🥀 Ucapan Perpisahan🥀

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Sebuah rasa tidak dapat berubah karena dipaksa, tetapi rasa bisa diubah karena terbiasa~

****
Pilihan Zahra by Galuch Fema

Maaf tadi kepencet publish, efek lapar 😣Happy reading, jangan lupa vote.

Ada rasa bersalah di hati Zahra ketika terpaksa memilih Rayhan tepatnya Annisa karena untuk sekarang putri kecil itu yang lebih penting. Nanti jika urusan Annisa sudah selesai, nantinya Zahra akan menemui Reza.

Ada rasa bertanya-tanya yang sangat besar di hatinya. Kenapa perempuan tadi pagi tidak bisa meyakinkan hati Annisa? Bukankah mereka juga sama-sama dekat? Kenapa Zahra sendiri yang harus turun langsung membujuk agar mau pulang dari rumah sakit.

"Maaf sudah mengganggu waktu kalian," sesal Rayhan membuyarkan lamunan Zahra.

"Tidak apa-apa."

"Sebentar saja. Setelah itu nanti Mas antarkan kamu pada Reza," janji Rayhan.

Dalam hati Rayhan sebenarnya tak terima jika mereka berdua terus dekat di hadapannya.

"Lihat nanti saja, semoga Annisa mau ditinggal jika sudah sampai rumah."

Mobil melaju cepat menuju rumah sakit, setelah sampai di sana Zahra langsung menuju ruangan tempat dimana Annisa di rawat.

Benar saja, makhluk kecil itu sedang merajuk di atas ranjang. Kaki kecilnya ditendang-tendang pada sebuah bantal yang tak bersalah. Mulut kecil meracau tidak jelas disertai isak tangis.

"Annisa."

Suara lembut Zahra membuat semua orang yang ada di ruangan termasuk perempuan tadi pagi menatap Zahra yang barusan datang ke ruangan ini.

Mata kecil sayu dengan air mata seketika langsung berbinar sambil merentangkan kedua tangan mungilnya.

"Ma-ma!"

Zahra memeluk Annisa dengan erat, baru tadi pagi mereka bertemu sudah ada rasa rindu sendiri ketika berjauhan. Zahra dapat merasakan tatapan tajam dari seseorang tetapi Zahra sendiri tidak begitu mempedulikannya.

"Kebetulan kamu datang, Ra? Annisa susah sekali dibujuk pulang," sahut Mamah Tari dengan gembira.

"Ayo, Ray kita urus administrasi biar Annisa cepat pulang!" ajak Mamah dan Rayhan mengikuti di belakang menuju ruang administrasi.

Baru juga digendong sebentar, Annisa sudah tertidur pulas di pelukan Zahra. Mungkin efek menangis dan merajuk sebelum dirinya datang.

Suara high heel terdengar jelas di telinga Zahra. Dugaannya benar karena perempuan di pojok ruangan tengah mendekatinya.

"Mbak?" panggilnya pelan tetapi entah mengapa terasa sekali ke telinga Zahra sehingga denyut jantungnya sekarang berdetak lebih cepat.

"Ya," sahut Zahra sambil menatap perempuan dengan rambut pirang dan kulit putih. Wajahnya sangat cantik, belum pakaian yang dipakai menunjang sekali dengan bentuk tubuhnya. Pokoknya jauh berbeda dengan Zahra.

"Bisa setelah ini jangan berdekatan lagi dengan Mas Rayhan?"

Tebakan Zahra tepat karena ia sudah berpikiran seperti itu. Zahra hanya mengangguk lemah karena enggan untuk menanggapinya.

"Saya cuma kasihan saja sama Mas Rayhan yang selalu berharap lebih sedangkan mbak sendiri sudah mempunyai tunangan dan sebentar lagi akan menikah."

Zahra langsung menatap wajah di samping dengan penuh tanda tanya. Ucapan perempuan itu terasa sangat janggal di kedua telinganya.

"Siapa gerangan perempuan ini?"

Untung saja kecanggungan suasana ini bisa diakhiri karena sayup-sayup terdengar suara Mamah dan Rayhan di pintu luar.

"Bagaimana sudah siap pulang sekarang?" tanya Rayhan bersemangat. Zahra hanya mengangguk pelan sambil terus menggendong karena tidak berani membaringkan Annisa takut terbangun lagi.

Suara manja Siska langsung memeluk Mamah.

"Mah, Siska mau langsung ke Bandung. Besok ada seminar para dokter di hotel. Biar tidak telat, Siska mending berangkat sekarang saja."

Mamah mengusap rambut putrinya, baru dua hari di sini tetapi sudah harus kembali bertugas.

"Yakin mau balik sekarang? Sudah pesan travel?" tanya Mamah penuh perhatian.

"Sudah, sekarang lagi nunggu di lobi."

"Masih kurang gak transferan dari Mamah yang kemarin?"

"Masih. Seminggu yang lalu saja Mas Rayhan transfer untuk pendaftaran seminar?"

"Kamu jangan merepotkan kakak kamu terus? Kasihan Rayhan juga sedang banyak pengeluarannya?" nasihat Mamah.

Zahra syok setengah mati, untung saja Annisa masih bertahan di gendongannya.

"Berarti perempuan ini—"

"Ayok Ra, kita ke mobil sekarang!" ajak Rayhan sambil mendorong koper yang berisi pakaian Annisa selama di rumah sakit.

Sambil berjalan menuju tempat parkir, ia menyesal karena pernah berpikiran yang tidak-tidak tentang Siska yang notabene adalah adik kandung Rayhan. Pantas saja ia menginginkan agar dirinya menjauhi Rayhan.

"Ada masalah? Kok seperti melamun gitu?"

Gelagat Zahra mengundang kecurigaan Rayhan saat menyetir mobil.

"Perempuan yang tadi itu?"

"Perempuan yang mana?"

"Yang di rumah sakit?"

"Siska. Adik Mas. Memang kenapa?"

Zahra menggeleng cepat. Penuturan Rayhan sudah menjawab teka-teki selama ini. Sepertinya sesampai rumah, Zahra harus banyak-banyak istighfar karena sudah berpikiran buruk tentang Siska.

"Kamu cemburu? Dikira Siska itu pacar aku gitu?" tanya Rayhan sambil menahan ketawa.

Pertanyaan Rayhan telak langsung membuat wajah Zahra memerah. Ia langsung menggeleng cepat-cepat, Rayhan tidak boleh tahu isi hatinya.

"Enggak kok?"

"Lagian kamu kok bisa berpikiran seperti itu? Bukankah kalian pernah bertemu sekejap di rumah? Harusnya kamu tanya jangan berpikiran negatif dulu."

"Siapa yang berpikiran negatif," elak Zahra sambil menahan wajahnya agar tidak terlihat seperti berbohong tetapi sepertinya percuma karena Rayhan bolak-balik menahan senyumnya.

"Mas tidak gampang menaruh hati untuk seorang perempuan. Melupakan kamu saja masih sulit."

Ucapan Rayhan barusan malah menjadi Boomerang untuk Zahra.

"Sudah jalan saja, tidak usah bicara masalah hati. Panjang nantinya," elak Zahra.

"Kalau panjang akhirnya bersatu enggak masalah. Sudah panjang tetapi gagal memiliki sama saja bohong," ucap Rayhan lirih.

Mereka sempat saling bertatapan namun Zahra segera mengalihkan pandangannya dengan mengusap kening Annisa. Suhu badannya belum begitu normal.

Sesampai rumah Rayhan, Zahra langsung menidurkan Annisa di kamarnya, untung saja masih nyenyak sehingga ia langsung bisa berpamitan.

"Loh, kok cepet-cepet pulang?" tanya Mamah sambil membuka kotak makanan.

"Iya, sebentar lagi Maghrib."

"Enggak makan dulu?" tanya Mamah kecewa.

"Insyaallah, kapan-kapan saja."

"Oke," jawab Mamah pasrah.

"Ra, coba deh kamu mundur dulu ke belakang!" perintah Mamah sambil mengamati tubuh Zahra.

"Memang kenapa, Mah?" tanya Zahra penasaran. Ia sempat menatap Rayhan yang juga sedang menatapnya. Rayhan hanya bergeming, ia paham maksud Mamah.

"Oke. Coba berputar!" perintah Mamah sekali lagi sehingga Zahra mengikuti perintah Mamah dengan hati bertanya-tanya.

"Sudahlah, Mah. Nanti Zahra kemalaman," ucap Rayhan dengan wajah yang sangat kesal.

"Oke. Jangan sungkan main ke sini walaupun kamu tidak ada hubungan apa-apa sama Rayhan. Ajak juga calon kamu main ke sini untuk menyambung silaturahmi."

Rayhan tambah meradang dengan ucapan Mamahnya, ia bergegas ke depan menuju mobilnya.

🌷🌷🌷🌷

Suasana mobil lagi-lagi sangat kaku gara-gara ucapan Mamah barusan. Setengah perjalanan baru Rayhan memulai ucapannya.

"Terima kasih," ucap Rayhan singkat.

Zahra melirik sekilas seseorang yang sedang fokus menyetir.

"Terima kasih untuk apa?"

"Sudah menyempatkan waktunya untuk Annisa."

"Dia juga keponakan aku, patut aku menengoknya," seloroh Zahra sambil memalingkan wajahnya. Sengaja ia membuka kaca jendela agar angin sore menyapu wajahnya.

"Kamu mau Mas antar ke rumah atau ketemu sama tunangan kamu?"

"Ke proyek saja. Aku harus ketemu sama Mas Reza, takutnya dia salah paham kejadian tadi sore."

Rayhan mengangguk.

"Boleh bertanya untuk terakhir?" Wajah Rayhan sekarang terlihat sangat serius.

"Tentang apa?" Lagi-lagi Zahra penasaran karena laki-laki ini selalu bertanya dengan kalimat yang sangat menggantung. Apalagi suasana semakin kaku seperti ini.

"Tentang kita."

"Kita?" Zahra semakin penasaran.

"Mau menjadi istri aku dan Mama buat Annisa?"

Waktu seakan berhenti berputar. Tenggorokan Zahra seketika mengering, ia bingung menjawab pertanyaan ini. Entah sudah yang ke berapa kalinya. Padahal jelas-jelas Rayhan paham jika Zahra akan menikah dengan Reza.

"Em.... Ak-aku—"

"Mas sudah tahu jawabannya kok," jawab Rayhan tertawa terbahak-bahak. Zahra mendengkus, hampir saja jantungnya copot. Ia menyeka keringat dingin yang tadi bermunculan karena efek kaget.

"Persiapan pernikahan sudah sampai mana?" tanya Rayhan masih dengan nada yang sangat kaku.

"Belum sama sekali."

"Loh kenapa? Harusnya kamu sudah mempersiapkan gedung, undangan dan catering."

"Waktu bertemu Mas Reza sangat susah. Lagian juga akad sama resepsi diadakan di rumah saja. Tamu juga kalangan keluarga dan teman-teman saja."

"Pernikahan itu sekali seumur hidup, biasanya perempuan suka yang glamor dan mewah. Dulu Nisa saja kurang beberapa bulan sudah sibuk kesana kemari."

Hati Zahra berdesir ketika Rayhan mengucapkan nama itu.

"Aku mau yang biasa saja. Sederhana yang penting sakral."

"Kalau mau, pakai saja lobi di hotel. Tinggal kamu bilang saja tanggalnya nanti disiapkan sama pihak hotel."

"Eh, enggak usah," tolak Zahra semakin tidak enak.

"Tidak apa-apa. Malah nanti lebih gampang karena Mamah yang akan mengusahakan baju pengantin kamu, kebetulan pihak hotel juga menyediakan jasa rias juga."

"Hah? Mamah mau buatin baju pengantin?" Zahra menutup mulutnya karena syok.

"Dari pertama Mamah mengenal kamu sudah berencana seperti itu karena yakin banget jika kamu akan menikah dengan Mas."

Zahra buru-buru mengalihkan perhatiannya. Ia tidak kembali terjebak dalam rasa yang sama. Bayang-bayang Reza kembali lagi ia ingat-ingat walaupun sangat susah untuk memunculkannya.

"Resepsi pernikahan tetep di rumah saja."

"Kamu mau sekali lagi mengecewakan keinginan Mas dan Mamah? Setidaknya kalau kamu masih tetep menolak mas tapi jangan menghindar bantuan dari kami, Ra?"

Zahra semakin terpojok, ia menutup matanya sekejab berharap ini adalah mimpi.
Untung saja, mobil sudah berhenti di depan proyek yang masih ramai karena masih banyak orang-orang yang bekerja di sana.

"Zahra?" panggil Rayhan sangat lirih.

"Ya," sahut Zahra menghentikan membuka mobil.

"Mas tidak akan mengganggu atau menghubungi kamu lagi. Semoga lancar sampai pernikahan. Selang beberapa hari pernikahan, tolong segera kasih kabar karena Mas sendiri yang akan mempersiapkan pernikahan kamu."

Zahra menatap semburat rasa kecewa di kedua mata Rayhan. Entah mengapa hati Zahra sangat sakit mendapatkan doa seperti itu.

"Jaga diri baik-baik."

Tanpa berkata-kata lagi Zahra buru-buru membuka pintu mobil dan segera pergi karena air mata ini tak boleh jatuh di depan Rayhan.


Mampir juga ke cerita author yang lain ya, masih anget baru publish. Insyaallah akan update tiap dua hari sekali. Jangan lupa mampir ya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro