2. Masa Depan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Laki-laki dengan tas tersampir di bahu kiri itu melepaskan ikat rambutnya, kemudian membiarkan bagian depan wajahnya tertutup sebagian. Ia tidak suka perhatian, apalagi dari kakak tingkatnya. Adrian menemukan teman-teman seangkatannya sedang duduk di pinggir lapangan dan seperti dugaannya, Yessa melambaikan tangan dengan heboh. Adrian hanya menghela napas dan terpaksa turut mengangkat tangannya. Tindakannya ini adalah langkah pencegahan untuk menghindari hal-hal tidak terduga yang mungkin dilakukan sahabatnya itu.

Seperti minggu lalu contohnya, laki-laki berkulit cokelat itu melambai dengan semangat dan Adrian sengaja mengabaikan lambaikan sahabatnya itu. Tanpa terduga, Yessa berteriak memanggil nama Adrian dengan suara yang kelewat lantang. Adrian dibuat malu karena tindakan bar-bar dari Yessa. Suara laki-laki itu mampu membuat tidak hanya mahasiswa yang ada di sekitar mereka menoleh, tetapi mahasiswa yang ada di lantai dua dan lantai tiga turut melihat kepinggir lapangan.

"Yo, Bro." Laki-laki yang mengenakan jaket almamater itu langsung mengulurkan tangannya ketika Adrian hampir sampai di depannya. 

"Makasih nggak teriak-teriak lagi." Adrian berbicara dengan nada sarkas. Matanya menyipit dan bibirnya membentuk satu garis lurus. 

"Makasih udah dateng. Gue nggak jadi mati." Yessa menyahut dengan nada yang tidak kalah sarkas. Namun, senyum jahilnya malah muncul tidak lama kemudian. "Ada Viona, tuh."

Laki-laki dengan potongan rambut ala tentara itu menaik-turunkan alisnya melihat ke satu arah. Tanpa sadar, Adrian mengikuti arah pandangan Yessa. Ia mendapati seorang gadis dengan rambut gelombang yang terurai dengan jepit rambut kecil di dekat telinga kirinya. Seperti biasa, gadis itu mengenakan tas selempang berwarna krem dan sepatu olahraga.

Viona Karunasakara adalah gadis berparas manis. Kulitnya kuning langsat. Matanya bulat dan dipercantik dengan bulu mata yang lentik. Ada satu tahi lalat di sudut matanya, membuat gadis itu terlihat semakin manis. Viona juga terkenal karena ia mudah bergaul dengan semua orang, baik itu dosen, kakak tingkat, teman seangkatan hingga satpam dan ibu kantin juga akrab dengannya. Selain itu, ia juga terkenal karena menjadi mahasiswa dengan IP tertinggi pada semester satu.

Begitu mata Adrian dan Viona bertemu, gadis itu langsung tersenyum lebar hingga hampir semua gigi bagian depannya terlihat. Bukannya membalas senyuman gadis itu, Adrian malah mendengkus kesal. 

"Fans lo tuh. Senyum dikit dong." Yessa menyenggol lengan Adrian berniat menggoda. 

Laki-laki dengan rambut panjang itu malah melangkah menjauh dan memilih duduk jauh dari teman-temannya. Adrian duduk bersila dan membuka tasnya. Ia mengeluarkan kacamata dari tas dan mengenakannya. Beberapa teman-temannya mulai berbisik dengan topik yang sama seperti yang sudah-sudah.

"Adrian tuh temennya cuma Yessa doang ya?" Gadis yang duduk di depan Adrian berbisik pada gadis di sebelahnya. 

"Anaknya emang suka sendirian kayaknya." Gadis yang ditanyai menjawab sambil melirik sekilas. 

Adrian hanya menghela napas dan menundukkan kepalanya.

"Kak, Adrian. Sendirian aja nih?" Seorang gadis yang mengenakan tas krem duduk di samping Adrian.

"Gue bukan kakak lo. Kita seumuran." Adrian menjawab dengan nada sinis.

"Cie yang udah cari tahu tahun kelahiran aku. Kok tumben hari ini nggak dikucir? Padahal kalo dikucir gantengnya jadi nambah, loh." Gadis itu tersenyum kelewat lebar. Adrian bisa melihat gingsul yang dimiliki gadis itu.

Adrian hanya diam dan tidak meladeni Viona yang terus berbicara sambil menatapnya dengan tatapan penuh kagum.

"Kak Adrian." Viona memanggil dengan nada yang dibuat-buat.

Laki-laki berkaca mata itu malah menoleh ke arah lain. Ia berusaha memenuhi pikirannya dengan beberapa resep kopi yang baru ia pelajari.

"Kak." Gadis itu kembali memanggil, kali ini dengan nada suara yang biasa saja. 

Adrian tetap tidak menoleh. 

"Kak." 

Adrian akhirnya menoleh karena Viona terus memanggilnya. Ternyata salah satu kakak tingkat mereka sudah berdiri di samping gadis itu.

Punggung Adrian menegang, tetapi ia tetap berusaha tenang. Ia adalah anak yang tidak mau mencari masalah. Sebisa mungkin, ia tidak mau bersentuhan dengan hal-hal yang membuatnya terjebak dalam masalah. Namun, kini ia merasa kalau masalah tengah menghampirinya. 

"Lo Adrian Birendra?" Kakak tingkat itu bertanya dengan suara yang membuat Adrian terintimidasi.

"Iya, Kak." Adrian berniat berdiri untuk menghormati kakak tingkat yang tengah mengajaknya bicara. Namun, belum sempat ia beranjak dari duduknya, gadis di sampingnya sudah berdiri. 

"Kalau Kakak mau tanya kenapa dia nggak menyahut waktu dipanggil, itu semua salah saya. Tadi saya ngajak Adrian diskusi." Viona menjelaskan diiringi senyuman di wajahnya. 

"Diskusi tentang apa?" Kakak tingkat tersebut mengenal Viona dengan baik. Mereka pernah tergabung dalam ekstrakulikuler yang sama semasa SMA. Karena itu, kakak tingkat tersebut bertanya dengan nada seramah mungkin.

"Tentang masa depan sih kayaknya." Jawaban Viona membuat semua orang yang ada di sana bersorak.

Bukan rahasia lagi kalau Viona Karunasakara, si gadis peringkat satu naksir berat pada Adrian Birendra anak biasa dengan rambut gondrong dan wajah oriental. Banyak orang tidak berani mendekati Adrian karena laki-laki itu terlihat dingin dan tidak peduli pada sekitarnya. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri. Satu-satunya teman yang ia punya hanya Rakiyessa, ketua angkatan prodi arsitektur di Jatayu. Karena itu juga, tidak banyak orang yang mau berurusan dengan Adrian. Rakiyessa adalah anak dari seorang pengusaha ritel yang cukup terkenal di negeri ini.

"Viona." Kakak tingkat itu masti sudah mengamuk kalau yang dihadapinya bukan Viona. 

"Maaf, Kak. Tadi saya ngobrol sama Adrian, makanya dia nggak dengar kalau Kakak panggil." Kini Viona menjawab dengan suara yang lebih rendah. Ia merasa sedikit bersalah.

"Adrian, pidah ke depan." Kakak tingkat tersebut berbicara setelah menghela napas.

Adrian membawa tasnya dan pindah dengan langkah yang diseret.

"Sudahlah, lo emang nggak bisa jauh-jauh dari gue." Yessa menepuk lantai di sampingnya.

Adrian rasanya ingin segera beranjak dari sana. Namun, ia harus mengikuti kegiatan ini untuk tetap bisa bertahan di sana. Ada yang bilang kalau kuliah di teknik, solidaritas adalah harga mati. Ditambah lagi, ketua angkatan mereka adalah sahabatnya.

Kakak tingkat lainnya memulai pengarahan mengenai kegiatan yang akan segera mereka lakukan. Adrian banyak menunduk selama berlangsungnya pengarahan tersebut. Begitu kakak tingkat mereka meninggalkan lapangan dan Yessa mengambil alih komando, Adrian langsung menyelipkan jari-jarinya di antara helaian rambut panjang yang menutup matanya. Dari gerak tangannya yang lihai, semua orang juga tahu kalau Adrian sudah sering melakukan hal itu. 

Adrian mengumpulkan semua rambutnya hingga membentuk kucir kuda. Ia melepaskan ikat rambut yang melingkar di pergelangan tangannya dan mengikat rambutnya. Setelah melakukan hal itu, ia mengembuskan napas lega.

Pertemuan mereka selesai setelah Yessa meneriakkan yel-yel himpunan mereka. Adrian berniat langsung bangkit dari duduknya, tetapi geraknya tertahan karena seorang gadis dengan gingsul kini tengah mengulurkan tangan ke arahnya.

"Butuh bantuan?" Gadis itu sepertinya tidak lelah untuk tersenyum. Adrian sempat bertanya-tanya, apa tidak melelahkan tersenyum sepanjang hari sepertinya.

"Gue bisa sendiri." Dengan mudah Adrian beranjak dari tempatnya dan ia melangkah mendekati Yessa yang tengah berbicara dengan teman-teman lain.

"Terima kasih. Jangan lupa kita ada kelas jam 10." Gadis itu sedikit berteriak. Ketika Adrian menoleh, gadis itu tengah tersenyum selebar biasanya. Sepertinya diabaikan sudah menjadi makanannya sehari-hari. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro