24. Kunjungan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari masih pagi ketika gadis berambut gelombang dengan pakaian tidur itu sudah disibukkan dengan kucing peliharaannya. Meski belum membasuh wajah, Viona sudah sibuk menuangkan makanan kucing ke mangkuknya. Setelah meletakkan makanan kucing kembali ke tempatnya, gadis itu mengusap punggung kucingnya yang sedang makan. Viona cengar-cengir sendiri ketika mengingat kejadian yang terjadi kemarin. 

Viona dan Yessa kembali duduk di gazebo sebelah sekretariat. Laki-laki berambut panjang terikat itu tengah memberi makan kucing tidak jauh dari gazebo tempat Viona dan Yessa duduk. Wajah Adrian kelihatan lebih cerah dari sebelumnya. Laki-laki itu banyak tersenyum meski hanya melihat kucing yang sedang makan.

"Kayaknya dia gila setelah masuk ruangan Bu Indah." Yessa berbisik pada Viona yang duduk di sampingnya.

"Dia pasti senang banget bisa pertahanin rambut itu. Seenggaknya Nenek bisa mengenali dia." Viona berbicara menjawab Yessa, tetapi pandangannya tidak lepas dari Adrian.

"Wait, lo tahu soal Nenek?" Laki-laki berambut cepak itu membelalak hingga mata bulatnya kelihatan lebih besar.

"Apa yang Viona Karunasakara nggak tahu?" Gadis itu tersenyum sombong. Kini perhatiannya teralih pada Yessa yang kelihatan sangat terkejut.

"Gue rasa Adrian sudah percaya sama lo. Dia nggak pernah bilang apa pun sama gue sebelumnya sampai gue melihat sendiri waktu main ke rumahnya. Nenek benar-benar baik, tapi sayang dia nggak sadar kalau Adrian itu cucunya dan bukan anaknya. Bahkan gue harus memperkenalkan diri berkali-kali setiap main ke sana."

"Jadi pengen ketemu Nenek, deh." Viona menopang dagunya.

"Kalau Adrian percaya sama lo, dia pasti kasih izin lo ketemu sama Nenek."

"Lo beneran mau ketemu Nenek?" Adrian tiba-tiba bertanya. Entah sejak kapan laki-laki itu sudah berdiri di dekat mereka.

Viona mengangguk ceria. Senyumnya mengembang. Yessa sampai bergidik ngeri melihat tingkah gadis itu.

"Gue cabut, lanjutin aja obrolan kalian. Kalo ada apa-apa telpon gue, Yan. Gue takut lo diapa-apain sama bocah ini." Yessa melangkah menjauh setelah mengatakan hal itu.

Viona cemberut. Seperti biasa, ia memajukan bibir tebalnya hingga mirip seperti bebek.

"Jangan cemberut gitu. Kayak nggak tahu Yessa aja." Adrian mengusap pelan puncak kepala Viona.

Gadis itu mengerjap tidak percaya. Adrian yang menyadari kalau ia tengah menyentuh kepala Viona pun segera menarik tangannya kembali. 

"Besok kan Minggu, mau ke rumah gue?" Adrian bertanya setelah berdehem.

Pertanyaan Adrian adalah pertanyaan sederhana, tetapi Viona benar-benar merasa senang. Gadis itu bahkan berdiri dari duduknya.

"Ehem." Suara deheman Mami membuyarkan lamunan Viona. "Dari tadi Mami panggil loh. Kok nggak menyahut. Kirain masih tidur, eh ternyata lagi ngelamun."

Viona cengar-cengir. Ia menyapa wanita paruh baya itu dengan suara parau. "Pagi, Mami aku yang paling cantik."

Mami mengecup puncak kepala Viona dan mengusap punggung gadis itu setelahnya. "Tumben, kenapa hari libur gini kamu bangun pagi?"

Viona tersenyum penuh arti. 

"Mau jalan sama Adrian?" Mami bertanya dengan senyum yang tidak mau kalah.

"Ih, kok Mami tahu sih? Jangan-jangan dulu Mami cenayang ya? Aku kan belum cerita." Gadis itu protes hingga bangkit dari duduknya.

"Tahu dong, Mami gitu loh." Wanita dengan rambut bergelombang itu tertawa setelah melihat Viona ngambek. Gadis itu langsung memutar tubuhnya dan mengambil handuk.

"Aku mau mandi dulu." 

Mami mengambil alih kamar Viona dan mulai merapikannya. Viona adalah gadis cerdas dan selalu ceria, tetapi kalau urusan kerapian, gadis itu akan mendapat nilai nol. Meja belajarnya selalu dihiasi dengan berbagai buku yang terbuka dan gulungan kertas gambar yang berserak. 

Viona memang tidak mirip secara fisik dengan Papi, tetapi hampir semua sifat ia wariskan dengan sempurna. Sejak kecil gadis itu sudah memilih hal yang ia sukai, contohnya kucing, gitar dan menggambar. Semua kesukaannya itu ia dapatkan dari Papi. 

Gadis berhanduk itu memasuki kamarnya yang sudah rapi, kemudian ia berteriak, "Makasih, Mami." 

Wanita yang kini mengenakan apron itu tersenyum mendengar suara Viona. Tidak lama setelah itu, Viona keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi. 

"Mami kira kamu bakalan pakai dress." Mami melihat Viona dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Ih, Mami. Emangnya Vio mau ke mana? Cuma ke rumah Adrian aja kok." Gadis itu memakan rotinya dengan cepat.

"Loh, memangnya kalau ke rumah Adrian nggak boleh pakai dress?"

Viona menghela napas. "Adrian itu cuma tinggal sama neneknya, Mi. Jadi, Vio harus ikutin tren anak zaman dulu. Kemeja sama jeans. Oke, 'kan?"

"Anak Mami memang paling bisa. Ini Mami buatin kue kering buat buah tangan. Salam sama Adrian, ya." Mami menyerahkan satu toples kue kering. Kebetulan Mami baru selesai memanggang kue untuk dijual.

"Makasih, Mami." Gadis itu menyalami tangan Mami.

Viona berjalan sambil melihat ponselnya. Ia tengah memastikan kalau dirinya tidak tersesat. Untuk urusan navigasi dan pencarian lokasi, sepertinya Viona bisa jadi yang terburuk. Setelah menyerah karena tidak menemukan rumah yang dimaksud, akhirnya Viona menelepon Adrian.

"Halo, aku di pos ronda, tapi nggak lihat rumah putih berpagar tanaman." Viona mengeluh setelah meluruskan kakinya. Kini ia duduk di salah satu pos ronda.

"Bisa deskripsikan apa yang lo lihat sekarang?"

"Di depan aku ada warung sembako yang tulisannya Mbok Jum." Viona menjelaskan sambil menyipitkan mata berusaha melihat spanduk yang ada di depan warung tersebut.

"Oke, gue ke sana." 

Viona kini mengamati sekelilingnya. Lingkungan rumah Adrian kelihatan lebih sederhana daripada lingkungan rumahnya. Tiba-tiba pandangan Viona terkunci pada sosok seorang laki-laki yang berjalan ke arahnya. Laki-laki itu hanya mengenakan kaus hitam polos dan celana training dengan warna senada. Rambut panjangnya diikat sebagian dengan bagian depan yang terurai.

"Ayo." Adrian langsung melemparkan senyum ketika mata mereka bertemu.

Gadis berambut gelombang itu membeku di tempat. Viona tidak menyangka kalau laki-laki dengan pakaian sederhana itu mampu membuatnya kembali jatuh hati. 

"Viona." Adrian menjentikkan jarinya dan hal itu membuat Viona tersadar dari lamunannya.

"Oh, ayo." Gadis itu berjalan mengikuti Adrian.

"Eh, Adrian. Sama pacarnya ya? Boleh dong tante dikenalin." Seorang ibu yang baru saja keluar dari warung menyapa Adrian dengan ramah.

"Ini Viona, masih jadi teman saya Tante." Adrian tersenyum jail.

"Oh, berarti ada rencana ya? Tante doain lancar." Ibu itu menepuk lengan Adrian. "Cowok kayak Adrian ini nggak boleh disia-siain loh. Ibu-ibu kampung sini siap angkat Adrian jadi mantu kalo Neng Viona nggak mau." Ibu tersebut ganti menepuk lengan Viona.

Viona mengangguk kaku. Rasanya ada sesuatu yang salah dari percakapan mereka. Gadis itu sampai menggaruk kepalanya karena sulit memahami hal yang tengah dibahas.

"Makasih, Tante. Adrian permisi ya." 

Viona kembali melangkah mengikuti Adrian hingga mereka tiba di sebuah rumah yang dikelilingi oleh tanaman pagar. Viona sempat terkagum melihat taman di pekarangan rumah yang terawat dengan baik.

Adrian langsung mengajak Viona ke halaman belakang untuk bertemu Nenek. Wanita tua itu tengah duduk di bangku taman yang berada di bawah pohon.

"Nek, ini Viona teman Adrian." Laki-laki itu mempersilakan Viona untuk menjabat tangan Nenek.

Viona berusaha tersenyum seramah mungkin. Tangannya gemetar karena gugup.

"Lo duduk di sini aja. Gue mau buat minum dulu." Adrian meninggalkan Viona berdua saja dengan Nenek.

Laki-laki dengan rambut terikat itu membawa sebuah nampan dengan tiga cangkir teh. Adrian tersenyum karena melihat Viona yang sudah akrab berbincang dengan Nenek. Gadis itu juga memberikan setoples kue kering yang kebetulan adalah kue kesukaan Nenek. 

"Pacar kamu cantik, Mada." Wanita itu berbicara setelah Adrian meletakkan teh di meja.

Dahi Viona berkerut. Ia menatap Adrian meminta penjelasan. Namun, laki-laki itu hanya tersenyum dan turut duduk bersama mereka. Nenek tidak banyak bercerita, beliau sibuk memperhatikan Viona dan Adrian yang berdebat tentang banyak hal. Setelah beberapa jam berbincang, akhirnya gadis itu pamit pulang. 

Adrian mengantar Viona pulang hingga keluar gang. Mereka masih berlanjut berdebat mengenai hal yang belum usai dibahas sebelumnya. 

"Oke, aku kalah. Kamu yang benar. Ternyata kamu keras kepala juga ya. Benar-benar nggak mau kalah." 

"Untuk hal itu gue akui." Adrian tersenyum setelahnya.

"Mada itu ayah kamu?" Viona bertanya dengan hati-hati.

"Iya. Untung tadi aku dipanggil Mada bukannya disapa dengan 'Siapa kamu?' " Adrian menjawab dengan nada bercanda.

Viona tersenyum pahit. Ia hanya menyaksikan sangat sedikit dari apa yang sudah Adrian ceritakan sebelumnya.

"Oh, iya. Nilai Fisika Dasar kamu sudah berubah belum?" Viona berusaha mengganti topik pembicaraan.

Adrian menggeleng. "Kalau sampai besok belum juga berubah, kayaknya gue harus menghadap Bu Indah lagi."

"Semoga aja malam ini nilai kamu berubah." Viona menautkan kedua tangannya ketika mengatakan hal itu.

"Semoga." Adrian menjawab pelan. "Supaya gue bisa kasih hadiah buat lo," kata Adrian dalam hati. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro