🥀Nasihat yang bijak🥀

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Dan pada akhirnya ada batas setiap cerita, selalu ada kata selesai  untuk setiap yang akan dimulai~

***
Pilihan Zahra by Galuch Fema

Hari ini double update, cek part sebelumnya ⬅️

Happy reading jangan lupa vote

Zahra menumpahkan kepedihannya setelah salat magrib. Saat ini ia masih bertahan di sebuah masjid dekat jalan raya. Lebih baik ia menumpahkan di sini daripada membawa pulang masalahnya ke rumah.

Setelah dirasa cukup membaik dan isak tangis cukup tak terdengar, akhirnya ia memilih untuk pulang.

Baru di serambi masjid, tatapan matanya tertuju pada mobil merah tadi. Laki-laki itu masih setia menunggu dirinya.

"Kok belum pulang?" tanya Zahra tak berani menatap wajah di samping. Ia sebenarnya sangat malu karena telah menangis di depan laki-laki ini.

"Nunggu kamu. Kamu—?"

"Enggak salat?" tanya Zahra memotong pertanyaan barusan. Ia bisa menebak pasti akan menanyakan kenapa dirinya menangis.

"Eh, a-anu—," jawab Ryan sambil salah tingkah.

"Lagi datang bulan?" tuduh Zahra sehingga wajah Ryan sangat kesal.

"Bukan? Emang gue cewek? Nanti saja digabung sama isya," seloroh Ryan sehingga membuat Zahra geleng-geleng.

"Itu pun kalau enggak bablas ketiduran kan?"

"Pinter kamu, Ra."

"Kapan kamu tobat?"

"Nanti kalau udah menikah."

"Ya kali umur kamu panjang? Kalau habis ini mati gimana?"

"Astaghfirullah, jahat banget kamu doanya. Enggak ada yang lain apa?" tanya Ryan dengan sewot.

Zahra tertawa terbahak-bahak.

"Nah, ketawa gitu kan cakep. Pantas saja Rayhan tergila-gila sama kamu."

"Apaan sih."

Zahra pelan-pelan menyudahi tawanya karena kembali teringat kejadian tadi sore.

"Tadi kenapa kamu nangis?" selidik Ryan.

"Enggak apa-apa. Jangan bilang sama Rayhan loh!"

"Di jawab dulu kenapa?"

"Cepetan jalan. Aku capek," paksa Zahra sambil mengibaskan tangannya. Ryan akhirnya terpaksa melajukan mobilnya mengantarkan Zahra daripada terus berdebat.


🌷🌷🌷🌷

Sudah seminggu ini, belum ada tanda-tanda kemunculan Reza ke rumah Zahra. Sedangkan Zahra sendiri belum berterus terang kepada orang tuanya tentang berakhirnya hubungannya dengan Reza.
Masih terbesit rasa kecewa karena laki-laki itu memutuskan hubungannya secara sepihak tanpa ada alasan yang jelas kecuali karena perempuan itu.

Zahra memandang jari manisnya yang tak ada lagi cincin pemberian Reza. Tanpa sadar, ia membuka laci dan meraih sesuatu di dalam sana. Sebuah benda melingkar pemberian seseorang tengah ia pandangi.

Dengan tangan gemetar, ia memasukkan cincin tersebut di jari manisnya. Ada perasaan lega sendiri ketika memakainya. Mungkin ia akan merelakan cincin tersebut menjadi penghuni jari manisnya, lagian sekarang ia sudah tak bertemu lagi dengan Rayhan jadi laki-laki itu tak akan mengetahuinya.

Sama seperti Zahra, seminggu berlalu begitu saja namun Rayhan sama sekali belum bisa melupakan Zahra. Bayangan perempuan itu yang ada selalu hadir dalam otaknya.

"Ini berkasnya Ray," ucap Ryan sambil meletakkan beberapa tumpuk map yang harus ia tanda tangani.

Ryan juga sama saja, sifatnya beberapa hari ini sangat aneh, seperti ada sesuatu yang disembunyikannya. Apalagi sejak Ryan terakhir meminjam mobil merah milik Rayhan. Ia mendapati beberapa tisu bekas berserakan di dalam mobilnya. Entah untuk ke berapa laki-laki itu bergonta ganti perempuan.

Bunyi pesan masuk lagi-lagi mengagetkan Rayhan. Satu pesan dari Indra—sahabat sekaligus dokter yang menangani istrinya saat operasi Cesar.

"Ciih!"

Rayhan melemparkan smartphone begitu saja ke atas meja. Indra mengabari jika akan menikah tetapi undangan pernikahan harus Rayhan sendiri yang harus mengambil ke rumah sakit.

Jelas-jelas ia alergi rumah sakit setelah kepergian Nisa. Yang tak habis pikir adalah siapa calon Indra, bukankah ia waktunya selalu dihabiskan di meja operasi? Siapa perempuan yang beruntung mendapatkan Indra?

Siang ini, Rayhan terpaksa pergi ke rumah sakit tempat di mana istrinya berjuang melahirkan Annisa dan akhirnya harus meregang nyawa karena mengalami pendarahan hebat.

Sebenarnya Rayhan sudah berjanji tidak akan kembali ke Rumah Sakit tersebut karena mengingatkan lagi luka lamanya yang sudah ia kubur satu tahun terakhir ini.

Rayhan memarkirkan mobilnya di tempat parkir. Tak sengaja melihat mobil jenazah yang terparkir tak jauh dari situ. Ingatan membawanya kembali ketika dirinya naik mobil tersebut menemani Nisa yang sudah terbujur kaku tertutup kain kafan. Rayhan langsung berjalan cepat meninggalkan kenangan buruknya.

Laki-laki itu berjalan cepat menuju ruangan Indra. Ia sangat hafal tempatnya karena setiap bulan ia selalu menemani Nisa untuk cek kandungannya.

Ketika hendak sampai di ruangan yang dituju, Rayhan sangat terkejut dan segera menghentikan langkahnya. Di depannya ia melihat Indra sedang bercakap-cakap dengan seorang perempuan.

Ada rasa ragu sendiri untuk melanjutkan langkahnya karena perempuan yang bersama Indra adalah Zahra. Rayhan
langsung mendekati mereka dengan perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Zahra sendiri kaget melihat Rayhan, ia tidak menyangka jika dirinya akan bertemu lagi dengan laki-laki itu.

Rayhan tampak acuh pada Zahra, tatapannya fokus tertuju pada Indra. Sebenarnya, ia tidak ingin bersikap demikian, tetapi entah kenapa hatinya tidak rela dan ikhlas jika Zahra dekat dengan laki-laki mana pun walaupun dengan sahabatnya.

"Ray, akhirnya kamu datang juga?" Mereka langsung berjabat tangan.

"Mana undangannya? Aku lagi sibuk dan waktuku tidak banyak," ucap Rayhan dengan ketus.

"Oke. Aku ambil dulu. Dasar orang sok sibuk!"

Sekarang tinggal Rayhan dan Zahra berdua. Zahra agak canggung karena Rayhan yang ada di hadapannya tidak seperti biasanya.

"Mas Rayhan?" tanya Zahra kaku.

"Hemm. Ada urusan apa sama Indra?" tanya Rayhan sambil mengalihkan pandangannya.

"Dokter Indra?" ulang Zahra.

"Ya."

"Urusan kerjaan. Ada berkas-berkas dari Klinik yang harus diantarkan pada dokter Indra karena beliau juga sering praktik di Klinik mengantikan dokter Ika jika berhalangan hadir."

Rayhan baru menyadari jika di tangan Zahra terdapat beberapa map. Rayhan telah salah paham kepada Zahra dan Indra.

"Astaghfirullahal'adzim," batin Rayhan.

Kenapa hatinya selalu curiga jika Zahra berdekatan dengan laki-laki lain termasuk sahabatnya sendiri. Tidak mungkin jika Indra menikah dengan Zahra, setahu Rayhan  Indra dekat dengan dokter spesialis di sini.

"Ternyata kalian saling kenal?" kata Indra keluar dari ruangannya sambil menyerahkan selembar undangan kepada sahabatnya.

Rayhan pun langsung mengecek undangan tersebut dan nama Zahra tidak tertera di sana.

"Ray, kamu tahu siapa orang yang mendonorkan darah pas Nisa operasi Cesar?"

Rayhan menggeleng.

"Zahra orangnya yang mendonorkan darah buat Nisa."

Rayhan dan Zahra sangat terkejut. Keduanya sempat bertatap muka sebentar karena keduanya hampir tidak percaya dengan yang dikatakan dokter Indra.

Rayhan tidak menyadari jika Zahra yang mendonorkan darah untuk istrinya. Golongan darah istrinya sangat langka. Tidak semua orang memilikinya. Karena saking paniknya ketika mendampingi Nisa melahirkan saat operasi, dirinya tidak mengetahui jika Zahra yang menolongnya.

Begitu pun juga Zahra, dirinya tidak tahu ternyata darah yang ia sumbangkan ternyata untuk Nisa—saudara kembarnya.

"Golongan darah Nisa AB negatif, golongan darah yang jarang dan langka. Pada waktu itu kita sudah menghubungi beberapa Rumah Sakit di kota ini tetapi tidak ada yang memiliki stok darah seperti Nisa. Akhirnya kami menemukan data jika Zahra memiliki golongan darah yang sama. Data diperoleh karena Zahra selalu rutin donor di Rumah Sakit ini. Saat itu kami langsung menghubunginya pas di jam kerja. Apalagi Rumah Sakit ini bekerja sama dengan Klinik tempat Zahra bekerja. Namun, hanya bisa menyumbangkan satu kantong saja padahal yang dibutuhkan Nisa harus dua kantong. Kondisi Zahra waktu itu sedang puasa jadi kita tidak bisa memaksakannya takut mengganggu kesehatan Zahra."

Ketiganya langsung terdiam, lebih-lebih Rayhan harus diingatkan kembali tragedi di sini.

"Untung saja masih tertolong satu kantong darah dari Zahra kalau tidak mungkin Annisa tidak bisa ikut terselamatkan."

Rayhan sangat kaget mendengarnya. Ia tidak bisa membayangkan jika ia harus kehilangan istri dan buah hatinya.

Zahra juga sangat kaget mendengar penuturan dokter Indra. Ia sangat menyesal dan bersalah kenapa dulu ia tidak bisa menyumbangkan darahnya lebih, mungkin saja ia masih bisa bertemu dengan Nisa.

"Dok, saya ke bagian administrasi dulu buat menyerahkan berkas-berkas ini. Permisi," kata Zahra pamitan kepada dokter Indra.

"Baiklah. Silakan," sahut dokter Indra.

Zahra langsung pergi menuju ruang administrasi yang terletak berdampingan dengan ruangan dokter Indra. Kedua mata Rayhan masih tertuju ke arah Zahra walaupun perempuan itu sudah masuk ke ruang administrasi.

"Kok kamu bisa kenal dia Ray?" tanya Indra dengan penasaran.

"Hemmm."

"Kamu suka sama dia?" cecar Indra.

Rayhan hanya terdiam tak menjawab pertanyaan sahabatnya.

"Kamu suka dia karena dia mirip—?

"Tidak usah dilanjutkan, Ndra?"

"Sudah lama kamu kenal dia?"

"Belum."

"Kamu enggak salah jika mencintai dia. Zahra orangnya baik apalagi usia dia sudah pantas untuk diajak menikah. Sudah sepantasnya kamu juga memikirkan masa depan. Enggak selamanya kamu terlarut dalam kesedihan terus menerus. Apalagi anak kamu juga membutuhkan sosok seorang ibu."

"Ada banyak hal yang membuat kita sulit bersatu."

"Terus kamu menyerah begitu saja?"

Rayhan terdiam.

"Untuk mendapatkan sebuah mutiara membutuhkan kesabaran dan waktu yang lama. Teruslah berjuang dan jangan cepat menyerah."

"Oke. Terima kasih masukannya. Akan ku pikirkan baik-baik."

"Aku sudah tahu semuanya. Kemarin Ryan sudah menceritakan semuanya padaku."

"Cerita apa aja itu orang?"

Indra tersenyum, "Ryan adalah satu-satunya orang sekaligus sahabat yang paling peduli sama kamu. Untuk urusan pekerjaan sekaligus masalah pribadi kamu."

Rayhan tersenyum. Ia kembali teringat saat dirinya pernah memukul Ryan karena sudah membuka ponselnya tanpa izin.

"Nah itu dia sudah keluar, samperin sana!" perintah Indra kepada Rayhan.

"Aku pulang dulu."

"Datang ya ke pernikahan aku. Jangan lupa ajak Zahra. Dan jangan trauma untuk datang ke tempat dulu dimana kamu pernah merasakan kehilangan, siapa tahu kamu juga akan mendapatkan gantinya di tempat yang sama."

"Insyaallah," kata Rayhan tersenyum sambil melangkah menghampiri Zahra.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro