Juni

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dibuat pada bulan Mei, 2019.

***

Juni.

Entah mengapa, rasa lara terus melanda diriku dan berkecamuk di dadaku setiap kali mendengar satu kata tersebut.

Ingatanku kembali berputar, membuatku teringat kembali kejadian dua tahun lalu yang sudah lama berlalu, namun entah mengapa tetap membekas.

Kudapati sosoknya, dibawah pohon rindang yang menyebarkan keteduhan. Rambut hitamnya menari bersama angin berhembus, mengikuti irama suara permadani lembut. Sorot matanya begitu gemulai, menatap hangat tepat kepadaku. Bibir merah mungilnya membuatku teringat selalu akan buah apel. Dia itu sebuah keajaiban.

Perlahan namun pasti, aku mulai melangkahkan kaki. Mendekat. Semakin mendekat. Angin semakin berhembus kuat, membuat topi jerami yang dipakainya terbang terbawa angin.

Aku mengulurkan tanganku, meraih topi jeraminya sebelum terbang semakin tinggi. Dia menoleh, menatapku lamat. Kami saling bertumbuk netra. Tatapan teduhnya membuat jantungku bergejolak hebat. Aku tahu perasaan apa yang kurasakan saat itu. Akan tetapi satu hal yang pasti, aku merasakan hidup kelabuku pasti akan berubah menjadi berwarna.

"Hai," dia berlari kecil menghampiriku. Gaun putih selututnya mengembang diterpa angin. Suasana penuh padang gandum membuat kulit putihnya tampak begitu kontras. Gadis itu melemparkan senyum tipis. Sangat tipis. Namun tulus. "Itu... topiku?"

"Ah," aku menunduk, menatap topi jerami di genggamanku. Dengan gugup, aku menyerahkan topi itu kepada gadis bersurai hitam legam. Aku mengangguk pelan, "iya, ini punyamu."

Gadis itu menerima kembali topinya, kemudian segera memakainya. "Terima kasih," ucapnya sembari menunduk kecil, membuatku ikut menunduk entah mengapa. Dia mengulurkan tangannya kepadaku dengan senyum merekah sempurna. "Perkenalkan, namaku Juni Remawa. Kalau kamu siapa?"

"Eh, ehm. Namaku Matahari Greenfield. Panggil saja Mata," balasku seraya menajabat uluran tangannya.

Canggung, aku tak tahu apa lagi yang harus kukatakan untuk bahan perbincangan. Setelah perkenalan singkat itu, kami berdua hanya memandangi keindahan padang gandung yang berada di sekitar kami. Diikuti dengan angin yang berhembus, membuat suhu menjadi sejuk. Kulirik sosoknya lewat ekor mata. Pandangan gadis itu lurus ke depan. Senyum tetap mengembang di wajahnya entah mengapa. Meski demikian, tersirat kesedihan yang begitu mendalam dari sorot matanya.

"Juni..." gumamku pelan.

Dia menoleh cepat kepadaku, "Ya?"

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku beberapa kali, sebelum akhirnya tersadar. Aku tak menyangka dia akan mendengarnya. "A-ah, tidak. Bukan apa-apa," aku menggeleng pelan. Kugaruk pipiku menggunakan jari telunjuk, menatap ke lain arah karena terlalu gugup. "Um, itu. Namamu itu membuatku teringat dengan nama bulan. Kamu lahir di bulan Juni... ya?"

Juni mengangguk, "Iya. Mama dan Papa memberiku nama itu karena aku lahir di bulan Juni." Angin kembali berhembus kencang, membuatnya refleks menahan topi jeraminya agar tak diterbangkan angin lagi. "Kalau Mata bagaimana? Mata tinggal di daerah sini ya?"

"Iya," aku mengulas senyum simpul. "Ayahku punya ladang gandum di sana. Jadi aku sering ke sini kalau cuacanya sejuk," jelasku seraya menunjuk hamparan ladang gandum yang dibatasi pagar berwarna hijau.

"Wah, ladang gandum Ayahmu pasti luas sekali, ya?" Juni tersenyum lembut. "Sayang sekali kita baru bertemu hari ini. Padahal kelihatannya kamu ini orang yang menyenangkan."

"B-begitu," aku mengusap wajahku yang rasanya sedikit memanas karena baru saja dipuji olehnya. "M-memangnya kenapa? Kamu mau pindah rumah?"

Juni mengangguk. Ia menyibak rambut hitamnya yang sekelam malam. Hanya hal sederhana, namun membuatku terpukau. Aura yang menyerbak dari dirinya sungguh kharismatik. "Bulan depan, aku akan pindah ke Kota besar," ia menyorot sendu, "Mama dan Papa dapat pekerjaan di sana."

Aku hanya termangut-mangut, menandakan mengerti. Yah, meskipun dalam hati aku sedikit menyayangkan karena baru sempat berkenalan dengannya. Yang mana berarti aku tak memiliki banyak waktu bersamanya.

"Mata," panggilnya yang sontak membuat lamunanku buyar. Tangannya menarik halus ujung lengan bajuku. Dia menunduk kecil. "Mata... mau menjadi temanku tidak?"

"Eh?" aku mengerjap tak mengerti. "Maksudmu?"

"Iya, jadi temanku," Juni menatapku dengan pandangan memohon. "Jadilah temanku sampai aku pidah ke Kota, ya? Mau kan?"

Meskipun kesannya memaksa, tetapi aku tahu bahwa dia tulus ingin berteman denganku. Dari mana aku tahu? Entahlah. Hanya firasatku saja. Maka yang bisa kulakukan hanyalah mengangguk mengiyakan. "Baiklah," jawabku mantap.

Senyuman terukir dengan sempurna di wajahnya. Dia memekik girang, "Yeay! Terima kasih, Mata!!"

Sejak saat itu, kami selalu bersama. Kami berlari kejar-kejaran di atas Padang gandum. Bercerita ria sembari memancing ikan di Sungai. Menari dengan bahagianya bersama permadani yang tersiram ribuan rintik air hujan. Aku benar-benar bahagia saat bersamanya. Kebahagiaan mengisi hari-hari kami di bulan Juni yang penuh warna.

Akan tetapi, aku tersadar. Waktu kami untuk bersama begitu tipis. Hingga suatu pagi saat kami sedang mencari buah beri di Hutan, Juni meringis kesakitan secara tiba-tiba. Dan tentu saja saat itu aku panik setengah mati.

"J-Juni! Kamu... kamu baik-baik saja?!" Aku berseru panik begitu Juni jatuh terduduk di atas rerumputan liar. Keranjang yang digenggamnya terjatuh menghantam tanah dan menyebabkan buah beri yang sudah terkumpul jatuh berserakan kemana-mana.

"A-aaaahhh...!" Dia seperti hendak mengatakan sesuatu. Napasnya mulai kejang-kejang, membuatku tambah panik. Gadis itu menunjuk-nunjuk tas selempang miliknya yang ada padaku. Tadi sebelum ke sini, aku bersedia menawarkan diri untuk membawakan tas miliknya. Dengan cepat, aku segera menumpahkan semua isi yang ada di dalam tas milik Juni. Beruntung, tak banyak barang yang dibawanya, hingga membuat pandanganku tertuju pada sebuah alat bantu pernapasan yang aku kenali. Tanpa berpikir dua kali, aku segera meraih dan menyerahkan benda di kepada Juni.

Juni segera meletakan benda itu ke hidungnya, kemudian menarik napas dalam-dalam. Beberapa detik suasana tegang, akhirnya Juni menghela napas panjang. Pernapasannya dudah kembali normal. "Kamu baik-baik saja?" tanyaku masih sedikit cemas.

Gadis itu mengangguk pelan, kemudian menyunggingkan seulas senyum yang terlihat dipaksakan. "Aku baik-baik saja, kok. Tadi itu aku hanya... sedikit sakit saja." Juni beranjak dari duduknya, lalu mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan di tanah.

Aku berjongkok, ikut membantunya. "Kamu punya penyakit di sistem pernapasan?"

"Uh... iya," jawabnya ragu. "Tapi tidak separah itu, kok. Aku hanya terkena asma saja."

Juni terlihat tidak nyaman, jadi kuputuskan hanya mengangguk mengerti saja. Meskipun aku tidak mengerti mengapa sakit asma bisa dibilang hanya.

Setelah itu, kami memutuskan untuk pulang. Aku mengantarnya hingga ke depan pintu Rumah miliknya. Dia terlihat begitu pucat. Orangtuanya juga tampak khawatir saat kuceritakan kejadian di hutan itu. Karena tak ada yang dapat kulakukan di sana, jadi aku pulang ke Rumah.

Aku bertekad untuk menemuinya keesokan harinya. Tetapi, yang kutemukan saat berada di depan pintu rumahnya justru membuatku membeku. Jangankan berjumpa dengannya, melihat batang hidungnya saja tidak. Justru yang kutemukan hanyalah seonggok Rumah kosong yang tak berpenghuni. Hanya ada secarik kertas yang tertempel di pintu Rumah itu.

Karena penasaran, aku meraih kertas tersebut lalu membacanya. Detik itu juga aku baru mengetahui fakta bahwa Juni sudah pindah ke Kota besar semalam. Dan Juni pindah bukan semata-mata karena pekerjaan Ayahnya, namun untuk menjalani pengobatan. Juni menderita penyakit kelainan di organ pernapasannya. Dia akan segera menjalankan operasi. Di dalam surat ini tertulis bahwa dia meminta doaku, agar dia dapat sembuh dan bermain lagi bersamaku.

Aku tahu saat itu aku terlalu berharap. Terkadang, jika kita berharap terlalu besar, maka kita akan terjatuh sebesar kita berharap. Aku melambung terlalu tinggi, hingga tak dapat menerima kenyataan yang menampar keras diriku.

Aku kecewa. Aku depresi. Aku tak tahu apa lagi yang harus kulakukan saat itu.

Manusia akan egi cepat atau lambat, dan yang bisa kita lakukan hanyalah mengikhlaskan.

Maka, disinilah aku. Berdiri di bawah pohon rindang yang dikelilingi padang gandum berseri. Angin meniup lembut rambutku. Aku berlutut, menatap segunduk tanah dengan batu nisan yang tertancap di ujungnya. Kubelai lembut batu nisan tersebut setelah aku menaburkan kembang di atas gundukan tanah. "Hai Juni, aku datang lagi," sapaku pelan.

Tak ada jawaban, namun ada perasaan yang tersampaikan. Hal itu membuatku tersenyum hangat. "Bagaimana kabarmu? Sayang sekali ya kita tidak bisa bermain kejar-kejaran lagi. Padahal, cuacanya saat ini bagus sekali."

Air mata mulai meleleh. Ingatan tentangnya dua tahun lalu terputar begitu saja. Kuusap air mataku, lalu kembali menatapnya. "Aku merindukanmu. Terima kasih, karena telah menjadi cinta pertamaku."

Aku beranjak berdiri. Menghela napas panjang. Beban yang ada di hatiku meluap begitu saja. Membuat rasanya jadi lebih ringan. "Kamu memang teman yang paling hebat. Semoga kamu menemukan cintamu di atas sana," aku menoleh, menatap seorang gadis bersurai pirang yang berdiri di belakangku. Dia menggenggam payung hitam. Gaun hitamnya tampak mengembang bersama hembusan angin. Tanpa sadar, ujung bibirku tertarik. Senyum merekah di wajahku. "Sedangkan aku... telah menemukan cinta terakhirku."

"Mata, ayo," gadis itu mengulurkan tangannya kepadaku. cincin emas yang melingkar di jari manisnya tampak berkilau saat diterpa cahaya mentari. Tanpa ragu, aku menerima uluran tangannya. Kami bergandengan tangan, berjalan beriringan pergi menjauh dari tempat yang mengukir sejuta kenangan itu.

"Matahari. Kamu memang hangat, seperti namamu."

Langkahku terhenti. Aku menoleh ke belakang, tepat ke makam Juni. Apakah aku salah mendengar? Tadi baru saja... aku mendengar suara Juni?

"Mata, ada apa?"

"Ah, tidak," aku tersenyum. "Ayo kita pergi."

Saat ini angin berhembus begitu kencang. Mataku menangkap beberapa bulu putih yang terbang dibawa angin.

Dan juga bersama topi jerami yang kini mengudara di angkasa.

-fin.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro