjulur untuk menerima ponsel yang akan Zahra serahkan.

"Untuk apa?" tanya Zahra ragu sambil memeluk tas yang berisi smartphone milik dirinya.

"Pinjam sebentar." Rayhan mengulangi perkataannya.

"Jangan diambil ya? Soalnya cuma satu," jawab Zahra merasa keberatan untuk menyerahkan ponsel miliknya.

Rayhan kembali lagi menarik napas panjangnya. Untuk apa juga mengambil ponsel yang LCD sudah rusak di bagian atas layar. Menghadapi Zahra benar-benar menguras kesabarannya.

"Rusak juga begini, siapa juga yang mau ambil. Tidak ada niat apa buat beli yang baru?" tanya Rayhan sambil menimang ponsel yang harganya jauh dibandingkan ponsel miliknya.

"Pengin, cuma minta dibelikan sama suami saja nanti kalau sudah menikah," jawab Zahra telak sehingga membuat laki-laki di depan sedikit terkejut.

"Kenapa tadi gak bilang? Tahu rusak begini kita mampir ke konter dulu buat beli hp?" tanya Rayhan dengan sedikit kesal.

"Saya kan bilangnya dibelikan sama suami bukan minta dibelikan sama Om."

Zahra sangat paham jika laki-laki di depan tak suka dipanggil dengan Om. Dalam hati Zahra tertawa bahagia karena melihat perubahan wajah Rayhan yang semakin memerah.

"Mau sampai kapan kamu memanggilku dengan sebutan itu? Panggil namaku saja karena itu lebih pantas dibandingkan tadi."

Zahra terkikik pelan, ia menutup mulutnya agar suaranya tak terdengar sampai telinga Rayhan.

Rayhan langsung mencatat nomor ponsel di smartphone Zahra, tak lupa ia juga mencatat nomor Zahra di ponsel yang lain mengingat smartphone yang ia banting tak bisa dinyalakan kembali.

"Kalau ada apa-apa telepon saja. Nomorku sudah ada disitu!" perintah Rayhan sambil menyerahkan ponsel kepada Zahra.

Zahra pun mengangguk dan mengiyakan perkataan Rayhan. Namun tidak nanti di tempat kerjanya. Dalam hati ia sudah berniat untuk memblokir nomor baru tersebut.

"Pulang jam berapa?" tanya Rayhan kembali.

"Jam lima. Hari ini ada tambahan waktu soalnya lagi banyak kerjaan."

"Nanti saya akan jemput kamu."

Lagi-lagi Zahra terbelalak kaget.

"Tidak usah, saya bawa motor," elak Zahra sambil menggoyangkan tangannya sebagai tanda ia menolak mentah-mentah.

"Tetep saya jemput."

"Tap—"

"Tidak ada penolakan. Motor kamu tinggal saja di klinik. Ada security kan? Sudah sana masuk nanti telat!" perintah Rayhan.

Zahra lebih baik mengikuti perintah Rayhan, karena ini kesempatan agar bisa jauh-jauh dari laki-laki yang terus berusaha mendekatinya. Sambil melangkah di halaman Klinik, perempuan itu berpikir keras bagaimana cara menggagalkan pertemuan mereka nanti sore.

"Zahra!"

Perempuan yang merasa dipanggil mendengus kesal, baru dua langkah sudah dipanggil lagi. Terpaksa Zahra berbalik ke belakang dengan dengan wajah cemberut. Ia melihat si Om sedang setengah berlari ke arahnya.

"Ra, saya minta maaf," pinta Rayhan dengan wajah memelas.

Zahra terdiam sambil mengernyitkan keningnya.

"Sudah membentak kamu tadi di mobil," sambung Rayhan.

Zahra hanya terdiam sambil mengangguk kecil. Wajahnya masih sangat cuek. Sedangkan Rayhan merasa menyesal minta maaf karena perempuan di depan sama sekali tak menanggapi.

"Oke," jawab Zahra singkat dan berbalik ke depan.

Rayhan tambah geregetan dan tak puas dengan jawaban dari Zahra.

"Kamu tidak minta maaf, Ra?" sindir Rayhan dengan kesal.

"Untuk?" tanya Zahra kembali berbalik dengan pasang wajah bingung.

"Sudahlah, kamu masuk saja sana!"

Emosi Rayhan sudah berada di ubun-ubun. Untuk kali ini lebih baik mengalah daripada terus bersabar mendengar celotehan perempuan yang benar-benar membuat urat nadinya terus-terusan naik. Rayhan berbalik menuju mobilnya di pinggir jalan.

Zahra terkikik menyadari ulahnya barusan.

"Om, saya minta maaf!" teriak Zahra kepada Rayhan yang hendak membuka pintu mobil.

Ada rasa bahagia tersendiri ketika mendengar permintaan maaf dari Zahra. Namun, panggilan itu lagi yang membuat dirinya naik pitam.

"Apa aku terlihat seperti om-om yang lagi pedekate sama anak ingusan."

Rayhan langsung masuk dan membanting pintunya dengan keras sehingga membuat Zahra terkikik lebih keras. Rencananya berhasil membuat laki-laki itu semakin jengkel.

🌿🌿🌿🌿

Di kantor Sinta tampak mondar-mandir sedang menunggu kedatangan Zahra dengan segudang pertanyaan. Harusnya Zahra sudah datang lima menit yang lalu. Ia khawatir takut terjadi sesuatu dengan sahabatnya. Sinta juga khawatir karena  kepala bagian administrasi sebentar lagi akan memasuki ruangan ini. Walaupun klinik ini terbilang kecil tetapi pimpinan klinik sangat disiplin kepada semua karyawannya.

Tiba-tiba Sinta melihat Zahra berjalan dengan cepat menuju ruangan ini.

"Kamu tidak kenapa-napa kan?kamu tidak diapa-apain? Dia bukan orang jahat kan Ra? Tadi aku takut banget kirain kamu bakal diculik. Jika dalam waktu lima menit lagi kamu gak dateng, aku udah siap-siap panggilkan debt collector."

Rentetan ucapan Sinta membuat Zahra semakin pusing.

"Apaan sih kamu? Masa bawa-bawa debt collector?"

"Doi kan paling pinter kalau urusan cari orang, apalagi kalau punya hutang," jawab Sinta cengengesan.

Selembar map melayang untung tak mengenai wajah Sinta.

"Kamu sebenarnya ada hubungan apa sama dia?" selidik Sinta penasaran.

"Aku tidak ada hubungan apa-apa sama dia. Intinya dia nolongin aku, terus anterin  pulang. Besoknya ke rumah  dan sempat bertemu sama bapak ibu. Dia minta nomor telepon terus aku beri nomor kamu. Aku juga gak tahu kalo tadi ketemu di restoran?"

"Apa mungkin dia teman sekolah kamu waktu TK, SD, SMP, SMA atau kuliah?"

Zahra menggeleng sambil berucap, "Masa teman sekolah tua begitu kaya om-om," jawab Zahra ketus.

"Tapi ganteng tau Ra," ucap Sinta sambil meletakkan kedua tangannya di pipi sambil membayangkan wajah Om Rayhan.

"Bisa jadi teman medsos? BBM, Facebook, Twitter, Instagram, Path, Line, Messenger, telegram, tik-tok?"

"Gak juga." Zahra kembali lagi menggeleng.

"Segitu semangatnya deketin kamu."

"Hemm. Apalagi nanti aku pulang disuruh bareng sama dia. Motor suruh ditinggal di Klinik."

"Dan kamu mau nurutin permintaan dia?"

Zahra menggeleng.

"Bantuin aku dong? Pusing tau?"

Zahra memijat keningnya yang terasa hangat.

"Begini saja nanti kamu pulang lewat pintu belakang. Jam lima kurang seperempat kamu langsung cabut. Nanti aku yang absenin kartu kamu. Bagaimana?" tawar Sinta memberikan ide gilanya.

"Memangnya tidak apa-apa Sin?" tanya Zahra ragu.

"Tenang saja. Kita atur strategi."

"Ya udah deh gak apa-apa. Daripada aku pulang bareng sama om-om lagi," jawab Zahra pasrah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro