25. Berhasil

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Adrian tengah duduk di kursi belajarnya sambil memegang gitar. Ia memetik gitarnya sambil terus menatap buku musik usang yang masih bertengger di meja belajarnya. Laki-laki itu sengaja membuka jendela, membiarkan angin masuk dan membuat ruangan kecil itu lebih sejuk. Hari ini Adrian tidak berniat pergi ke kampus karena memang tidak ada yang bisa dikerjakan. Setidaknya ia bisa menikmati waktu untuk dirinya sendiri sebelum pergi bekerja ke kafe.

Mata sipit Adrian masih sibuk menatap buku itu ketika ponselnya berdering. Ia melihat nama yang terpampang di layar. Laki-laki dengan rambut terikat itu tersenyum jail dan kembali memetik gitarnya. Adrian kira panggilan itu akan berakhir ketika ia mengabaikannya, tetapi panggilan itu tidak kunjung berhenti. Adrian akhirnya menyerah dan menjawab panggilan dari sahabatnya itu.

"Etdah, lo dari mana aja? Bisa-bisanya lo buat seorang Yessa menunggu!" Laki-laki itu berteriak dengan nada yang semakin tinggi pada setiap katanya.

"Gue lagi main gitar. Kenapa?" Adrian menjawab santai.

"Cek SIAKAD sekarang! Nilai lo sudah berubah." Yessa berseru heboh.

"Nilai mana?" Adrian menjawab sambil membalikkan lembaran buku musik yang ada di depannya. Mata Adrian membelalak ketika menemukan sederet nama yang tidak asing.

"Nilai Fisika Dasar lo, lah. Mana lagi." Yessa mengeluh karena respon Adrian yang ada di luar dugaannya.

Tidak ada jawaban dari Adrian. 

"Yan. Halo. Lo denger gue nggak, sih?" Yessa bertanya dengan nada khawatir.

"Gue ke kampus sekarang." Adrian langsung memutuskan panggilan tersebut. Ia segera mengambil jaket dan tasnya. Kemudian ia pergi ke kampus sambil membawa buku musik usang di tangannya.

***

Setelah beberapa tahun menjadi dosen, Indah tidak pernah merasa terkesan pada salah satu mahasiswanya. Setiap kelas tentu memiliki mahasiswa yang kelewat pintar dan ada mahasiswa yang kerjanya hanya menumpang tidur di kelas. Setiap tahun semuanya terlihat sama tanpa ada sesuatu yang membuat mereka berbeda. Semua berubah ketika Indah mendapati seseorang yang sangat familiar berada di kelasnya.

Anak laki-laki itu kelihatan sangat mirip dengan sahabat sekaligus cinta pertamanya. Mata, hidung, bibir dan hampir semua fitur wajahnya serupa. Yang berbeda hanya kulit anak itu pucat, tidak coklat seperti seseorang yang masih ia ingat setiap ia menutup mata. Saat pertama kali melihat Adrian, jantungnya serasa meluncur jatuh ke perut.

Dengan pertahanan yang ia buat sebaik mungkin, Indah melanjutkan kelasnya tanpa menunjukkan rasa terganggu sama sekali. Ia hanya melirik anak itu sekilas ketika ia melakukan presensi.

"Adrian Birendra, jadi nama itu yang diberikan untukmu?" Indah berbicara pada dirinya sendiri.

Setelah kelas berakhir, Indah hampir pingsan karena tanpa sengaja bertatapan dengan anak itu. Dengan tangan dan kaki gemetar, ia melangkah keluar dari kelas. Ingatan masa lalunya kembali layaknya film lama yang berputar.

Indah bangun dengan kepala berat dan mendapati sahabatnya ada di sampingnya. Malam itu adalah sebuah kecelakaan. Ia hanya menemani Mada minum karena laki-laki itu baru saja putus cinta. Andai Indah bisa memutar waktu, ia akan memilih untuk tidak menemani Mada malam itu. Ia tidak akan duduk di sana dan mendengarkan curhat laki-laki itu dan dengan bodohnya ia terbakar cemburu hingga alkohol merenggut kesadarannya. 

Setelah kejadian itu, Indah memutuskan semua kontak dengan Mada. Wanita itu memilih pindah ke luar kota untuk menenangkan diri. Belum juga tiga bulan berlalu, Indah dikejutkan oleh pindahnya Mada ke pelosok negeri. Setelah menyelesaikan studi, laki-laki itu langsung mendapatkan pekerjaan di tempat yang jauh.

Sepuluh bulan setelah kejadian itu, Indah datang ke rumah orang tua Mada bersama seorang bayi yang terbungkus selimut. Ia meletakkan bayi dan sebuah surat yang menceritakan tentang kecelakaan itu tepat di depan pintu rumah. Ia pergi setelah mengetuk pintu rumah itu. Setelah itu, ia pergi ke luar negeri untuk memulai kehidupan baru. Ia melanjutkan studinya dan tidak kembali hingga tiga tahun lalu orang tuanya memohon agar ia kembali ke rumah. 

"Tumben berdiri di sini? Lagi lihat apa?" Pria berkumis dan bertubuh tambun itu berdiri di samping Indah yang tengah berdiri di dekat jendela.

"Lagi cari angin saja, Pak." Indah berkilah. Ia berusaha pergi dari sana.

"Anak itu istimewa." Pak Sopar melihat seseorang yang duduk di hamparan rumput. Kini mereka tengah berada di lantai tiga sehingga jarak pandangnya jadi lebih luas.

Indah tidak kelihatan tertarik. Wanita itu hanya menatap Pak Sopar datar.

"Dia dibesarkan hanya oleh neneknya. Bahkan dia tidak pernah bertemu orang tuanya. Sejak SMA dia sudah bekerja. Saat ini dia punya dua pekerjaan paruh waktu."

Indah kehilangan kekuatan kakinya. Matanya mengerjap dan tangannya terkepal, ia berusaha tetap berdiri di sana.

Pak Sopar tidak mengalihkan pandangannya dari Adrian yang tengah duduk sendirian di bawah pohon. "Dia mungkin kelihatan dingin dan pendiam, tapi anak itu sangat baik. Jangan mempersulit hidupnya. Hidup anak itu sudah sangat sulit."

"Maaf, Pak. Saya permisi dulu." Indah segera pergi dari tempat itu. Ia segera menuju kamar mandi dan menangis di sana. 

Andai dulu ia tidak meninggalkan anak itu. Andai dulu ia berusaha untuk memperjuangkan anak itu. Andai ia tahu kalau anak itu akan menderita. Andai ia bisa memutar waktu kembali, ia tidak akan meninggalkan anak itu hanya untuk membiarkannya menderita. Ia kira Mada akan membesarkan anak itu dengan baik, tetapi nyatanya Mada tidak ada di sana untuk membesarkan anak itu. 

Pintu ruangan Indah diketuk dengan cukup keras. Indah menjawab dan mempersilakan seseorang yang mengetuk pintu itu untuk masuk.

Indah bangkit berdiri karena terkejut. "Adrian. Sedang apa kamu di sini?"

Adrian terengah-engah. Matanya sendu dan rambutnya dibiarkan terurai sepenuhnya. "Ibu pernah tanya nama ayah saya, 'kan? Namanya Pramada. Ibu kenal?" 

Lidah Indah tiba-tiba kelu. Ia tidak menduga kalau Adrian akan bertanya dengan kondisi sangat kacau seperti sekarang. 

Adrian membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah buku musik usang dari sana. Laki-laki itu membuka lembar yang memuat nama lengkap Indah di sana. "Ibu pasti kenal ayah saya, 'kan?"

"Adrian, kamu boleh duduk dulu." Indah berbicara terbata. 

Adrian menghela napas panjang dan berusaha mengatur napasnya. Setelah Adrian duduk, barulah Indah meraih buku itu. Buku yang ada di tangannya kini adalah buku yang memuat lagu yang belum selesai ditulis. Ia dan Mada memang menulis lagu ini karena mereka tergabung dalam satu band yang sama. 

"Mada adalah salah satu sahabat saya." Indah masih mengusap buku usang itu.

Adrian menunduk. Hampir seluruh wajahnya tertutup rambut. Ragu-ragu ia mengangkat kepala dan bertanya, "Apa Ibu kenal siapa Mama saya? Maaf kalau saya lancang. Saya nggak tahu bagaimana rupa Mama saya. Mungkin Ibu punya fotonya? Kata Nenek, Mama saya sudah meninggal. Sayangnya Nenek nggak punya foto Mama."

Indah menyembunyikan tangannya yang gemetar. Indah menatap mata Adrian. Mata anak itu cokelat muda sama seperti miliknya.

"Nenek bilang, Mama itu sahabatnya Papa." Adrian mengusap tengkuknya. "Mungkin saja Ibu kenal? Saya nggak pernah bertanya banyak sama Nenek karena Nenek pasti sedih kalau saya bertanya."

"Saya kira kamu ke sini mau protes nilai. Ini lingkungan kampus. Saya dosen dan kamu mahasiswa. Bukankah aneh jika kita membahas masalah pribadi?" Indah menjawab dingin.

Mata Adrian berkaca-kaca. Ia tidak menduga akan mendapat pertanyaan demikian. 

"Maaf, saya sudah mengganggu. Saya permisi." Adrian bangkit dari duduknya dan segera berjalan mendekati pintu.

"Saya kenal Mama kamu." 

Adrian menghentikan langkahnya. Ia tidak berbalik. Kini ia berdiri berhadapan dengan pintu.

"Dia gadis manis, pandai dan sedikit ceroboh. Tubuhnya tinggi dan rambut lurusnya selalu panjang. Kulitmu pucat persis seperti dia. Maaf, sayangnya saya tidak punya fotonya." Indah berusaha berbicara dengan nada normal. Genggaman tangannya semakin kuat. Ia berusaha mati-matian untuk menahan tangis. Ini tidak apa-apa. Memang seharusnya ia menganggap Mamanya sudah mati. Ini yang terbaik.

"Terima kasih, Bu." Adrian mempercepat gerakannya membuka pintu. Ia hanya berbalik sebentar untuk mengangguk sebagai tanda terima kasih.

Mata Adrian sudah basah. Ia segera berlari ke lapangan rumput dan duduk di bawah pohon besar. Adrian kira ia akan menangis jika sendirian, tetapi ia malah tidak bisa menangis sekarang.

"Seenggaknya aku tahu kalau Mama nggak mirip Viona. Rambut Mama lurus. Kayaknya mimpi aku selama ini kedistraksi sama kehadiran Viona." Adrian berbicara pada dirinya sendiri. Kemudian ia tertawa. Bisa-bisanya di saat seperti ini, ia malah memikirkan gadis itu.

"Hayo, mikirin aku ya?" Gadis berambut gelombang itu duduk tepat di samping Adrian.

"Ge-er banget. Lagi mikirin Bu Indah." Adrian menjawab datar. Namun, senyum tipisnya merekah.

"Loh kok mikirin Bu Indah? Bukannya nilai kamu sudah berubah?" 

Adrian menepuk jidatnya. "Ah, iya, nilai."

Laki-laki dengan rambut terurai itu melepaskan ikat rambut yangmelingkar di tangan kirinya dan menggunakannya untuk mengikat rambut. Ia segera membuka SIAKAD untuk memeriksa nilainya. Adrian sampai melakukan zoon in dan zoom out pada ponselnya karena tidak percaya.

"Gue dapet A?" Adrian bertanya karena masih tidak percaya.

"Selamat, kamu jadi salah satu dari orang-orang terhormat yang bisa memanjangkan rambut." Viona berbicara sambil tersenyum. Senyum yang mampu membuat Adrian melihat gingsul dan lesung pipinya.

Adrian meletakkan ponselnya dan menarik gadis itu dalam pelukan. Ia mengucapkan terima kasih tanpa henti. Viona yang awalnya terkejut, akhirnya membalas pelukan Adrian. 


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro