13. Oke

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saat tiba di pintu kelas, Adrian tidak bisa menyembunyikan wajah lelahnya. Kantung matanya menghitam. Rambut panjangnya dibiarkan terurai. Seperti biasa, laki-laki berjaket abu-abu itu memilih untuk duduk di sudut ruangan. Segera setelah meletakkan tasnya, ia merebahkan kepala di meja.

"Begadang Pak Haji?" Yessa mengetuk meja Adrian pelan.

"Rakiyessa, please. Gue cuma punya waktu sepuluh menit lagi buat tidur." Adrian menggerakkan tangannya malas. 

Bukannya pergi, Yessa malah tambah penasaran. "Lo begadang kenapa dah? Kerja di kafe cuma sampe jam sembilan, seinget gue lo nggak ada jadwal kerja di tempat lain."

Adrian tidak menjawab. Meski mendengar, ia tetap mengabaikan Yessa. Adrian bisa mendengar dengan jelas kalau laki-laki itu tengah merepet di sampingnya.

"Eit, tuan putri datang." 

Mendengar pujian itu membuat Viona tersenyum. "Eh, tukang kebun sudah stand by aja. Pangerannya lagi tidur ya?" 

Wajah ramah Yessa menghilang sepenuhnya, kini berganti jadi cemberut. Bibirnya maju sampai batas maksimal.

Viona memukul lengan Yessa dan tersenyum lebih lebar. "Aku bercanda. Walaupun kamu nggak cocok jadi pangeran, tapi bolehlah jadi pengawalnya." 

Senyum Yessa sempat mengembang, tetapi senyumnya kembali menghilang setelah gadis berambut gelombang itu menyelesaikan kalimatnya. Adrian yang membutuhnya tidur sejenak akhirnya mengangkat kepala karena terganggu. Mata sipitnya kelihatan lebih besar karena melotot. Yessa yang menyadari hal itu lebih dulu langsung memberikan kode pada Viona untuk diam. 

Gadis berbaju kuning itu tersenyum setelah melihat Adrian kembali merebahkan kepalanya di meja. 

"Kok bisa sih lo suka sama cowok modelan Adrian gini?" Yessa bertanya dengan suara pelan. Ia juga sudah menggeser kursinya menjauh dari meja laki-laki berambut gondrong itu. 

"Dia baik dan perhatian." 

Belum juga Viona selesai menjelaskan alasannya, Yessa sudah menyambar gadis itu dengan pertanyaan. "Hah. Baik dari mana? Gue sebagai temannya aja sering dianiaya. Perhatian dari mananya? Dia tuh salah satu orang paling dingin yang pernah gue kenal." 

"Kamu nggak kenal dia sepenuhnya berarti. Dia itu baik banget. Kucing liar aja diperhatiin, apalagi pacarnya nanti."Viona tersenyum setelah mengatakan kalimat itu.

"Kucing liar?" Yessa bertanya tidak percaya. Seorang Adrian dan kucing adalah dua hal yang aneh jika diletakkan berdampingan.

Setelah kejadian ospek yang membuat Viona jatuh hati pada Adrian, gadis itu pernah mendapati Adrian sedang memberi makan kucing liar.

Laki-laki dengan rambut terikat itu tersenyum ketika melihat dua ekor kucing mendekatinya. Ia segera mencari tempat teduh dan berjongkok di bawah pohon dekat gedung fakultas. Adrian merogoh bagian samping tasnya untuk mengeluarkan makanan kucing yang sepertinya selalu ia bawa kemana-mana.

Kedua kucing itu mengeong dengan suara manis. Salah satunya menggosokkan tubuh ke kaki Adrian. Kucing memiliki perilaku yang unik. Mereka akan menggosokkan tubuh pada suatu benda untuk menandai daerah teritorinya. Jika kucing itu menggosokkan tubuhnya ke kaki Adrian, itu artinya, kucing tersebut menyukai Adrian. 

Ketika kedua kucing itu makan, Adrian menatap mereka dengan tatapan penuh perhatian. Sesekali ia mengusap punggung hewan kecil itu. Senyum di wajahnya bertahan sangat lama ketika itu.

Sebagai seseorang yang terbiasa berurusan dengan kucing, Viona terkagum. 

"Biar gue tebak, lo juga suka kucing?" Yessa bertanya dengan antusias.

"Kok kamu tahu?" 

Yessa menghela napas dan menjawab malas. "Lo sudah pernah cerita ini sebelumnya ke gue. Udah ah, capek ngomong sama lo."

Setelah Yessa pindah ke barisan tengah, Viona mengeluarkan bekal yang ia buat. 

"Jangan lupa dimakan, ya." Gadis itu meletakkan kotak bekal di meja dengan gerakan selembut mungkin. Hal itu dilakukan agar Adrian tidak terganggu.

"Selamat pagi." Dosen mereka berbicara tepat setelah membuka pintu.

Kelas dimulai tepat waktu. Yessa yang sibuk bercanda dengan teman lainnya lupa membangunkan Adrian yang masih tertidur.

"Yang duduk di ujung. Tolong yang terdekat, bangunkan dia." Dosen tersebut berbicara sambil menggeleng. 

Viona menoleh ke belakang dan ketika mata mereka bertemu, Viona menggeleng. Adrian hanya memasang wajah datar tanpa rasa bersalah. Bahkan dari jarak jauh, Viona bisa melihat lingkaran hitam di mata laki-laki itu. 

Begitu kelas selesai, Viona langsung bergerak menuju meja Adrian.  "Semalam begadang karena apa?" 

Laki-laki itu masih menatap gadis itu dengan ekpresi datar.

"Jangan bilang karena aku? Maaf ya, kamu jadi kepikiran karena lihat aku nangis." Viona benar-benar menunjukkan rasa bersalahnya. Ia berdiri dengan tangan yang bertautan.

"Gue ...." Adrian batal melanjutkan kalimatnya. Ada kejut yang dirasakannya. 

"Makanya nanti di masa depan jangan buat aku nangis, ya?" Viona bertanya dengan nada penuh drama.

Adrian menghela napas. Ia mempertanyakan keputusannya untuk belajar bersama gadis ini. Bukannya nilainya yang naik, tetapi Adrian rasa justru tekanan darahnya yang akan naik.

Kelas belum begitu sepi ketika Viona mengeluarkan buku catatan dan dua buku cetak dari tasnya. Wajahnya berubah jadi serius. Senyum manis disertai gingsul itu lenyap entah kemana. Gadis itu melepaskan jepit rambutnya dan menjepit poninya ke belakang. Adrian sempat menelan ludah karena melihat perubahan aura Viona.

"Kita akan mulai dari soal nomor satu." Gadis itu membuka buku cetak yang berisi soal dan meletakkannya di tengah.

Adrian buru-buru memakai kaca matanya dan memegang pulpennya. Gadis itu menjelaskan konsep dasar dari perhitungan yang sedang mereka bahas. Kemudian Viona memberikan contoh soal. Gadis itu menjelaskan dengan cara yang sederhana dan mudah dipahami oleh Adrian. Tangan laki-laki itu sibuk menulis di buku catatannya.

"Sudah mengerti? Ada yang mau ditanyakan?"

Adrian menggeleng.

Viona mengeluarkan kertas kuis miliknya. "Sekarang coba kerjakan soal nomor satu." 

Adrian sempat membeku di tempat. Ia melihat angka 100 di kertas itu. Berbeda dengan miliknya yang dipenuhi tanda silang, kertas kuis milik Viona kelihatan lebih indah karena dipenuhi tanda contreng. 

Dengan sedikit keyakinan, Adrian menyalin soal dari kertas kuis Viona. Ia mulai mengerjakan soal dan ia dikejutkan oleh dirinya sendiri. Ia berhasil menjawab soal itu dengan mudah tanpa harus mengalami kekesalan.

"Gimana? Mudah, 'kan?" Viona bertanya masih dengan nada yang terkesan galak.

Adrian mengangguk.

"Lanjut kerjakan sampai nomor lima. Setelah ini akan aku periksa. Kalau ada yang nggak mengerti, langsung tanya aja." 

Laki-laki berambut panjang terikat itu memasang wajah serius. Ia bergelut hebat dengan empat soal tersisa. Adrian menyelesaikan soal itu kurang dari setengah jam. Ia bahkan sempat memeriksa jawabannya sebelum menyerahkan bukunya ke Viona.

Viona memeriksa jawaban yang ditulis Adrian. Ia tersenyum bangga. Semua jawaban Adrian benar. Ia merasa sepertinya laki-laki di hadapannya itu jenius, hanya saja metode belajarnya yang salah. 

"Kita mau lanjut bahas tugas kelompok atau mau lanjut memperdalam materi ini?" Gadis berbaju kuning itu masih menggunakan nada profesional.

"Mau istirahat boleh?" Adrian bertanya sembari melepaskan kacamatanya.

"Oke, sekarang mode guru dimatikan." Viona tertawa kecil.

Adrian sempat menyunggingkan senyum tipis yang tidak mampu ia tahan. Laki-laki itu membuka tasnya dan mengeluarkan dua stik Choki-choki. Ia memberikan cokelat itu pada Viona lebih dulu.

"Choki-choki." Viona berseru kelewat riang.

"Ini cuma stik cokelat seribuan. Nggak usah lebay." Adrian masih tidak habis pikir. Sepertinya baru beberapa detik yang lalu ia ditatap dengan mata penuh penghakiman. Kini mata gadis itu berbinar layaknya laut yang terkena sinar.

"Kenapa Choki-choki? Ada banyak jenis jajanan seribuan yang bisa kamu beli. Jangan-jangan kamu ingat kejadian waktu aku nangis itu?"

"Gue suka cokelat." Adrian menjawab dengan nada datar. Ia tidak berbohong, ia memang suka cokelat. Namun, hal itu sebenarnya tidak menjawab pertanyaan Viona. Adrian gengsi mengakui kalau benar ia mengingat kejadian di bawah pohon saat membeli jajanan itu di kantin.

"Aku udah ge-er padahal. Yasudah deh, makasih." 

Laki-laki bermata sipit itu bisa melihat kekecewaan dari wajah Viona. Diam-diam Adrian menikmati waktunya bersama Viona. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro