15. Coffee Prince

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudut kafe yang selalu menjadi tempat favorit Adrian terisi oleh pelanggan. Padahal ia sudah berencana untuk duduk di sana setelah shift-nya selesai. Hari ini ia membuat janji kerja kelompok dengan Viona. Sebenarnya tidak bisa dibilang kerja kelompok karena mereka hanya berdua.

"Kenapa sih lihat sana terus?" Salah satu rekan Adrian bertanya.

"Sana mana?" Adrian bertanya, tetapi matanya tidak berpaling dari meja yang ada di sudut itu.

Rekan Adrian berjalan ke luar konter dan berdiri di tempat pelanggan biasa berdiri untuk memesan. "Di sana."

Adrian mengerjap. Ia baru sadar kalau perhatiannya terfokus pada meja di sudut ruangan itu.

"Gue mau pakai meja itu nanti."

Rekan Adrian itu tersenyum. "Lo sendiri atau sama orang lain?"

"Sama teman. Kami mau kerja kelompok." Adrian menjawab sambil mengusap layar monitornya.

"Cewek apa cowok?" Laki-laki yang mengenakan apron serupa dengan Adrian itu tersenyum jail.

"Cewek, yang tempo hari datang kepagian itu." Tanpa sadar Adrian memberikan penjelasan kalau seseorang yang tengah dinantikannya itu adalah Viona.

"Oh, cewek yang kamu suka itu?"

"Hah?" Adrian berseru tak menyangka. Ia meragukan hal yang baru saja ia dengar.

"Cewek yang rambut gelombang terus pakai dress kuning itu, 'kan?"

Adrian mengangguk kaku.

"Sudah gue duga. Lo senang berurusan sama dia?" Laki-laki itu tersenyum menggoda.

"Kami cuma teman, Bang. Teman. Nggak lebih." Adrian berbicara setengah emosi.

"Oke. Mungkin gue yang salah paham. Lanjut deh melamunnya. Gue mau beres-beres meja." Laki-laki itu beranjak dari tempatnya dan menoleh dengan senyum penuh arti pada Adrian.

Adrian hanya menghela napas.

Viona datang tepat sebelum shift Adrian berakhir. Gadis berambut gelombang itu membiarkan rambutnya terurai. Poni tipisnya juga ditata menutupi dahi.

Viona berdiri di depan konter dan menunggu laki-laki di hadapannya mengatakan hal yang menjadi aturan baku seseorang yang menerima pesanan.

"Kak." Viona melambaikan tangannya di depan wajah Adrian.

"Oh. Iya." Adrian menjawab refleks.

"Saya mau pesan." Viona menjawab sambil tersenyum.

"Maaf. Selamat datang di Coffee Prince. Ada yang bisa saya bantu, Kak?" Adrian tersenyum kaku. Jenis senyum yang belum pernah Viona lihat sebelumnya.

"Saya mau pesan ice chocolate sama cheese cake." Viona menahan diri untuk tidak tersenyum.

"Baik. Nanti kami antar pesanannya, Kak." Adrian menjawab dengan jawaban baku.

Tepat saat gadis berambut gelombang itu berbalik, pengunjung yang menempati meja di ujung ruangan itu beranjak. Refleks Adrian memanggil gadis itu. Viona dibuat cukup terkejut karena Adrian memanggil namanya pada jam kerja.

"Meja di ujung aja. Nanti dibersihkan. Gue nggak nyaman kalau duduk di tengah." Adrian berbicara setengah berbisik.

Adrian tiba di meja itu sepuluh menit kemudian. Ia sudah tidak mengenakan apron. Kini ia mengenakan jaket hitam yang biasa ia pakai dan celana yang juga berwarna serupa. Laki-laki berambut terikat itu mengeluarkan beberapa buku dari tasnya. 

"Gimana PR kemarin?" Viona bertanya setelah menggeser minuman dan makanannya.

"Sudah dikerjakan, tapi ada satu soal yang gue nggak yakin benar." Adrian menyodorkan bukunya.

Viona memeriksa soal yang sudah dikerjakan Adrian. Gadis itu memperbaiki kesalahan Adrian dan menjelaskannya dengan sabar. Laki-laki berkaus hitam itu memakai kacamatanya dan memperhatikan semua penjelasan Viona. Belum juga sepuluh menit mereka bersama, salah satu pelayan kafe menghampiri mereka.

"Ada yang bisa saya bantu, Kak? Mau tambah pesanan atau isi ulang?" Rekan Adrian itu tersenyum manis dan mengedipkan salah satu matanya ketika Adrian menatapnya sengit.

Viona memandang Adrian. 

"Es teh satu." Adrian menjawab malas.

"Ada lagi, Kak?" Rekan Adrian bertanya dengan nada yang dibuat-buat.

"Sudah itu aja." Adrian menghela napas lelah.

"Baik, Kak. Terima kasih." 

Mereka melanjutkan diskusi sampai petang. Adrian sampai mengisi ulang gelasnya hingga tiga kali. Adrian beruntung karena Viona sangat sabar mengajarinya. Meskipun merasa beruntung, Adrian lebih suka Viona yang rajin menggodanya daripada Viona yang selalu menatapnya tajam saat mengerjakan soal.

***

Viona berlari menuju ruang kuliah. Keringat mulai menetes dari dahinya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, ia terlambat. Gadis itu baru berhenti berlari ketika melihat Yessa berjalan di depannya. 

"Kamu nggak lari? Kita terlambat." Viona bertanya dengan napas terengah-engah.

"Santai. Kelasnya mundur sepuluh menit karena Pak Sopar ada urusan pribadi." Yessa menjawab santai. Ia sempat menyapa beberapa orang yang ia kenal.

Viona melayangkan satu pukulan ke punggung laki-laki jangkung itu. "Kenapa nggak bilang dari tadi?" 

Yessa menghentikan langkahnya dan menatap Viona galak. "Lo baca pengumuman yang gue kirim nggak sih? Gue bisa menuntut lo atas kekerasan dalam pertemanan." 

"Memangnya ada?" Viona buru-buru membuka grup kelas. Benar saja, Yessa sudah mengumumkan hal itu. 

"Viona Karunasakara, apa yang seharusnya dilakukan sekarang?"  

Gadis itu malah cengar-cengir. "Maaf, Yessa. Lain kali aku harusnya cek dulu sebelum marah."

Yessa menghela napas kemudian tersenyum. "Jangan diulangi lagi. Heran gue, cewek kecil kayak lo kok pukulannya sakit banget."

Viona kembali tersenyum.

"Beneran tobat kayaknya." Begitu memasuki kelas, Yessa menggeleng ketika melihat Adrian. Laki-laki berkucir rambut itu sudah berkutat dengan pulpen dan kertas.

"Demi kebaikan dia." Viona menepuk lengan Yessa dan duduk di samping Adrian.

"Selamat tinggal sahabatku. Sepertinya dirimu sudah berbaur baik dengan golongan elite." Yessa berbicara penuh drama. 

Adrian yang melihat sahabatnya itu hanya menggeleng.

Tidak lama kemudian, Pak Sopar tiba. Perhatian pria paruh baya itu langsung tertuju pada sudut kelas. Ia menghela napas ketika mendapati Adrian tidak ada di tempat yang biasa ia duduki.

Pria itu melakukan presensi dan terkejut ketika mendengar sahutan dari barisan depan ketika nama Adrian Birendra dipanggil. Pria itu langsung menurunkan kacamata dan menatap Adrian lekat-lekat.

"Adrian Birendra." Pria itu mengulangi nama Adrian hingga dua kali.

"Iya. Saya, Pak." Adrian masih mengangkat tangannya.

Pria paruh baya itu mengembalikan posisi kacamatanya dan menyunggingkan senyum. Kelas hari itu berjalan seperti biasa, tetapi bedanya Adrian lebih banyak memperhatikan daripada menggambar kartun di bukunya.

"Baik, sekian kelas hari ini. Silahkan kumpulkan lembar jawaban hasil kerja kelompok kalian." 

Adrian berdiri lebih dulu dan karena posisinya di depan, ia sampai lebih dulu di meja dosen.

"Kamu hanya berdua dengan Viona?" Pria itu bertanya setelah mengarahkan kelompok lain untuk menumpukkan kertasnya di sudut meja.

"Iya, Pak. Kebetulan jumlah mahasiswa di kelas ini 52. Jadi, saya dan Viona adalah orang yang tersisa." Adrian menjelaskan dengan suara pelan, tetapi cukup keras untuk didengar.

"Saya rasa kamu harus banyak belajar dari Viona. Itu bisa membantu kamu untuk mempertahankan rambutmu."

"Saya sudah meminta Viona menjadi mentor saya dan dia setuju." Adrian tersenyum setelah menyelesaikan kalimatnya.

Pak Sopar menepuk lengan Adrian dan tersenyum ramah. "Kerja bagus." 

Setelah mengatakan itu, Pak Sopar keluar dari kelas.

"Bapak bilang apa?" Viona bertanya dengan wajah penasaran.

"Nggak apa-apa." Adrian menjawab dengan nada datar. Namun, diam-diam ia tersenyum.

Kelas dilanjutkan dengan mata kuliah Fisika. Mata kuliah ini menjadi salah satu yang paling Adrian takuti selain Matematika. Deritanya memilih kuliah di Teknik Arsitektur adalah ia harus menyelesaikan mata kuliah TPB yang terdiri dari mata kuliah Matematika Dasar, Kimia Dasar, Fisika Dasar, Studio Dasar Arsitektur, dan Mekanika Teknik. Untungnya semester lalu ia berhasil lulus meski dengan nilai rantai karbon. Sebenci apa pun Adrian dengan mata kuliah ini, ia harus berhasil setidaknya mendapat nilai B. 

Laki-laki bermata sipit itu langsung mengenakan kaca matanya begitu dosen mata kuliah Fisika masuk. 

"Saya baru lihat kamu di kelas saya." Wanita paruh baya itu menunjuk Adrian tepat di wajahnya.

Adrian tersenyum kaku. Sepertinya penderitaannya akan berlanjut. Ia baru berhadapan dengan dua mata kuliah. Bagaimana dengan tiga lainnya?



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro