Di Bawah Mentari

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Note:

Cerita ini Vara buat saat Vara masih SMP alias tahun 2017/2018. Jadi mohon dimaafkan kalo PUEBI, dan kalimatnya tumpang tindih 😭🙏

Kenapa gak direvisi? Ya Vara sengaja gak revisi. Soalnya buat dokumentasi seberapa banyak Vara berkembang hingga saat ini //apazih.

Oke, mangga dibaca (◕ᴗ◕✿)

***

     Aku hanyalah gadis biasa yang sedang memasuki tahun terakhirnya sebagai murid SMP. Benar, aku hanyalah seorang gadis biasa-biasa saja dengan kehidupan yang normal dan nyaris membosankan. Namun, entah mengapa, setahun terakhir kehidupan membosankanku ini menjadi berwarna sejak kehadirannya. Ya, dia datang setahun yang lalu, menemani kehidupan kelabuku dan memberikanku semangat hidup yang baru.

     Hari ini langit tampak mendung; tidak memancarkan kebahagiaan seperti biasanya. Namun, tetap saja, melihatnya dari kejauhan itu sesuatu yang berbeda. Setiap melihat senyumannya, dia terlihat bersinar, bahkan di bawah langit kelabu yang terlihat ingin menangis.

     “Kay? Kenapa melamun?” teguran singkat dari Marina—sahabatku—membangunkanku dari lamunanku yang panjang. Gadis berambut hitam berkuncir kuda itu tampak sedang membenarkan posisi rambutnya agar tidak tertimpa topi. “Langitnya mendung banget ya? Semoga aja sih hujan. Aku malas upacara pagi.”

     Aku mengangguk menyetujui, sebenarnya aku sendiri juga malas upacara bendera pada senin pagi. Selain upacara harus memaksa setiap muridnya berdiri di tengah lapangan selama setengah jam—ditambah amanat pembina upacara—kami juga pasti akan dimintai melakukan opsi pagi yang menurut kami—seluruh murid—merepotkan.

     Suara nyaring mendengung yang memekakkan telinga membuat seluruh murid sontak menutup telinganya—atau menyelamatkan telinganya agar tidak tuli. Aku menoleh, menatap ketua osis yang kini berdiri di samping tiang bendera yang sedang menggenggam mic crofon di tangannya, terlihat siap mengumumkan sesuatu.

     “Baiklah, untuk seluruh peserta upacara diharapkan untuk kembali ke kelas masing-masing dikarenakan cuaca yang kurang mendukung. Diulangi, untuk—“

     Seluruh murid dari kelas 1 sampai kelas 3 bersorak penuh kemenangan. Aku mengedahkan kepalaku, menatap langit mendung yang mungkin sebentar lagi akan memuntahkan jutaan air hujan. Setetes cairan bening terjatuh dan terpecah tepat di keningku, membuatku sedikit tersentak karena terkejut. Detik berikutnya, beberapa rintikan lain ikut menyusul, memulai ritualnya untuk membasahi bumi.

     Tanganku tertarik, aku menoleh dan mendapati Marina tengah menarikku untuk segera berlindung dari rintikan hujan. “Jangan berdiri di sini, bisa-bisa nanti jatuh demam, bahaya,” ujar gadis itu sembari menarik paksa tubuhku untuk segera meneduh. “Temani aku ke kantin sebentar, ya? Aku lapar sekali nih, lupa sarapan.”

     Aku hanya mengangguk sebagai balasan. Meskipun Ketua osis meminta kami semua untuk kembali ke kelas, namun sebenarnya tidak semuanya akan menurut untuk kembali ke kelas. Sebagian besar murid pasti akan pergi ke kantin untuk sarapan atau sekedar berbincang bersama. Aku pribadi bukanlah tipe orang yang suka berkeliaran seperti itu, kecuali jika Marina mengajakku, seperti sekarang ini.

     Tepat setelah kaki kami berdua menginjak lantai kantin, Marina menyerit antusias saat melihat deretan cokelat yang ada di salah satu tempat dagangan. “Aku hampir saja lupa! Sekarang sudah Februari ya?”

     “Iya, terus kenapa?” aku balik bertanya dengan bingun.

     “Astaga, Kay!” Maria menatapku histeris, yang sebenarnya menurutku sedikit berlebihan. “Masa kamu tidak tahu? Valentine! Februari itu saatnya hari Valentine!!”

     “Lalu, apa hubungannya dengan cokelat?” aku menatap Marina dengab polos, tak kunjung mengerti arah topik yang sedang kami bahas sekarang ini.

     Marina menepuk keningnya, seakan pasrah terhadapku. “Ya ampun Kay, aku tak menyangka kamu segaptek ini.” Gadis itu bersedekap, menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. “Valentine itu hari kasih sayang! Hari di mana kita memberikan cokelat kepada orang terkasih sebagai ungkapan rasa cinta kita kepadanya!”

     Aku menatap datar Marina yang kini tengah menjelaskan dengan mata berbinar-binar. “Sebentar lagi ujian nasional, kita tak punya waktu untuk memikirkan hal itu.”

     Sahabatku itu meringis pelan, menatapku dengan tatapan memelas yang dibuat-buat. “Kay, ucapanmu itu sungguh menusuk tahu!” dia berkecak pinggang, bersiap untuk menceramahiku panjang lebar. “kau ini bersikap seperti tidak pernah jatuh cinta saja! Aku tahu sekarang ini kamu pasti sedang menyukai seseorang, kan?!”

     Aku terdiam, kemudian mengendikkan kedua bahuku. “aku tak bisa membantah,” jawabku dengan jujur.

     Marina terdiam, tampak sedang mencerna perkataan yang baru saja keluar dari mulutku. “eh? Apa maksud—“

     “Murid-murid yang ada di Kantin cepat masuk kelas! Atau, kami tak segan akan mengurangi poin kalian!”

     Beberapa kedatangan anggota osis sukses membuat para murid yang berada di Kantin mengerang tak terima, termasuk Marina. “Aih, padahal aku belum sempat membeli sesuatu!” keluh gadis itu dengan kesal. “dasar orang-orang gila disiplin!” gadis itu bersungut-sungut pelan, kemudian menarik lenganku keluar dari kantin. “ayo, balik ke Kelas.”

     Aku mengangguk menurut, “ayo.”

     Tepat saat aku sedang berjalan, seorang lelaki melesat melewatiku, membuatku refleks menahan napas. Aku menoleh, dan mendapati seorang lelaki berambut hitam legam sedang bersama teman-temannya, tersenyum dan tertawa, dia terlihat bahagia.

     Jantungku berdegup tak karuan saat melihat lengkungan garis yang terukir di wajahnya. Senyumnya selalu saja membuat jantungku berdegup kencang, seperti baru saja berlari dari sabang hingga merauke.

     “Kay? Ada apa?” Marina menoleh, menatapku dengan bingung. “kenapa berhenti? Ayo kembali ke Kelas sebelum para penggila disiplin itu mencatat nama kita.”

     “A-Ah iya, ayo.”

*

     Entah mengapa perkataan Marina terngiang-ngiang di kepalaku, membuatku berguling-guling seperti orang tidak waras di atas ranjang tidurku. Sekarang telah memasuki bulan Februari, yang berarti hari kasih sayang sudah tiba. Hari di mana bisa memberikan cokelat kepada orang terkasih untuk menunjukkan perasaan sayang kita kepadanya.

     Aku terdiam, haruskah aku memberikan cokelat kepadanya? Tidak, itu gila! Aku bahkan baru sekali berbicara kepadanya, itu pun saat perkenalan di perpustakaan setahun lalu, saat aku masih menginjak kelas dua. Sejak saat itu, aku selalu memperhatikannya dalam diam, senang saat melihatnya tersenyum, meskipun bukan untukku. Aku tak tahu harus menyebut apa perasaan ini, tapi yang jelas, aku tak bisa memberitahukan kepadanya tentang perasaan yang kumiliki.

     “Itu cinta.”

     Perkataan itu sukses membuatku yang sedang berguling-guling di atas ranjang terkejut dan terjatuh menghantam lantai kamar. Aku terkesiap, menatap sosok Marina yang sedang bersedekap dan bersender di ambang pintu kamarku. “M-Marina? Sedang apa kau di sini? Kenapa tidak ketuk pintu dulu?!”

     Marina memutar bola matanya, kemudian menatapku jengkel. “Salahmu sendiri tidak mengunci pintu depan,” ujarnya sembari duduk di ujung ranjang tidurku. Dia mengeluarkan sebuah buku catatan dari tas selempangnya dan melemparnya ke atas meja belajarku. “aku ke sini ingin mengembalikan buku catatan yang kupinjam. Kukira kau sedang apa di hari weekend begini, ternyata sedang uring-uringan tentang cinta, ckckck.” Marina menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, menatapku seolah akulah yang bersalah di sini. “Ternyata Kayra sudah dewasa ya? Aku terharu.”

     Aku melempar bantal yang berada di jangkauanku ke Marina dengan sebal. “Berisik, bukankah itu berarti aku normal?”

     “Ya, syukurlah kalau begitu.” Marina menangkap bantal yang kulempar, kemudian memeluknya. “jadi, siapa gebetanmu ini? Apakah dia tampan?”

     Aku menatapnya datar, “apakah tampan adalah kriteria utamamu?”

     Marina hanya menyengir lebar mendengar ucapanku.

     Aku menghela napas panjang, kemudian mulai bercerita. “Aku bertemu dengannya saat kelas 2, tepatnya saat aku sedang mencari buku untuk ujian tengah semester di perpustakaan. Saat itu aku menemukan buku yang kucari, namun sayangnya buku itu berada di luar jangkauanku. Letaknya tinggi sekali.”

     “Biar kutebak,” Marine berpose seakan sedang berpikir keras. “dia mengambilkanmu buku itu?”

     Aku menggeleng, “dari mana kamu mengambil kesimpulan itu?”

     “Dari sinetron yang biasa kulihat,” jawab Marina yang sukses membuatku memutarkan kedua bola mataku, jengkel.

     “Yah, dia tidak mengambilkanku buku itu, karena saat itu aku nekat menggunakan anak tangga kecil yang biasa digunakan untuk merapihkan buku yang terletak di rak atas,” lanjutku dengan wajah sedikit panas. “saat itu, aku terlalu ceroboh dan akhirnya tergelincir dan terjatuh. Andai saja dia tidak menyelamatkanku, mungkin aku sudah terluka.”

     “Aaaaw....” Marina memukul-mukul bantal tidurku yang berada di pelukannya dengan gemas. “itu cinta, sudah pasti cinta!”

     “Kau pikir begitu?” aku menyentuh kedua pipiku yang sudah memanas. “Lalu, apa yang harus kulakukan? Aku tak berani mengutarakannya kepada dia!”

     Marina menatapku dalam, “hari kasih sayang. Ketika kamu tidak dapat mengutarakan perasaanmu dalam kata-kata, kau bisa mengutarakannya dalam bentuk sebuah cokelat. Itulah mengapa Valentine adalah hari yang spesial.”

     “Begitu?” Marina mengangguk mantap, membuatku mengembangkan seulas senyum. “Baiklah, aku akan mencobanya.”

     “Kalau boleh tahu, siapa namanya?”

     Aku menatap Marina beberapa saat, kemudian tersenyum. “Namanya Surya, lelaki dengan senyum secerah mentari.”

*

     Aku menggenggam erat cokelat yang telah kukemas apik yang kusembunyikan di belakang tubuhku. Aku menunggu Surya—lelaki yang kusukai—muncul di bawah pohon mangga, kemarin aku sempat mengirimkan pesan kepada lelaki itu untuk datang ke tempat ini, dan dia menganggupinya.

     Aku melirik arloji yang melingkari pergelangan tanganku, sudah lewat setengah jam sejak waktu yang telah dijanjikan. Apakah dia tidak datang? Atau dia lupa?

     Jantungku berdegup kencang saat melihat sosok tinggi bersurai hitam legam sedang berjalan dari kejauhan, membuatku nyaris menjerit kesenangan. Tapi, entah mengapa rasa bahagiaku itu hilang saat melihat seorang gadis sedang berjalan bersamanya. Mereka tampak akrab, dan Surya tersenyum lebar, tampak bahagia saat bersama gadis itu.

     Setelah melambaikan tangan dan berpisah, Surya menuju kemari, menghampiriku dengan senyum berseri. “Kay ya? Sudah lama sejak kita terakhir kali bicara. Ada apa memanggilku?”

     Aku membisu, tampak ragu untuk memberikan cokelatku kepadanya. Siapa gadis itu? Apakah itu pacaranya atau hanya sekedar teman?

     Namun, aku tahu bahwa aku akan menyesal seumur hidupku jika aku tak bisa mengutarakan perasaanku kepadanya sekarang, karena sebentar lagi kami akan lulus.

     Dengan suara gemetar, aku membuka mulutku. “Aku tahu, kau mencintainya,” aku mendongakkan kepalaku, menatap bola matanya yang sehitam bulu gagak. “tapi tolong, dengarlah perasaanku yang tidak penting ini.” Mataku memanas, genangan cairan bening mengepul di pelupuk mataku. “Aku mencintaimu, dalam diam!” seruku sembari menahan agar cairan baning tidak terjatuh dari mataku. “jadi tolong, terimalah perasaanku ini.” Aku menyerahkan sekotak cokelat yang telah susah payah kubuat dengan tangan gemetar. Aku memejamkan mataku, terlalu takut untuk melihat realita dan reaksinya.

     Di luar perkiraanku, lelaki di hadapanku ini justru tertawa, membuatku mengerutkan keningku; bingung. “Syukurlah, ternyata cintaku terbalaskan.” Dia memelukku, yang sebenarnya sukses membuatku membeku karena saking terkejutnya. “aku juga menyukaimu, Kay. Sejak pertemuan pertama kita, aku sudah menyukaimu.”

     Kata-kata itu bagaikan ribuan kuncup bunga yang bermekaran di saat yang sama, membuatku tak sanggup lagi membendung air mata. “S-Sungguh?”

     Surya mengangguk pelan. “gadis tadi adalah sepupuku, kami tak memiliki hubungan apapun,” bisiknya tepat di telingaku. “hanya kaulah cinta pertama dan cinta terakhirku. Terima kasih.”

     Aku terisak, matahari tampak bersinar cerah saat ini. Surya melepaskan pelukannya kepadaku, kemudian tersenyum lebar. Senyum yang berbeda dengan senyumnya yang lain.

     Hari ini, matahari telah menjadi saksi bisu, atas senyumnya yang secerah menyari, hanya untukku seorang.

-fin.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro