🥀Salah sambung🥀

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Allah punya cara tersendiri untuk mengabulkan doa, bahkan di saat kita sudah lelah untuk meminta~

***
Pilihan Zahra by Galuch Fema

Hari ini, perempuan yang masih memakai pakaian kerja memilih untuk menghadiri pernikahan teman selepas pulang kerja. Di sana nantinya akan bertemu dengan teman saat-saat masa kuliah. Hampir semuanya berdatangan dengan pasangan bahkan bersama buah hatinya.

Sebagian dari mereka banyak menyindir Zahra karena selalu datang sendirian.

Calonnya mana? Kok sendirian terus? Kapan sebar undangan?

Awalnya Zahra biasa saja menanggapi pertanyaan mereka, tapi lama-lama risih juga. Memang tinggal dirinya saja yang belum menikah. Akhirnya perempuan yang wajahnya sudah merah padam menahan malu memilih pamitan dengan alasan harus secepatnya pulang ke rumah.

Ketika sampai di depan rumah, pandangan Zahra tertuju pada sebuah mobil warna hitam yang terparkir di halaman. Zahra mengedarkan pandangannya barangkali mobil tersebut milik dari tamu yang sedang berkunjung ke rumah tetangganya. Namun, hampir semua rumah dalam keadaan tertutup, yang ada rumah orangtuanya yang terbuka menandakan ada seseorang di sana.

"Apa mungkin tamu bapak? Tapi teman-teman bapak tidak ada yang memakai mobil semewah ini?"

Dengan langkah pelan, Zahra menuju ke dalam rumah dengan hati yang masih diliputi rasa penasaran. Kedua netra Zahra terbelalak kaget ketika melihat kedua orang tuanya sedang berbincang-bincang dengan seseorang. Perempuan itu bisa menangkap jika raut wajah laki-laki yang duduk di sana wajahnya berseri-seri menatap kehadiran Zahra. Buru-buru perempuan itu mengalihkan tatapan laki-laki itu dan segera duduk di samping orang tuanya.

"Kok bisa Mas di sini?" Zahra terus menatap laki-laki itu yang terus memberikan senyum kepadanya.

"Eh Nak, kalau masuk mbok ucapin salam terlebih dahulu!" Ibu mengingatkan kepada putrinya untuk bersikap lebih sopan.

"Iya maaf, lupa," cicit Zahra tersipu malu menyadari kekhilafannya.

Zahra menatap sekilas laki-laki di depan yang terus senyum-senyum ketika dirinya sedang diperingatkan oleh Ibunya.

"Tumben pulang malam? Kasihan tamu kamu dari tadi nungguin lama," ucap Ibu membela laki- laki di depan.

"Habis kondangan ke nikahan teman. Sepulang kerja tadi langsung ke sana daripada bolak-balik ke rumah karena takut pulang kemalaman lagi," sahut Zahra sambil menatap sekilas laki-laki di depan yang masih terus memperhatikan dirinya.

"Kamu kondangan terus. Kapan gantian kamu yang jadi pengantinnya?" sindir Ibu sambil tersenyum ke arah tamu.

Skakmat!!!

Enggak teman kampus saja, di rumah Ibu juga melontarkan pertanyaan yang sama. Lagi-lagi wajah Zahra bersemu merah karena menahan malu. Mungkin saja sudah sangat merah seperti udang rebus.

Zahra merutuki ucapan Ibunya dalam hati. Seharusnya Ibu melihat kondisi, di situ kan ada Rayhan, orang yang baru ia kenal.

"Ayuk Pak kita ke dalam. Nak Rayhan mau ada perlu sama Zahra," ajak Ibu kepada Bapak untuk masuk ke ruang tengah. Memberi waktu kepada Zahra dan Rayhan agar mereka leluasa bicara berdua.

Dan akhirnya tinggal Rayhan dan Zahra di ruang tamu.

"Ada perlu apa Mas Rayhan datang ke rumah saya?" tanya Zahra dengan suara yang lebih rendah. Kepalanya bolak-balik menoleh ke arah orang tuanya yang berada di ruang keluarga.

"Aku datang cuma mau minta nomor telepon kamu. Semalam lupa," ucap Rayhan dengan percaya diri.

"Untuk apa?" tanya Zahra penasaran. Perempuan ini paling tidak suka jika ada orang asing meminta nomor telepon pribadi.

"Kalau ada yang penting kan saya bisa menghubungi kamu. Jadi Mas tidak perlu repot-repot datang ke sini."

"Kita kan tidak ada urusan lagi. Apa nomor Zahra sangat penting buat Mas Rayhan?" tanya Zahra dengan lugu.

"Bagi saya itu penting sekali. Ya sudah, jika kamu tidak mau memberikan nomor telepon, saya tidak akan pulang," ancam Rayhan sambil menahan senyum melihat perempuan yang di depan sangat ketakutan. Ia mengira ini sungguhan.

"Ini orang pakai ngancem segala," gumam Zahra lirih sambil menoleh ke samping.

"Saya dengar loh, Ra," sahut Rayhan sambil melirik ke arah Zahra.

Zahra cukup lama berpikir, ada rasa keberatan sendiri jika harus menyerahkan nomor ponsel kepada laki-laki yang baru ia kenal.

"Ya sudah. Ini nomornya," ucap Zahra sambil menyebutkan deretan nomor telepon. Dan Rayhan langsung mencatat di smartphone dia.

"Itu kan merek ponsel mahal, apalagi dilihat dari typenya. Gaji enam bulan baru bisa kebeli itu smartphone."

"Oke Terima kasih.Aku pulang dalu ya? Salam buat Bapak Ibu. Langsung istirahat ya. Tunggu telepon saya nanti malam," kata Rayhan sambil tersenyum karena sudah mendapatkan apa yang ia inginkan.

"Selamat! Sayangnya itu bukan nomor aku. Sinta maaf ya? Sengaja nomor yang aku berikan itu nomor kamu," ucap Zahra sambil tertawa cekikikan masuk ke dalam kamarnya.

🍃 🍃 🍃


Pagi harinya sesampai di kantor, Zahra langsung disemprot habis-habisan sama sahabatnya. Sinta sudah menghadang Zahra di depan pintu kantor. Dengan muka masam dan tangan di pinggang, sudah seperti orang yang mau mengajak berantem. Zahra sudah menduga kalau sahabatnya akan marah kepada dirinya.

"Ra, kenapa kamu kasih nomor telepon aku ke cowok?" tanya Sinta sambil marah-marah.

"Habis ada orang maksa minta nomor telepon aku, akhirnya nomor kamu yang aku berikan," ucap Zahra jujur sambil tertawa cekikikan.

"Kenapa kasih nomor aku?kenapa tidak nomor Anton atau nomor Pak satpam ?" protes Sinta merasa tak terima.

"Aku ingatnya kamu," jawab Zahra enteng sambil mengusap rambut sahabatnya yang emosinya masih di ubun-ubun.

"Iih...." kata Sinta memukul pelan tangan sahabatnya yang masih berada di kepalanya. Tangan Sinta diturunkan karena seperti ada yang lengket di rambutnya.

"Kamu habis makan apaan? Kok rambut aku lengket?" tanya Sinta bingung.

"Astagfirullah, aku habis makan gorengan di pos satpam. Di sana enggak ada tisu," ucap Zahra menyadari kesalahannya.

Zahra langsung buru-buru pergi sebelum sahabatnya mengamuk.

"ZAHRA!!!!" pekik Sinta sambil mengejar sahabatnya.

Setelah suasana perang sudah cujup reda, Zahra menuju meja Sinta yang sudah bertumpuk dokumen di depannya.

"Semalam ngobrol apa saja dia?" tanya Zahra sambil mengambil sepotong coklat di atas meja Sinta.

"Ya intinya aku dikira kamu. Sudah ngomong panjang kali lebar ternyata salah orang."

"Terus kamu ngomong jika kamu sahabat aku?"

"Enggak. Aku saja tidak kenal siapa yang menelepon. Sebelumnya aku juga tidak tahu kalau kamu yang kasih nomor telepon. Jahat banget sih kamu Ra?"

"Kamu tidak kasih nomor aku kan?" balas Zahra penasaran.

"Emang aku sama seperti kamu apa? Suka kasih nomor sembarangan tanpa izin yang punya?" sindir Sinta sambil sewot bin manyun.

"Maaf deh."

"Dia sebenarnya siapa?" tanya Sinta penasaran.

"Yang nolong aku pas motor bocor."

"Oh yang kamu ceritain kemarin? Kasihan amat, dia sudah nolongin tapi kamu malah seperti itu. Sepertinya dia sangat marah. Langsung tutup telepon saja semalam."

"Sudah biarkan saja."

"Tega kamu Ra."

"Biarin saja," elak Zahra dengan enteng.

"Aku sumpahin kamu jadian sama itu orang. Kalau enggak kamu jadi bini kedua," sahut Sinta dengan sewot karena sangat kesal mengingat peristiwa semalam karena lagi enak-enaknya istirahat malah ada telepon salah sambung.

Pet!!!!

Selesai sumpah ucapan Sinta tiba-tiba langsung mati lampu sehingga membuat mereka kaget dan terkejut.

"Cabut tuh sumpah kamu. Jadi mati lampu kan?" sahut Zahra ketakutan sambil menggoyangkan lengan sahabatnya.

"Bodo amat."

"Nanti aku traktir deh makan siangnya," rayu Zahra masih dengan irama jantung seperti orang berlari kencang.

"Serius?" ucap Sinta dengan mata berbinar-binar karena cahaya lampu sudah menyala kembali.

Zahra mengangguk sambil melangkah menuju mejanya. Entah mengapa sumpah Sinta membuat dirinya bergidik ngeri.

"Amit-amit jadi bini kedua."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro