3. Partner in Crime

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beberapa orang pasti bertanya-tanya mengenai hubungan pertemanan Adrian dengan Yessa. Mereka tidak terlalu dekat sebagai sahabat, tetapi juga terlalu dekat jika hanya disebut teman.  Yessa memiliki banyak teman. Ia ketua angkatan untuk prodi arsitektur dan salah satu vokalis yang selalu lalu lalang di setiap acara kampus. Belum lagi status keluarganya yang berada di atas rata-rata. Adrian kadang bertanya pada dirinya sendiri, apa yang dicari oleh seorang Rakiyessa dari dirinya?

Adrian pertama kali bertemu dengan Yessa saat pendaftaran masuk ke Universitas Jatayu, ia mengurus dokumen untuk beasiswanya. Adrian kira, laki-laki berparas kaku tersebut juga turut mengurus dokumen untuk beasiswa yang sama. Laki-laki itu terlihat sangat serius untuk ukuran mahasiswa baru yang mendaftar beasiswa. Namun, Adrian berusaha mengabaikan semua pertanyaan yang muncul di kepalanya. 

Laki-laki yang membawa map serupa dengannya itu tersenyum lebar. Mungkin ini pertama kalinya Adrian melihat orang tersenyum selebar itu. Wajah kaku laki-laki itu lenyap entah kemana. Yang terlihat kini hanya seorang anak polos dengan senyuman kelewat lebar.

"Gue Rakiyessa. Biasa dipanggil Yessa." Laki-laki berkulit cokelat itu mengulurkan tangan dan kembali tersenyum.

Adrian menyambut tangan Yessa dengan cepat, "Adrian." 

"Nama lo Adrian aja? Nggak ada panjangnya gitu? Eit, enggak. Maksud gue nama lengkapnya nggak ada gitu? Atau emang cuma satu kata aja?" Yessa melontarkan banyak pertanyaan sekaligus. Adrian dibuat bingung harus menjawab pertanyaan yang mana. 

"Adrian Birendra." Adrian tersenyum. Kedua mata sipit laki-laki itu pun turut tersenyum. 

"Gue suka gaya rambut lo. Sudah gondrong dari zaman SMA?" Yessa sibuk melihat rambut Adrian yang dikucir menyerupai ekor kuda. 

Adrian mengangguk. Ternyata Yessa tidak terlihat sekaku sebelumnya, justru kini ia kelihatan sangat menyenangkan. 

"Iya. Gue sudah punya rambut begini sejak SMA." Adrian menjawab dengan suara lebih keras dari sebelumnya. Ia merasa bisa berbicara dengan nyaman.

"Wah, keren. Gue nggak pernah dikasih izin buat panjangin rambut. Lo lihat nih rambut gue, paling panjang 4 cm. Perlu gue kasih tahu nih ya sebelumnya, bapak gue bukan orang militer. Boro-boro deh ya. Doi cuma dagang kerjaannya, tapi gue disuruh potong rambut 3-2-1 ala pasukan militer. Suka nggak habis pikir gue." 

Yessa bercerita panjang hingga membuat Adrian tersenyum. Dalam hati Adrian berharap kalau laki-laki ceria ini bisa menjadi salah satu temannya. 

Jika doa bisa dibatalkan, rasanya Adrian ingin menarik kata-katanya saat itu. Bukan karena ia tidak bersyukur, tetapi tingkah sahabatnya itu terlalu ajaib untuk dihadapi. Kalau boleh memilih, Adrian ingin tukar tambah dengan teman yang lain. Namun, sayangnya hal itu tidak mungkin ia lakukan. 

Yessa sering membeli minuman favorit Adrian dan meletakkannya di konter setelah ia selesai membayar. Laki-laki itu pernah menyewa seluruh kafe tempat Adrian bekerja hanya untuk membuat Adrian menemaninya bermain game online. Kejadian paling ajaib yang belum lama ini terjadi adalah Yessa memindahkan pesta ulang tahunnya ke kafe tempat Adrian bekerja hanya karena Adrian tidak mendapatkan izin kerja hari itu. Namun, Adrian bersyukur karena tindakan ajaib sahabatnya itu, bosnya jadi bersikap lebih baik padanya. 

Belum lama Adrian memikirkan Yessa, laki-laki berambut cepak itu tiba-tiba muncul bersama seorang gadis yang terlihat familiar.

"Selamat sore. Selamat datang di Coffee Prince. Bisa saya bantu untuk pesanannya ya, Kak?" Adrian mengatakan sederet kalimat yang menjadi aturan baku di kafe tempatnya bekerja. 

"Signature di sini apa ya, Kak?" Seperti biasa Yessa menaik-turunkan alisnya. 

"Bisa dilihat di layar, Kak. Menu dengan stiker bintang adalah signature di sini." Adrian menunjuk layar yang menghadap ke Yessa. Kalau saja ia tidak berusaha bersikap profesional, rasanya ia ingin mengusir laki-laki yang kini ada di hadapannya. 

Selama hampir setengah tahun menjadi pelanggan di kafe tempat Adrian bekerja, Yessa hanya memesan ice espresso dan ice coffee latte untuknya. Sepertinya Yessa sengaja berlama-lama berdiri di sana untuk membuat Adrian kesal. Setelah cukup lama menghabiskan waktu untuk memilih menu, akhirnya mereka duduk dan hal itu cukup membuat Adrian lega.

Kafe itu sekarang sudah lengang. Yang tersisa hanya pekerja yang sedang bersih-bersih dan seorang pelanggan di meja yang terletak di luar ruangan. Pekerja lain tidak mengusir laki-laki itu karena mereka tahu kalau laki-laki itu adalah teman Adrian. 

"Lo nggak mau tanya sesuatu gitu? Kayak siapa cewek tadi? Atau kenapa gue balik lagi ke sini?" 

Adrian yang sudah selesai dengan semua tugasnya berdiri di samping Yessa. Ia melepaskan ikat rambutnya. Ia membiarkan angin malam membuat rambutnya bergerak di sekitar wajahnya. 

"Cewek baru lagi, 'kan?" Setelah bertanya, Adrian tidak menunggu Yessa menjawab. Ia malah melangkah meninggalkan Yessa.

"Itu adik gue. Dari sebulan lalu udah pengen banget ketemu sama lo. Dia lihat lo waktu di pesta ulang tahun gue." 

Adrian berhenti tepat di bawah lampu jalan. Kini ia seperti pemeran utama pada sebuah pertunjukan. Lampu jalan tersebut membuat Adrian kelihatan tidak nyata. Kulit pucatnya kelihatan kontras dengan rambut hitam yang dibiarkan terurai menutupi sebagian wajahnya.

Adrian menyelipkan jari-jarinya ke helaian rambut yang menutupi wajahnya. Ia mengumpulkan mereka jadi satu, mengikatnya dan membiarkan setengah lainnya terurai. Yessa sempat dibuat terdiam sejenak. Wajah Adrian selalu kelihatan berbeda sesudah ia mengikat rambutnya. Yessa lebih suka melihat Adrian mengikat rambutnya. Laki-laki itu memang terlihat lebih galak jika rambutnya diikat, tetapi Yessa merasa Adrian lebih ceria jika rambutnya terikat. Laki-laki bermata sipit itu selalu kelihatan lebih murung dan dingin jika rambutnya dibiarkan terurai. 

"Kebiasaan. Lo suka banget cari perhatian. Ngapain coba ikat rambut pas di bawah lampu jalan gitu? Lo kira bakal keren apa? Bisa-bisa lo dikira setan tau." Yessa sewot sambil berjalan menghampiri Adrian yang kini tersenyum padanya. Senyuman yang juga membuat matanya membentuk bulan sabit kembar. 

Yessa merangkul kemudian menarik kucir rambut Adrian. Hal ini membuat Adrian memekik dan refleks mengejar laki-laki yang sudah melarikan diri itu. Mereka berlarian di halaman kafe. Jika ditanya arti Yessa dalam hidupnya, laki-laki berambut panjang itu pasti menjawab kalau Yessa adalah salah satu orang yang paling ia syukuri kehadirannya.

***

Ruang kelas masih sepi ketika Adrian tiba. Hari ini ia menghadiri kelas mata kuliah matematika dasar. Datang lebih pagi adalah pilihan terbaik karena ia bisa memilih tempat duduk yang strategis. Ia melepaskan ikat rambutnya kemudian mengikat ulang kembali rambut yang terurai. Adrian meletakkan tangannya di atas meja dan menyandarkan kepalanya. Selain mendapat tempat strategis, ia jadi punya kesempatan untuk tidur sebentar.

Kelas menjadi lebih ramai setelah beberapa menit. Adrian bisa merasakan kalau ada seseorang yang duduk di sampingnya. Ia menduga kalau orang itu adalah Yessa karena laki-laki itu tidak jauh berbeda dengan Adrian kalau soal memilih tempat duduk. 

"Selamat pagi." 

Sontak Adrian mengangkat kepalanya. Ia mengenali suara itu dan sudah menebak kalau yang menarik ujung bajunya adalah Viona.

"Kali ini apa?" Adrian bertanya dengan wajah sejutek mungkin. 

"Nggak apa-apa. Cuma mau kasih ini." Gadis yang kini rambutnya dikucir itu meletakkan sebuah kotak bekal di meja Adrian. "Kalau sudah sarapan, buat makan siang aja."

Baru saja Adrian ingin mengembalikan kotak bekal itu, tetapi Viona sudah beranjak dan berjalan ke depan kelas. Gadis itu memang selalu duduk di kursi deretan terdepan. Setelah satu semester berada di kelas yang sama, Adrian baru sadar kalau ia tidak pernah melihat Viona berpindah dari baris terdepan.

"Oy, Bro. Apa nih?" Yessa duduk di kursi yang sebelumnya diduduki Viona. 

"Bekal dari Viona." Adrian menjawab malas dan menggeser kotak bekal itu ke meja Yessa.

"Rezeki itu nggak boleh ditolak loh." Yessa mengintip isi kotak bekal itu dan ia segera menutupnya kembali ketika menyadari kalau dosen mereka baru saja memasuki ruang kelas.

Kelas yang sebelumnya riuh menjadi senyap seketika. Semua kegiatan hampir berhenti karena dosen yang memasuki kelas mereka kali ini adalah salah satu dosen galak yang ada di prodi mereka.

"Silahkan bagikan ini." Dosen bertubuh tambun dan berkumis tebal itu menyodorkan setumpuk kertas dan menyerahkannya pada Viona. 

Gadis itu bangkit dari duduknya dan mulai membagikan kertas yang ada di tangannya. Beberapa mahasiswa mulai berbisik dan bertanya-tanya mengenai kertas yang dipegang oleh Viona. Beberapa orang menghela napas lega, beberapa lainnya mulai menoleh satu sama lain untuk mengecek. 

Gadis dengan rambut terikat itu menyerahkan kertas pada Yessa dan Adrian. Ia sempat menggeleng pelan ketika menyerahkan kertas tersebut. Yessa langsung menyambar kertas itu dan mendengkus kasar. Ia melihat kertas yang dipegang Adrian dan ia tersenyum. Nilai Adrian jauh di bawah nilainya. 

"Ini peringatan untuk yang mendapat nilai di bawah 50. Kalau ujian ke-2 nanti nilai kalian masih seperti ini, saya sendiri yang akan menghapus nama kalian dari daftar nilai." Pria paruh baya itu berbicara dengan nada yang mengintimidasi. 

Kelas kembali senyap. Bahkan Yessa yang biasanya sangat aktif bergerak hanya bisa mengerjap. Saat seperti ini membuat Adrian sangat ingin melepaskan ikat rambutnya dan mengikatnya kembali agar ia tenang. 


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro