🥀 Perpisahan🥀

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Perpisahan semanis apapun tetap saja artinya, karena akan ada cerita yang berubah menjadi kenangan~

****
Pilihan Zahra by Galuch Fema

Happy reading jangan lupa vote

Jarak dan waktu sudah mengubah segalanya
Bukannya kita semakin dekat tetapi semakin jauh bahkan kita lupa jika dulu pernah dekat
Aku sadar orang yang menyukaimu bukan hanya aku.
Orang yang menyelipkan namamu dalam doa juga bukan hanya aku.
Orang yang berusaha memantaskan denganmu bukan hanya aku.
Aku tak seperti mereka pada umumnya yang bisa memperjuangkan mu dengan banyak cara dan usaha.
Aku hanya memperjuangkannya tiap bait doa di malam hari.
Aku hanya bisa menyembunyikan rasa di balik kesendirian dan kesedihanku
Sebisa mungkin belajar melenyapkan rasa tapi masih belum bisa.
Sebisa mungkin juga harus melepas asa walau akhirnya gagal juga.
Jika pada akhirnya takdir tidak berpihak kepadaku,
Jika pada akhirnya kenyataan memerintahkan untuk meninggalkanmu
Maka itu pula jawaban dari doa-doaku yang terlampau tinggi untukmu
Yang aku butuhkan saat ini adalah kekuatan untuk bisa mengakhiri semuanya.

Tak terasa setetes bulir bening membasahi sajadah di depan seseorang yang tengah mengadu perasaannya kepada Sang Khalik.

Dari salat yang ia barusan kerjakan sudah jelas jalan mana yang akan ia pilih walaupun sebenarnya itu bukan keinginannya.

Suara mobil terdengar begitu dekat memasuki proyek menjelang petang. Dengan gerakan cepat, Reza meninggalkan sajadah yang ia gelar di atas kardus yang sudah tak terpakai lagi.

Dari balik kaca besar, ia sudah melihat siapa yang datang. Seseorang yang barusan ia perbincangkan dengan yang di atas. Dengan langkah ragu sambil menata hati yang sudah patah berkeping-keping padahal lisan saja belum ia ucapkan.

"Zahra!" panggil Reza lirih. Tatapan kedua mata Reza masih tertuju pada sebuah mobil yang masih berhenti di depan tetapi mesin mobil masih menyala, apalagi pemilik mobil sama sekali tak turun tetapi Reza bisa merasakan jika tatapan laki-laki di dalam mobil tengah mengarah kepadanya.

"Kita ke ruangan Mas di belakang proyek saja, ada hal penting yang ingin dibicarakan," sahut Reza sambil melangkah di jalan setapak samping gedung yang masih dalam tahap proses pembuatan.

Walaupun suasana menjelang senja tetapi di sini masih banyak pekerja yang kian kemari menyelesaikan pekerjaannya.

Sekarang di ruangan tiga meter, sepasang manusia tengah duduk dengan suasana yang kaku.

"Apa kabar? Kapan Mas datang kesini setelah dari Jakarta?" tanya Zahra membuka keheningan sore.

"Saat kamu tidur di rumah sakit."

Zahra melirik sekilas laki-laki yang nada bicaranya tak biasa.

"Maaf, waktu itu—"

"Sudahlah, tak perlu lagi dijelaskan. Aku sudah mengerti semuanya."

Zahra hanya menelan ludahnya yang terasa sangat pekat.

"Ada yang ingin Mas katakan. Sebelumnya Mas minta maaf dulu takut menyakiti perasaan kamu."

Reza menghirup napas dalam-dalam karena sejujurnya ia tak kuat berada di posisinya seperti ini.

Hafidz yang hendak masuk ke ruangan sambil membawa beberapa maket terpaksa berhenti di depan pintu. Sayangnya Zahra tak melihat kedatangan Hafidz, hanya sorot mata sayu Reza melihat kehadiran sahabatnya.

Gelengan lemah kepala Hafidz mengisyaratkan agar Reza tak melanjutkan aksinya. Namun, sepertinya ia percuma.

"Kita putus!!!"

"APA? PUTUS?"

Tiba-tiba petir menggelegar padahal langit sebelumnya cerah. Perempuan berkerudung yang duduk di kursi tiba-tiba tubuhnya langsung melemas karena sangat kaget dan syok. Jantungnya berdegup kencang. Setitik air mata sudah menggenang di kedua pelupuk matanya. Ia berusaha mati-matian menahan agar air mata itu tidak jatuh berlinang. Ia berusaha sekuat mungkin untuk menghadapinya walaupun kenyataan itu sangat pahit.

"Ke-kenapa Mas Reza memutuskan hubungan ini. Padahal sebentar lagi kita akan menikah? Apa Zahra punya salah ?" tanya Zahra dengan gugup dan terbata-bata karena menahan sesak di dadanya.

Sedangkan Reza hanya bisa menatap ke bawah. Ruangan ini sebagai saksi perpisahan mereka.

"Ada sesuatu yang tidak bisa Mas jelaskan."

Zahra tidak menyangka jika Reza merahasiakan sesuatu kepada dirinya. Seharusnya Zahra mendapatkan alasan yang tepat dari perpisahan ini. Ia sangat kecewa atas keputusan sepihak oleh laki-laki yang statusnya nanti berubah menjadi mantan.

Keduanya terdiam. Langit berubah menjadi gelap menandakan rintikan air hujan akan turun. Suasana yang sangat mendukung dengan perasaan mereka masing-masing.

Tiba tiba ada mobil taksi berhenti di dekat pintu keluar bagian belakang yang berhadapan dengan ruangan ini. Seketika kejadian seseorang menjadi jeda dari pasangan tersebut.

Reza sangat terkejut menyadari kehadiran sosok perempuan yang sangat ia kenal. Dari jauh Reza melihat perempuan itu berjalan mendekati dirinya yang tengah berdiri di dekat pintu. Sementara itu, Hafidz sudah pergi dan mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan Reza.

"Mas Reza?" panggil perempuan itu sambil berjalan mendekati laki-laki itu.

Zahra buru-buru mengusap air matanya sambil terus menatap dengan rasa penasaran atas kehadiran perempuan itu. Ia merasa asing karena memang tak mengenalnya.

"Mas Reza ke mana saja? Aku sudah mencari di kontrakan ternyata masih di sini. Ini kan sudah malam, Mas kan butuh istirahat juga?"

Perempuan yang baru datang seketika langsung kaget. Dari luar sepintas Reza sedang sendiri. Namun, ada perempuan di ruangan ini juga.

"Eh maaf. Sepertinya saya mengganggu ya? Kalau begitu saya tunggu di proyek saja," sahutnya merasa tak enak hati.

"Jangan, kamu di sini saja," ucap Reza sambil menahan salah satu lengan Lolita. Sepertinya Reza sudah menemukan alasan yang tepat untuk mengakhiri semuanya.

"Siapa dia, Mas?" tuduh Zahra dengan memicingkan matanya melihat tangan Reza masih memegang lengan perempuan itu. Zahra sudah menangkap ada yang tidak beres di antara kedua orang itu.

Reza terdiam dan tidak menjawab pertanyaan Zahra. Kata yang ingin ia ucapkan hanya bisa berakhir di tenggorokan karena tak ada daya untuk mengucapkannya.

"Apa perempuan ini adalah alasan Mas untuk mengakhiri hubungan kita?" tanya Zahra dengan tiba-tiba.

Sedangkan perempuan yang di samping Reza bingung kenapa kedatangan dirinya tiba-tiba dikaitkan dengan kedua orang itu.

"Ya," jawab Reza singkat.

Badan laki-laki itu bergetar karena harus terpaksa berbohong. Ia sudah kehilangan cara bagaimana agar Zahra percaya padanya. Keputusan sudah bulat, ia hanya ingin melihat Zahra bahagia walaupun tanpa dirinya.

Pertahanan Zahra mulai roboh saat air mata dengan tak bersalah sudah berlinang kembali.

"Insyaallah kalau ada waktu, Mas akan secepatnya menghadap kepada Bapak Ibu untuk membicarakan ini semua," lanjut Reza.

Dengan berat hati Zahra menaikkan pandangannya ke arah Reza. Tangannya menyeka air mata yang membasahi pipinya.

"Baiklah. Aku tunggu kedatangan mas untuk menemui Bapak dan Ibu. Permisi," kata Zahra bersiap-siap meninggalkan mereka berdua. Tak lupa Zahra melepaskan cincin pemberian Reza dan meletakkannya di atas meja, dekat tumpukan berkas-berkas.

Zahra berlari cepat dengan isak tangis yang sudah menjadi. Ia tak peduli berapa banyak tenaga di proyek yang melihatnya saat berpapasan.

"Kejar dia!" perintah Lolita sambil menggoyangkan tubuh laki-laki yang masih bergeming dekat pintu.

"REZA. KEJAR DIA!!!"

Suara Lolita meninggi karena laki-laki itu hanya diam membeku, bahkan suara keras tak mampu membuat wajah itu menoleh.

Gelengan pasrah Reza membuat Lolita semakin geregetan.

"Bukankah tadi itu Zahra? Calon istri Mas?"

"Ya. Biarkan saja."

"Kenapa dibiarkan? Bukankah Mas sangat mencintai Zahra?"

"Aku memang mencintainya tetapi di hatinya sama sekali tidak ada nama aku," sesal Reza sambil menjatuhkan tubuhnya di atas sofa.

"Jika Zahra tidak mencintai Mas, tidak mungkin wajahnya sesedih itu bahkan sampai menangis!" pekik Lolita hilang kesabaran.

"Biarkan saja, memang sudah waktunya berakhir," ucap Reza sangat lirih.

Lolita hanya bisa mendengkus, entah kejadian ini menguntungkan dirinya apa tidak, karena ia sendiri  iba melihat Zahra menangis barusan.

"Ada apa kamu ke sini?" tanya Reza sambil terus memperhatikan perempuan yang biasa memakai pakaian mini tetapi sekarang berubah karena sudah memakai hijab di kepalanya.

"Papah di rumah sakit kena stroke. Dari kemarin aku menghubungi tetapi ponsel Mas mati. Papah ingin sekali bertemu dengan Mas lagi."

Mata Lolita langsung berkaca-kaca karena kembali mengingat laki-laki paruh baya yang sekarang terbujur lemah.

Reza panik, baru beberapa hari ia tinggal ternyata atasannya sakit parah, padahal kemarin ia baru bertemu dan sepertinya kondisinya masih sehat.

"Sekarang dirawat di mana?"

"Di Rumah Sakit tempat di mana dulu aku dirawat."

"Aku akan ke Jakarta jika urusanku di sini sudah selesai."

Lolita mengangguk. Ada benarnya juga ucapan Reza karena tugas di sini juga tak bisa ditinggalkan terus.


  🌷🌷🌷🌷

Suara azan Maghrib mengiringi langkah Zahra sampai pintu utama di proyek. Ia kini berdiri di pinggir jalan, tatapan matanya langsung tertuju pada mobil yang hendak melintas di depannya.

Dengan gerakan cepat, ia melambaikan tangannya berharap mobil itu berhenti. Keberuntungan sedang berpihak padanya karena sekarang mobil merah berhenti di depannya. Buru-buru Zahra membuka pintu mobil tepat di samping pengemudi mobil.

"Zahra!" panggil laki-laki itu dengan suara meninggi karena melihat perempuan di samping terlihat menangis.

"Cepat jalan!" pekik Zahra sambil mengusap air matanya.

Double update, cek part selanjutnya ➡️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro