≧ I Will - Mitski

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

2/2

I Will - Mitski

Story by sachandez

Persona 5 Protagonist (Kurusu Akira) x Akechi Goro. Persona 5/Persona 5 Royal © Atlus

.

.

.

[]

I will take good care of you.
I will take good care of you.
Everything you feel is good.
If you would only let you.

Tepat ketika Akechi menyentuh gagang pintu, Akira mendadak tak dapat mengendalikan tubuhnya. Kepalanya penuh, terlalu penuh, barangkali saja otaknya juga sudah habis daya (tentu, beribu terima kasih kepada Maruki untuk itu). Ia tak dapat berpikir, dan merasakan keinginan membludak dalam hatinya, menginvasi jantungnya yang berdegup dengan panik. Dan ketika Akira mengerjap, kembali merasakan sepasang kakinya menjajak lantai Leblanc, ia bertemu tatap dengan sepasang mata yang selama ini mencuri kewarasannya.

Ah, sudah berapa kali ia memuja sepasang mata itu? Sepasang mata yang selalu memenuhi mimpinya, sepasang mata yang hampir merebut jiwanya, dan sepasang mata yang Akira puja dalam diam, di balik semua kisah permusuhan di masa lalu.

"Kurusu."

Lagi-lagi Akira mengerjap, dalam benak mengutuk diri sebab melayang begitu cepat. Tapi siapa yang dapat disalahkan, ketika yang kau tatap adalah Akechi Goro? Dengan wajah indahnya dan rambut coklatnya yang terlihat lembut, dipadukan dengan syal merahnya, serta sepasang mata indah yang menyimpan banyak kelelahan. Akira ingin menjaganya, menjaganya dari semua tangan-tangan yang berusaha merebut Akechi darinya.

Ketika Akira kembali menatap, ia masih dihadapkan dengan tatapan tajam Akechi. Saat itulah ia baru menyadari, salah satu tangannya telah bergerak menangkap pergelangan tangan pihak lain.

Oh.

Itu hangat. Akira merasakan keinginan di hatinya menyala kembali dengan cepat.

Akechi masih menatapnya, seolah-olah berusaha membaca pikirannya, seperti di waktu lalu dimana mereka masih terlalu akrab untuk dapat disebut teman dan rival. Bibirnya masih membentuk garis lurus, sementara tatapannya berubah menjadi amarah.

Nah, Akira benar-benar memuja tatapan yang ditujukan kepadanya.

"Dan bolehkah aku tahu, apa maksudmu Kurusu?" Dengan alis menukik, Akechi mengisyaratkan dengan sepasang matanya ke genggaman tangan Akira pada pergelangan tangan pihak lain. Namun Akechi tak menepisnya, dan Akira benar-benar bersyukur untuk yang satu itu.

Sebelum Akira dapat memikirkan jawaban, mulutnya sudah terlebih dahulu mengucap. "Bisakah kau tetap tinggal, hanya untuk malam ini?" Dan ketika ia menyadari apa yang baru saja ia ucapakan, Akira buru-buru menambahkan, "Kumohon, Akechi."

Kali ini ia menemukan Akechi terdiam. Untuk waktu yang cukup lama, ia menunggu respon Akechi dengan jantung yang berdegup kencang. Rasa panik merambat dalam diam, Akira meneguk salivanya, mengeratkan genggaman tangannya dengan perlahan. Kepalanya semakin berisik, meskipun ia berusaha mengabaikan semua kebisingan itu.

Kumohon, Akechi. Aku akan merawatmu, menjagamu, memberikanmu semua kasih sayang yang perlu kau dapatkan. Hanya untuk malam ini, biarkan aku melakukan semua itu. Kumohon—

"—jangan tinggalkan aku."

Ia dapat merasakan panas di sepasang matanya, dan perlahan-lahan runtuhlah semua emosi yang selalu ia pendam. Air mata mendadak mengalir dengan deras, dan Akira merasakan sesak yang merambat di dadanya. Keinginan dan ketakutan merangkak kembali menuju hatinya, mencoba melahap semua dinding yang ia buat.

Ia tak ingin Akechi kembali pergi, lagi.

Ketakutan yang ia rasakan di ruang mesin masih terasa jelas, dimana pertama kalinya Akechi menunjukkan semua rahasianya kepadanya, dan dimana itu juga membuat Akira kehilangannya. Ketakutan yang melahap seluruh isi kepalanya, ketakutan yang dimanfaatkan Maruki untuk membantunya, ketakutan kehilangan kembali sosok yang ia cintai untuk waktu yang cukup lama.

Akira tak mengerti. Ia tak mengerti, kenapa semua beban jatuh kepadanya. Menjadi pemimpin Phantom Thieves, tak pernah ia inginkan. Ia tak mengerti, mengapa ia dipaksa menanggung semua beban itu, dan pada akhirnya bahkan kehilangan orang yang ia cintai.

Ia tak tahu sudah menangis berapa lama, tak peduli bahkan. Yang Akira tahu, ia hanya ingin Akechi Goro di sisinya, tak akan pernah meninggalkannya lagi.

Dan hal itu terjadi tiba-tiba, Akira belum sempat memproses ketika merasakan sepasang tangan yang menarik lengannya dengan kasar, dan kemudian diikuti dengan bibir lembut yang selama ini ia puja, menempel dengan hangat.

Akira dapat merasakan jawaban Akechi dalam kehangatan itu. Ia membalas dalam diam, dengan menggerakkan lengannya untuk memeluk Akechi, tak ingin membiarkan ia pergi lagi.

Di ujung salah satu meja Leblanc, Akira menemukan Morgana menatap dalam diam. Keduanya bertatapan sejenak, sebelum kucing itu mengangguk singkat. Akira memperhatikannya berjalan menaiki tangga dengan hati-hati, barangkali akan melompat keluar dari jendela untuk memberikan keduanya privasi.

Akira berharap, malam tak akan pernah berhenti.

.

I will wash your hair at night.
And dry it off with care.
I will see your body bare.
And still i will live here.

Pernah suatu kali di waktu lalu, Akechi datang kepadanya dengan tubuh yang basah kuyup. Hari itu cuaca benar-benar tak bersahabat, rintik-rintik air mengguyur deras, sementara angin benar-benar berhembus kencang. Sojiro memutuskan akan menutup Leblanc lebih awal, Akira merasakan kekhawatirannya pada Futaba yang terlihat jelas. Ia hanya mengangguk, ketika diberikan perintah untuk mengunci pintu.

Namun ketika Sojiro pamit dan membuka pintu untuk cepat-cepat pulang, keduanya tiba-tiba dikejutkan oleh kehadiran Akechi yang berdiri dengan seluruh tubuhnya yang basah sepenuhnya. Akira menatap penampilan Detective Prince yang berantakan dan jauh dari biasanya, merasakan rasa gatal yang menggaruk sudut hatinya.

Jauh di dalam benak ia berbisik, menggemaskan, seperti kucing.

Akechi menatap keduanya dengan gugup. Akira memperhatikan salah satu tangannya, yang bergerak menyelipkan helai rambutnya ke telinga dengan canggung. Sebelum ia dapat mengucapkan permintaan maaf terlalu formalnya yang biasa, Sojiro terlebih dahulu menyuruhnya masuk, dan menatap Akira dalam diam. Akira mengangguk, merasakan telepati Sojiro, dan membawakan Akechi handuk.

Akechi memberinya terima kasih, sebelum mengeringkan rambutnya dengan hati-hati. Akira menatap lamat-lamat seraya membuatkan kopi. Akechi menggosok rambutnya dengan perlahan, helai-helai coklatnya terlihat basah, namun tetap indah di bawah sinar lampu. Akira merasakan kedua tangannya yang gatal, menahan keinginan untuk tidak menyentuh helai-helai coklat yang jatuh menutupi wajah.

Saat itulah ia benar-benar menyesal. Mengapa tidak menawarkan dirinya untuk mengeringkan rambut pihak lain, daripada langsung memberinya handuk?

Mengingat hal itu, Akira menghela napas. Ia menatap layar ponselnya, berusaha untuk tidak berbalik, dimana Akechi mengganti pakaiannya dengan miliknya. Akira berusaha fokus pada pesan baru dari kawan-kawannya, mengabaikan suara kain yang bergesekan, serta pakaian yang jatuh ke lantai.

Sayang sekali, sudah terlalu larut untuk pergi ke bathhouse. Akira ingin membersihkan rambut indah Akechi, atau mengeringkannya dengan handuk, atau lebih-lebih memanjakannya dengan pijatan selama mereka berendam. Namun ia juga mengerti, keduanya terlalu lelah hanya untuk membersihkan diri. Sepasang matanya bahkan masih memerah hingga sekarang, meskipun Akira telah mencuci mukanya semenjak tadi.

"Kurusu."

Akira mengerjap, ah lagi-lagi ia melayang. Dengan cepat ia berbalik, menemukan Akechi yang berdiri dengan pakaiannya. Berusaha mengabaikan jantungnya yang lagi-lagi berdegup kencang dengan memuja, Akira mengambil pakaian Akechi dan memasukkannya ke keranjang di sudut ruangan.

Ketika Akira kembali, ia menemukan Akechi duduk di tepi kasurnya. Tatapan diarahkan kepadanya, membuat jantung Akira lagi-lagi berdegup kencang dengan memuja. Semenjak kejadian beberapa menit lalu, masih belum ada yang memulai pembicaraan lagi di antara keduanya.

Tanpa sadar Akira menggerakkan tangannya, memainkan helai-helai rambut depannya dengan gugup. Tetapi sebelum ia dapat berbicara apapun atau memikirkan topik pembicaraan, ia merasakan jari-jari yang melingkari lengannya, kemudian tarikan mendadak, serta kehangatan familiar yang menempel.

Ah, Akira mencintainya.

Akira menyerap kehangatan itu, seolah ia tak akan pernah puas. Kehangatan itu terlalu candu, mencuri kewarasannya, dan membuat keinginan menyala kembali di hatinya. Ia ingin menjaga kehangatan itu tetap tinggal di sini, tepat di pelukan Akira untuk selamanya.

Ya, selamanya.

Ketika Akira menarik diri, ia bertemu dengan sepasang mata indah milik Akechi dan wajah yang penuh merah menggemaskan. Akechi Goro terlalu indah, Akira ingin menyimpan semua keindahan itu di sisinya, hanya miliknya.

Akira sudah lebur sepenuhnya, pada keindahan Akechi Goro dari semenjak pertemuan pertama mereka. Dan ia sama sekali tak masalah, untuk jatuh lebih dalam lagi.

Ia merasakan tarikan di helai-helai rambut belakangnya, dan kali ini ia disapa oleh tatapan tajam.

Akira merasakan tiga kata, yang menempel lekat di ujung lidahnya.

Tetapi belum sempat ia membuka mulut, lagi-lagi ia ditarik kembali untuk merasakan kehangatan. Hampir mabuk dengan semua kehangatan yang diberikan, namun segera bertanya-tanya ketika tiba-tiba ia bertemu dengan udara dingin.

"Akira."

Itu benar-benar kejutan mendadak.

Akira terpaku, dan barangkali juga terpukau. Ia dapat merasakan jantungnya yang berdegup terlalu kencang, meneriakkan nama Akechi dengan kecepatan tak terhingga. Seolah suara Akechi yang memanggil namanya terputar berulang-ulang di telinganya, panas pun merambat di wajahnya. Akira menatap, menatap, menatap dengan penuh cinta.

Tanpa menyadari ia membiarkan sebuah nama yang meluncur di mulutnya, alih-alih tiga kata yang masih tertahan.

"Goro."

Keduanya saling menatap sejenak. Dengan pemahaman diam-diam, kembali saling menukarkan kehangatan, serta perasaan dalam tiga kata yang masih terkurung di ujung tenggorokan.

Akira merasakan pahit dan manis, yang menjadi satu dalam hatinya. Mengabaikan kebisingan di kepalanya, ia mengenggam tangan Goro, merasakan jari jemarinya yang menyatu dengan miliknya. Perlahan, ia menarik Goro ke pelukannya, merasakan lega kala mendengar jantung pihak lain yang sama berdegupnya.

So stay with me.
Hold my hand.
There's no need.
To be brave.

.

Cause' all I ever wanted is here.
All I ever wanted.
All I want is.

Akira tak mengerti. Ia tak mengerti mengapa semua yang tidak ia inginkan dijejalkan ke hidupnya. Seolah-olah semesta mempermainkannya, dan dengan seenaknya mengecapnya sebagai pendosa, memberinya semua siksaan yang mencuri kewarasannya.

Sering ia ingin tak peduli dengan semuanya, dengan semua kacaunya dunia ini. Ia ingin menjadi egois, mengejar semua apa yang ia inginkan, menangkap semua apa yang ia inginkan untuk dikurung ke dalam pelukannya.

Ia tak ingin menjadi pemimpin Phantom Thieves. Tak ingin membawa semua beban yang mendadak dilimpahkan semua orang kepadanya. Ia tak ingin membawa beban sebagai seorang berandalan, namun Shido Masayoshi menjejalkan label itu kepadanya. Ia tak ingin menjadi wildcard, ataupun semua omong kosong metaverse itu. Ia tak ingin berurusan dengan Yaldabaoth ataupun hal-hal lainnya. Oh persetan, jauh di dalam hatinya ia bahkan tak peduli dengan semua urusan itu.

Apakah sesulit itu, jika ia hanya menginginkan untuk hidup damai? Dan barangkali, berkencan bersama rivalnya -yang karena semua omong kosong itu- tidak dapat ia gapai?

Sungguh. Jauh di dalam hatinya, dimana semua pemikiran gelapnya tersimpan rapat-rapat, Akira hanya peduli pada Goro. Ia hanya peduli pada Goro, bukan siapapun, hanya Goro, dan mungkin baru saat itu Mona dan kawan-kawannya.

Namun semesta seolah tidak memberinya pilihan, dan hanya memaksakan tangan-tangan mereka untuk jawaban yang bahkan tak mau Akira terima. Seolah-olah Akira hanya sebuah boneka percobaan, dan bukanlah seorang manusia yang dapat merasakan emosi.

Lebih buruk lagi, terapis sekolahnya memanfaatkan itu semua untuk mempermainkannya. Lebih memuakkan lagi, Akira sempat terlena oleh realitas palsu yang dijejalkan Maruki kepadanya.

Akira hanya ingin mendekam dalam realitas yang diberikan Maruki, sebab seseorang yang hanya dipedulikannya berdiri di sini, tinggal di sini. Ia tak ingin apapun, siapapun, ia hanya ingin Goro. Ia tak ingin menjadi pahlawan atau apapun itu, ia hanya ingin bersama Akechi Goro untuk selamanya, satu-satunya orang yang hanya ia puja dan berikan cintanya.

Tetapi Akira mengerti, Goro tak akan pernah menyetujuinya. Meskipun pemikiran gelapnya memberontak di tempatnya, Akira tentu tahu ia tak dapat menyangkal apa yang dikatakan Goro. Setiap menatap tatapan kosong yang ditujukan kepadanya, rasanya seolah-olah jantungnya telah dihantam batu es, dan Akira tidak menginginkannya. Meskipun ketakutan ditinggalkan merangkak dan merayunya, mendukung semua pemikiran gelapnya, tetapi Akira tak bisa.

Dan seolah membaca pemikiran yang ia simpan rapat-rapat, Goro mengatakan semua itu kepadanya.

Dia benar.

Goro sudah terlalu lelah dimanipulasi.

Akan jadi apa Akira, jika membuatnya tak dapat bahagia? Ia tak ingin menangkap tatapan itu lagi, ia menemukan dirinya tak menginginkan hal itu, meskipun di sisi lain ia menyimpan rapat-rapat pemikiran sebaliknya.

Jika Goro dapat bahagia ... tetapi aku juga tak ingin ia meninggalkanku.

Tiba-tiba Akira merasakan rasa sakit di punggungnya, agak menyakitkan sehingga membuatnya keluar dari isi kepalanya. Ketika ia mengerjap, ia menangkap sepasang mata yang menatapnya dengan kesal, Akira tak dapat menahan untuk menarik sudut bibirnya, melihat tatapan yang ditujukan kepadanya. Ah, lagi-lagi dia melayang.

Akira meneguk semua emosi yang tercerai-berai, sebelum kembali terjun bersama sayap-sayap gagak yang telah menunggunya.

Always you.
It's always you.

.

And we're not out of the tunnel.
I bet you though there's an end.

"Goro, aku—"

"Jangan. Katakan itu ... ketika kau menemukanku lagi."

"Menurutmu, apakah akan ada kesempatan itu?"

Goro tertawa kasar, sebelum memberinya seringai. "Entahlah, Akira. Bagaimana jika kita bertaruh?"

"Bertaruh?"

"Jika kau dapat menemukan aku setelah kita keluar dari dunia menjijikkan ini, aku akan mengucapkan itu."

"Dan jika tidak—"

"Kau sudah tahu jawabannya, Kurusu."

Akira menariknya kembali ke dalam pelukan, membenamkan wajahnya pada ceruk leher, menghidu seluruh aroma yang selalu mencuri kewarasannya. "Mm."

Stay with me.
Hold my hand.
There's no need.
To be brave.

.

And while you sleep.
I'll be scared.

Akira menatap. Barangkali ia menatap terlalu lekat, namun ia tak peduli. Ada wajah yang terlalu indah untuk diabaikan, dan Akira bertanya-tanya mengapa Tuhan tak memberikan keindahan ini kepadanya dengan sukarela.

Akira menghela napas, merasakan semua emosi yang ia teguk dan pendam, kembali merangkak ke permukaan. Perlahan-lahan merayap kembali, serta melahap seluruh tubuhnya.

Goro terlihat lembut dalam tidurnya. Wajahnya dipenuhi jejak kelelahan, namun ia terlihat tenang. Terlalu tenang, hingga Akira merasakan ketakutan itu kembali, dan berkali-kali memajukan wajahnya untuk mendengarkan degup jantung Goro, yang menjadi musik terindah di telinganya.

Karena ketakutan yang melahapnya, ia menahan diri untuk tak membangunkan Goro, mengajaknya kembali ke dalam percakapan mereka. Mana tega Akira membangunkannya, setelah percakapan panjang menit lalu. Ia mengerti Goro lelah.

Jadi meskipun ketakutan itu kembali memenuhinya, Akira memutuskan mendistraksi dirinya dengan menatap wajah indah Goro. Tangannya bergerak mengelus pipinya, sebelum kemudian menyelipkan helai-helai coklatnya yang jatuh menutup wajah.

Hanya satu malam.

Satu malam dan esok ....

So by the time you wake.

Dan ketika Goro bangun keesokan harinya ....

Tenggorokannya menyempit, sesak di dadanya lagi-lagi merayap. Akira kembali merasakan panas di sepasang matanya, ketakutan mengobrak-abrik emosinya. Dengan gemetar, ia menarik Goro kembali ke dalam pelukannya. Wajahnya dibenamkan ke dada pihak lain, mendengarkan degup jantungnya seolah itu akan mengusir ketakutannya.

Hanya satu malam.

Satu malam, dan keesokan harinya semua ini akan berakhir.

Akira berusaha menghirup napas sebanyak-banyaknya, menghembuskannya dengan perlahan, tanpa melepas pelukannya pada Goro.

Hanya malam ini, malam ini saja, biarkanlah Akira melepaskan semua emosinya.

Hanya malam ini, biarkan ia hidup dengan damai.

Hanya malam ini, malam ini saja biarkan ia menjadi Kurusu Akira yang mencintai Akechi Goro.

I'll be brave.

Dan esok, esok ia akan kembali. Kembali menjadi pemimpin Phantom Thieves, dengan semua emosi yang kembali dipaksa untuk dikurung rapat-rapat. Berperan sebagai pahlawan untuk menyelamatkan dunia, meskipun ia kehilangan seseorang, tetapi ia tetap melangkah.

Akira menutup sepasang matanya, merasakan napasnya yang kembali beraturan. Semakin mengeratkan pelukannya pada Goro, tak ingin membiarkannya pergi, ataupun membiarkan seseorang mencuri darinya.

I'll be brave.

Tiba-tiba ia dapat merasakan sesuatu yang lembut menabrak sisi kanan wajahnya. Tanpa perlu membuka mata, Akira mengetahui bahwa Mona telah kembali.

Tentu itu benar, sebab setelah itu ia dapat mendengar suara Mona, tepat di atas kepalanya dan Goro. Barangkali kucing itu kini berusaha menyelipkan diri di antara mereka, mencari kenyamanan dan kehagatan.

"Joker?"

"Aku tak apa Mona."

Ia mendengar suara pemahaman Mona, kemudian tak lama diikuti dengan dengkuran.

Akira berharap esok tak akan pernah datang. Pagi tak akan pernah ada, dan malam tetap berjalan dengan Goro di pelukannya, bersama Mona di sisinya.

I'll be brave.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro