≧ It's Not My Fault - MILGRAM Mu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Salahmu
It's Not My Fault - MILGRAM MU

Story written by NikishimaKumiko

Onigasaki Kaikoku × OC
School Alternative Universe

Nakanohito Genome © Osora

.
.
.

Seringai lebar terpampang di wajah gadis berambut biru muda itu. Napasnya terengah-engah, keringat dingin mengalir hebat, serta iris sapphire yang membulat sempurna. Tetes demi tetes cairan berwarna merah jatuh dari benda tajam tersebut. Tawa lolos dari mulutnya. Ia berseru dengan keras.

"Bukankah aku perlu untuk selalu dikasihani?!"

.
.
.

Ditempatkan pada kelas yang bermasalah bukan menjadi masalah bagi gadis berambut biru muda itu. Ia disayangi oleh kedua orang tuanya, begitu pula teman-teman kelasnya. Seharusnya begitu. Lantas, mengapa pemuda di hadapan dia saat ini menghalangi jalan yang seharusnya ditempuh?

Iris hitam kelam menyipit, mendelik pada tingkah manja sang gadis yang kini tengah tersenyum padanya, "Aku bukanlah bonekamu, Kumiko. Kau tidak bisa untuk terus menyuruhku bermain bersamamu. Bahkan, melakukan apa pun yang kau inginkan."

"Kenapa? Apa kau ketertarikanmu padaku telah hilang? Apa aku berbuat salah padamu? Ah, atau kau perlu sesuatu?" tanya Kumiko pada Kaikoku, mengeryitkan dahi, benar-benar tak mengerti akan perubahan sikap sang pemuda padanya. Padahal, mereka berdua dulu cukup dekat. Seperti yang ia inginkan, seluruh anggota kelas menyayanginya.

Misal saja, Roromori Yuzu yang sering memeluknya, sebagai timbal balik ia memberikan gadis itu sebuah koleksi peralatan sains atau berbagai jenis racun. Iride Akatsuki senang mengelus kepalanya, membuat Kumiko menghadiahkan plushie panda. Bahkan, Oshigiri Zakuro yang girang mengirimkan surat kepadanya karena pemuda itu tak pandai mengobrol dengan gadis, dibalas dengan beragam jenis jamur layak konsumsi oleh dia.

Kalau begitu, apa yang Onigasaki Kaikoku itu inginkan darinya agar ia bisa memberikan afeksi kepadanya?

Knew it, see, I win again.
That will never change.
I’d say the reason’s natural talent?
That’s how everything goes my way.

Kaikoku memalingkan wajah, tenggelam dalam pikirannya untuk sesaat. Katakan saja, ia tidak menyukai cara gadis yang ia sayangi itu dalam mencari kawan, terlihat seperti memanipulasi mereka dengan kekayaan yang dimilikinya. Hubungan seperti itu tak dapat disebut sebagai teman. Lantas, pemuda berambut hitam itu menghela napas panjang dan menggeleng pelan.

Ia tidak ingin interaksi yang penuh akan kebohongan, terutama untuk gadis yang ia sayangi.

"Lupakan. Jangan dekati aku, lagi, sampai kau tahu dimana kesalahanmu. Lagian, kau tidak bisa membeliku dengan uang, Kumikoーtoh, kita sama-sama kaya."

Setelah mengatakan hal tersebut, Kaikoku beranjak pergi meninggalkan kelas, mengabaikan jam masuk berikutnya. Dengan ekspresi kecewa dan tampak ingin meluapkan emosi, gadis berambut biru itu menggigit bibirnya. Menyadari perubahan tingkah Kumiko, gadis berkacamata di sampingnya segera menepuk punggung Kumiko dan berujar, "Jangan pikirkan, KumKum! Mungkin, Kai-san sedang cemburu karena kau dekat dengan banyak orang, bukan?"

"Ah, begitu ya? Hehe, sepertinya Yuzu-senpai benar!" balasnya dengan raut wajah yang kembali ceria. Melihat sosok imut di hadapannya, gadis berkacamata dengan helaian rambut putih itu sontak saja memeluknya erat, membuat Kumiko mengerjap kebingungan. Namun, ia tidak menolak. Selama gadis yang ia panggil sebagai seniorーmeskipun mereka sekelasーitu senang, ia baik-baik saja.

Kumiko pun bergumam, berandai-andai, "Mungkin aku akan memanggil Onigasaki-san lagi ... agar bisa bermain bersamaku. Yah, pokoknya harus. Aku akan mencari tahu, apa yang membuatnya tidak nyaman denganku!"

"Hm, perlukah aku ikut bolos kelas, juga? Kan ada kakakku yang dapat mengurus segalanya!" sahutnya girang, menemukan ide.

I can’t get enough of remaking them all with my slow sting.
If you dare defy me out of jealousy,
If that’s your reply,
You know the consequences, right?

Sekeras apa pun sang gadis mencari cara agar pemuda berambut dan beriris hitam itu kembali dekat pada dia, nihil hasilnya. Menghabiskan waktu dan tenaga, membuat gadis dengan helaian rambut biru muda itu jengah akan tingkah sombong dari Kaikoku.

Ia rela bolos kelas, mencarinya kesana kemari. Kalau begini terus, posisinya akan hilang di mata orang lain, bukan? Nampaknya memang perlu untuk merelakan jika ia tidak searah lagi dengannya.

"Akasaki, kau terlihat sedih. Apa Onigasaki kembali mengganggumu?" tanya pemuda berambut blonde pucat, iris ungu tersebut melemparkan tatapan khawatir. Meskipun begitu, dari nada bicaranya, ia terlihat cukup serius. Mendengar pertanyaan itu, sang gadis hanya membalas dengan senyuman kecil sembari menggeleng pelan.

"Tidak, tak masalah. Onigasaki-san sama sekali tidak menggangguku, kok! Hm, tapi Zakkun mungkin benar ... aku cukup sedih dibuatnya. Ia menghindariku," balas Kumiko, memasang ekspresi memelas, "apa karena aku tidak baik padanya?"

"Mustahil! Anak itu saja yang terlalu buta denganmu!"

Jam istirahat hanya menyisakan mereka berdua di kelas saja. Mereka bahkan tak mengetahui keberadaan yang menjadi topik pembicaraan di dekat pintu. Pemuda berambut hitam tersebut menatap muak pada pemandangan di balik kaca. Ingin sekali ia menarik paksa gadis biru itu, memberi berbagai kalimat sembari memeluknya untuk menyadarkannya.

Namun, Kaikoku memilih untuk mundur. Lain kali, ia akan memberitahunya. Berbicara dengan kepala panas hanya akan membuat dirinya semakin tersudutkan oleh anak kelas yang lain.

Di ujung lorong, iris hijau milik Akatsuki mendapati punggung Kaikoku yang menghilang seiring waktu.

It’s not my fault after all, after all!
I’m sure I’ve made no mistakes you can find.
Gather that nectar,
More and more,
And come bring it to me, ‘kay?

"Kau sudah keterlaluan. Bahkan, sampai membuatku gila seperti ini. Rayuan manis apa yang kau gunakan pada mereka, huh?" tanya Kaikoku, mengulas seringai sembari menyisir helaian rambut hitamnya yang basah dengan jari. Ia melangkah maju, membuat gadis itu berjalan mundur, berusaha menjauhinya. Tetapi, tidak ada lagi ruang untuk menghindarinya.

Mengapa Kaikoku menyalahkannya? Padahal bukan dirinya yang berbuat. Bukan ia yang menyebabkan Kaikoku sampai pada tahap itu; dipukuli, dijahili, mejanya dicoret, bahkan sampai basah seperti ini.

Bukan dirinya!

Tak sekalipun, Kumiko memerintahkan teman sekelasnya untuk melakukan semua itu. Ia hanya diam di balik layar, menonton pertunjukkan yang diberikan padanya. Apa itu salah?

"Onigasaki-san, kau bicara apa? Aku tidak mengerti," balasnya jujur. Namun, Kaikoku nampaknya tak ingin mendengarkan sanggahannya. Wajah Kumiko diangkat oleh jari-jemari yang terasa dingin itu, iris hitam tersebut berkilat marah, "Onigasaki-san?"

"Kau benar-benar tidak mengetahui apa kesalahanmu sampai saat ini, huh? Memanipulasi semuanya agar membuatku diperlakukan seperti ini."

"Aku ... tentu saja, bukan? Aku tidak pernah salah. Bukankah kalian semua yang mengatakan seperti itu padaku?" tanyanya balik. Iris biru itu menyipit tidak suka, menampakkan sifat pembangkangnya secara sekilas.

Sudah Kaikoku duga, gadis itu terlalu dimanjakan, diperlakukan layaknya sebuah putri, meskipun ia tidak pantas mendapatkannya. Jika sesuatu tidak berjalan lancar sesuai keinginannya, maka akan menerima konsekuensi. Kekanakkan dan manis, Kaikoku cukup heran, mengapa ia jatuh ke dalam perangkapnya dengan mudah.

Mendengar pertanyaan tersebut, seringai di wajah sang pemuda tampan kian melebar. Jari-jemari yang gagah itu mengelus perlahan dagu milik Kumiko, membuatnya terpaku karena menahan rasa takut. Kaikoku mengambil vas bunga pertanda orang mati yang diletakkan di mejanya, menyiram gadis berambut biru muda itu.

Kumiko mengerjap, berusaha memproses apa yang tengah terjadi. Saat iris biru tua itu menangkap iris hitam kelam milik Kaikoku, ia jadi tahu, sekarang hanya ada rasa benci yang tersirat di tatapannya.

It’s not my fault after all, after all!
Everyone wants me to be innocent.
What a relief. Can’t be helped.
Since I’m always meant to be pitied-

Waktu kini berputar balik.

Gadis berambut biru muda itu tak berdaya tatkala tengah ditindas; dijauhi oleh seluruh teman sekelasnya, menjadi topik gosip, dan yang lebih parahnya sampai disiram. Mengapa semua orang bersikap seperti itu padanya? Padahal ini bukanlah kesalahan yang ia lakukan.

Terbaring di dekat mejanya dengan baju yang basah. Sementara, iris hitam itu hanya menatap dingin pada sosoknya yang terkulai lemah. Kaikoku ingin menolong gadis yang ia sukai, tetapi di satu sisi, ia ingin memberi pelajaran kepada gadis itu, merasakan apa yang telah ia lalui selama ini.

Saat pemuda bermarga Onigasaki itu ingin beranjak pergi, segera saja Kumiko mengenggam lengannya dengan pelan, membuat ia menoleh.

"Hei, Onigasaki-san ... aku ingin minta maaf. Aku tidak sanggup lagi harus melalui ini semua. Lebih baik, kalian mengucilkanku saja! Jangan ... main fisik seperti ini," pintanya dengan suara sendu dan kecil. Iris biru itu telah kehilangan cahayanya. Badannya bergetar, mungkin karena efek kedinginan.

Melihat penampilan gadis di hadapannya, Kaikoku menghela napas panjang. Lantas, ia mendekati telinga Kumiko, berbisik pelan, "Siapa yang lemah akan tereliminasi, bukan, Kumiko-ojouchan?"

Iris kumiko semakin gelap ketika mendengar kalimat tersebut. Lalu, iris biru itu bergulir, menemukan sebuah pisau cutter di dalam laci mejanya. Sebelum Kaikoku melepaskan diri dari genggaman Kumiko, rasa sakit tiba-tiba saja menjalar pada perutnya.

Kaikoku membelalakkan irisnya, terkejut akan perlawanan Kumiko yang tanpa aba-aba. Darah mengalir hebat, baik pada mulut maupun posisi tubuhnya yang menjadi tusukan. Perlahan, ia melangkah mundur, menggertakan gigi dengan geram.

"Haha, bisa-bisanya aku menyukai gadis gila sepertimu ...."

Bersamaan dengan selesainya perkataan Kaikoku, tenaga yang ia miliki detik demi detik kian menghilang. Kaikoku tumbang, tubuhnya terbaring, bersimbahkan darah.

Seringai lebar terpampang di wajah gadis berambut biru muda itu. Napasnya terengah-engah, keringat dingin mengalir hebat, serta iris sapphire yang membulat sempurna. Tetes demi tetes cairan berwarna merah jatuh dari benda tajam tersebut. Tawa lolos dari mulutnya. Ia berseru dengan keras.

"Bukankah aku perlu untuk selalu dikasihani?!"

Keseimbangannya mulai goyah, pegangan pada cutter itu pun ikut melemah. Lalu, Kumiko menunduk, mengabaikan teriakan Himiko yang baru saja menyaksikan adegan tersebut sembari bergumam, "Itu salahmu, Onigasaki-san ... itu kesalahanmu sendiri. Lihat, bukan?"

It’s not my fault.
It’s not my fault.❞

.
.
.

[END]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro