14. Perpindahan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sama seperti hari-hari sebelumnya, Adrian tiba lebih dulu di kelas. Ia memilih duduk di barisan belakang. Tak lama setelah ia duduk, gadis yang kemarin jadi teman belajarnya muncul. Adrian sengaja langsung buang muka karena sepertinya gadis itu akan mulai menggodanya lagi.

"Selamat pagi, Kak." Viona menyapa dengan senyuman mengembang. 

Adrian masih menolak menoleh ke arah gadis itu. "Berapa kali lagi gue harus bilang? Gue bukan kakak lo."

"Kayaknya kemaren udah jinak. Kok sekarang jadi galak lagi sih?" Viona cemberut. Seperti biasa, ia memajukan bibirnya. 

Adrian mulai bertanya-tanya saat gadis itu tidak meletakkan tasnya di depan. Biasanya Viona selalu meletakkan tasnya lebih dulu sebelum menghampiri Adrian, tetapi hari ini ia langsung duduk di samping Adrian tanpa meletakkan tasnya di kursi depan. Adrian penasaran, tetapi ia tetap diam.

"Hayo, mikirin apa?" Viona bertanya setelah menepuk lengan Adrian.

Adrian menggeleng dan merebahkan kepalanya di meja.

"Jangan bilang kalau lagi mikirin aku? Aku sengaja kok duduk di sini biar bisa bantu kamu belajar." Viona berbicara pada Adrian yang kelihatannya tidak memperhatikannya.

"Vio, kok di belakang? Kursi depan masih banyak yang kosong loh." Gadis yang biasa duduk di samping Viona bertanya dari depan.

Viona tersenyum dan menjawab, "Udah bosen di depan." 

Jawaban Viona membuat seluruh kelas menoleh ke belakang. Gadis itu cenderung tidak peduli dan hanya fokus pada Adrian yang kini wajahnya terbenam di balik tangan.

"Kayaknya Adrian kasih pengaruh buruk ya buat Viona?" Suara bisikan yang berasal dari tengah kelas tidak mempengaruhi Viona.

"Iya, gue sih curiga nantinya nilai Viona bakalan berantakan karena sering sama Adrian." Suara seorang laki-laki menyahut.

"Lagian Adrian tuh bukannya usaha sendiri, malah manfaatin Viona gitu."

Mendengar kalimat itu membuat Viona mengepalkan tangan. Ia kesal, tetapi tidak berniat untuk membalas pernyataan mereka. Bagaimanapun ia tidak mungkin menjelaskan alasannya pada semua orang. Apapun yang ia katakan tidak akan bisa mengubah pendapat orang lain tentangnya.

"Gue kasihan sih sama Viona." 

"Lagian apa sih susahnya potong rambut? Kalau emang otaknya nggak mampu, ya nggak usah dipaksa. Memangnya keren rambut begitu?" Laki-laki lainnya menimpali dengan suara cukup keras.

Viona tidak tahan lagi. Ia terima saja jika mereka berbicara tentangnya dab Adrian masih dalam batas wajar, tetapi kata-kata laki-laki itu sudah melewati batas. Akhirnya Viona berdiri setelah menggebrak meja. Belum juga ia mengeluarkan argumennya, Adrian sudah turut berdiri di sampingnya. Hal ini membuat Viona membeku dan kehilangan kata-kata. 

Laki-laki dengan rambut terikat itu mengambil tasnya dan berjalan ke depan. Semua orang menutup mulut. Beberapa menelan ludah kerena kini Adrian kelihatan cukup kesal. Viona kira, laki-laki berpakaian serba hitam itu akan melangkah ke luar kelas, tetapi dugaannya salah. Adrian berhenti di deretan kursi paling depan dan meletakkan tasnya di sana. 

Sebelum duduk, ia menoleh pada Viona. "Katanya lo mau duduk sebelah gue. Pindah sini."

Dahi Viona sempat berkerut. Akhirnya Adrian duduk di sana. Ia kembali melanjutkan kegiatannya merebahkan kepala. Tindakannya membuat seisi kelas heran. Seorang Adrian yang tidak pernah meninggalkan kursi belakang tiba-tiba pindah ke depan.

Viona tersenyum bangga. Ia merapikan tasnya dan turut pindah ke depan. Ia duduk tepat di samping Adrian. Gadis itu tersanjung karena Adrian duduk tepat di samping kursi yang biasa ia duduki. Ini artinya laki-laki itu diam-diam memperhatikannya.

"Lo ngapain sih berurusan sama Adrian?" Gadis di samping Viona bertanya.

"Kamu kan tahu, aku suka sama dia." Viona menjawab dengan suara berbisik.

"Kayak nggak ada cowok lain aja." Gadis itu menggeleng pelan.

Viona makin menjauhan tubuhnya dari Adrian dan mendekat untuk berbisik, "Kan udah aku bilang, dia mirip Papi aku. Mirip banget." 

Gadis di samping Viona itu menghela napas dan melanjutkan kegiatannya.

Tidak lama setelah itu, Yessa tiba di kelas. Laki-laki itu sempat berhenti di depan karena tidak mendapati Adrian di tempatnya. Setelah itu, ia berjalan menuju tempatnya.

"Etdah, ni bocah." Yessa mengambil ponselnya dari saku dan menelepon Adrian dengan penuh emosi.

Adrian mengabaikan getar ponselnya. Laki-laki itu tetap menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan. Yessa duduk di tempatnya. Berhubung teleponnya tidak kunjung diangkat, laki-laki berkulit cokelat itu iseng bertanya pada Viona.

"Lo tahu si kampret kemana? Ini bocah nggak angkat telepon." Yessa berbicara tepat di belakang Adrian. 

Viona sudah berusaha membuat Yessa menghentikan repetannya, tetapi laki-laki itu malah melanjutkan repetannya dengan lancar.

"Biar gue tebak. Pasti dia kesiangan lagi nih, tapi jarang loh dia kesiangan. Kemana coba? Katanya mau naikin IP, kalo kerjanya bolos gini mah nggak bakal naik itu IP. "

Adrian mengangkat kepalanya dan membalikkan badan. Laki-laki bermata sipit itu menopang dagunya dengan tangan dan tangan lainnya menepuk lengan Yessa.

Laki-laki berkulit cokelat itu berteriak kaget. Reaksinya seperti baru melihat hantu. Kedua tangannya diletakkan di dada. Yessa berkali-kali mengerjap.

"Sorry. Aku udah coba kasih kode tadi." Viona tersenyum kaku.

"Lo Adrian?" Yessa menyentuh wajah dan tubuh Adrian dengan bar-bar. Ia bahkan sampai mencubit pipi laki-laki berikat rambut itu. 

"Bukan, gue setan. Reaksi lo bener-bener kayak lihat setan." Adrian menepis tangan sahabatnya itu.

"Dalam rangka apa seorang rakyat jelata mampir di lingkungan elit? Balik lo. Nggak bakal ngaruh pencitraan yang lo buat." Yessa mengambil tas Adrian.

Adrian menahan tasnya dan membuat Yessa terkejut tidak percaya.

"Tunggu. Jangan bilang sekarang lo mau mencoba mengkhianati gue? Lo kemanain sejarah pertemanan kita selama ini, Yan?" Yessa memasang wajah sedih.

Adrian menarik tasnya paksa. "Nggak usah drama. Gue cuma pindah tempat duduk bukan mau mengkhianati lo."

Tatapan mata Yessa beralih pada Viona. Gadis yang ditatap malah tersenyum layaknya seseorang yang tidak melakukan kesalahan apapun.

"Jelasin ke gue sekarang! Gue nggak rela ya teman gue direbut paksa gini." Yessa melipat tangan di dada.

Adrian meraih ponselnya dan jari-jarinya menari dengan cepat di atas layar. Begitu selesai mengetik, Yessa menerima pesan dari Adrian dan membacanya dengan seksama. Laki-laki berambut cepak itu menghela napas dan melangkah ke depan.

"Perhatian semua, gue Rakiyessa mau menjelaskan sesuatu." Aura Yessa berubah drastis. Wajah jahil dan penuh dramanya menghilang digantikan dengan wajah super tegas. 

Seisi kelas menghentikan kegiatan dan mengalihkan perhatian pada Yessa yang menjabat sebagai ketua angkatan mereka. Adrian menghela napas karena ia sudah mengetahui apa yang akan dilakukan sahabatnya itu.

"Kalian tahu pengumuman wakil rektor yang membahas tentang aturan rambut mahasiswa?" Yessa bertanya dengan nada yang sangat berwibawa.

Hampir semua orang yang ada di kelas mengangguk.

"Oke. Berarti gue nggak perlu menjelaskan hal itu. Salah satu teman kita punya alasan khusus yang membuat dia harus terus memanjangkan rambutnya dan kita sama-sama tahu kalau dia tidak memenuhi syarat untuk mematuhi peraturan yang baru berlaku. Gue sebagai sahabatnya berniat membatu dengan menyarankan Viona yang kita kenal sebagai mahasiswa dengan nilai terbaik semester lalu untuk jadi mentornya. Beruntung, Viona mau membantu Adrian." 

Suasana kelas masih hening. Tidak ada yang berani berbicara. Adrian menundukkan kepalanya, sedangkan Viona menautkan tangannya karena cemas.

"Jadi, gue nggak mau mendengar kejadian hari ini terulang lagi. Nggak ada yang memanfaatkan atau dimanfaatkan sekarang. Buat kalian yang sudah berbicara hal buruk tentang Adrian, silahkan minta maaf."

Adrian mengangkat kepalanya. Ia menatap Yessa dan berharap laki-laki itu segera menghentikan hal yang tengah dilakukan.

Yessa dapat melihat beberapa anak menunduk dan ia dapat memastikan kalau mereka adalah orang-orang yang melemparkan pernyataan menyebalkan itu. 

"Oke, gue berhenti di sini." Yessa menatap Adrian. "Gue sebagai ketua angkatan minta maaf untuk apapun yang disampaikan teman-teman gue." 

Adrian mengangguk kaku. Sepertinya setelah ini ia akan menjadi pusat perhatian. Pertama karena ia terlibat dengan Viona -gadis dengan IP tertinggi di angkatannya dan Rakiyessa -ketua angkatan yang juga mahasiswa populer di kampus.


Rakiyessa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro