BAB 10: Absen dalam Kegiatan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


“Aku ingin mengajak kerja sama ….”

Di tikar depan tenda Sangga 1 Putra, Fathur berdiri menghadap Ghani dan Ahim yang tengah duduk. Air muka putra berwajah khas itu cukup serius. 

Namun, Ahim mengusirnya. “Ghani lagi enggak bisa diajak ngomong!”

“Aku tidak bicara ke kamu!”

Si parkit menentang tak senang, laksana mengajak bermusuhan. Kalau bisa, dia ingin menyanyi kidung penolak bala agar si Tukang Ngatur lesap. Sementara itu, Tukang Ngatur membangun konstruksi benteng guna bertahan. 

“Boleh.”

Tutur barusan begitu kentara, tak usah membuat orang-orang bertanya, ‘Mulut siapa itu?’ saking terangnya. Sampai-sampai melahirkan tatapan tak percaya dari si rekan seperjuangan.

“Tapi--tapi--tapi--”

“Baik, karena Ghani sudah mengiakan, berarti kamu juga ikut.” Fathur menyilangkan lengan serta mendermakan lirikan puas. 

Ahim meracau tak jelas, membuat dua putra di dekatnya harus memblokade jalur masuk pendengaran. Kasihan Ghani yang juga harus menahan rasa sakit pada mata kanannya.

Saat itulah, datang sesosok Juru Selamat yang mungkin habis jatuh dari langit, menyandang jati diri gender hawa, berkacamata, juga kerudung panjang. Jangan lupakan pesona jaran goyang yang dia pasang. 

“Bahas apa?”

Fathur bagaikan tersengat arus listrik afeksi bersalut hipnosis. Senyum cerah terbit  diiringi kial invitasi persahabatan.

“Alya! Kebetulan, aku mau minta tolong ….”

***

Bagian dalam Gedung Khusus Panitia begitu lapang sampai-sampai bisa memuat lima kali dua minibus bercat darah kering yang terparkir di halaman. Banyak matras tidur berlapis seprai dan selimut, lengkap dengan bantal serta guling. Kumpulan tas yang mengundang untuk digeledah tergeletak mmenuhi salah satu sisi dinding.

Ini serasa penginapan cakap. Padahal ada di Bumi Perkemahan.

Fathur bersama empat putra lain duduk mengelilingi meja kayu di tengah ruangan, dengan formasi dua-dua-satu. Tampaknya mereka masih harus menunggu seseorang, atau beberapa orang. Tak ada yang berminat membuka konversasi, masing-masing sibuk larut dalam dunia imajinasi buatan sendiri. Atau istilah praktisnya domblong.

Ahim asyik memainkan ujung setangan leher, gulung-bentang, gulung-bentang. Ghani masih beradaptasi dengan visi dunia yang dipandang sebelah mata. Ryan tersesat dalam labirin ansietas, mencari jalan keluar yang mengandalkan otot daripada otak. Panca masih terngiang insiden meledosnya musala, bertanya-tanya mengapa dia harus terlibat dalam penyaksian kematian teman-teman.

Semua pemikiran tersebut bermuara pada janji-janji Fathur si Ketua yang selalu memarahi peserta yang dekat-dekat gapura atau garis perhinggaan Bumi Perkemahan. Atau ketika orang-orang panik terbirit-birit ingin keluar jalur instan. Atau saat dikatakan harapan menipis tidak apa-apa, yang penting masih ada. Lihat sekarang, apa buktinya? Keadaan justru kian memburuk. Tak ada satu pun solusi tepat. Tak ada penanganan berarti.

Fathur itu bombastis. 

Beberapa menit berlalu sia-sia, tanpa tak gentar bahwa perintah aneh dari aplikasi Buper bakal datang lagi, akhirnya masuk Alya bersama Intan. Tak perlu bersoal mengapa pintunya sudah amblas. Intan mengenakan baju dan celana tidur, barangkali sudah diberi tahu bahwa ternyata istirahat di sini lebih nyaman daripada di dalam tenda. Sayang, raut mimiknya tak selaras.

Intan bergeming menentang Ryan dengan raut horor. Peluh menghiasi kulit wajah, napas tersengal-sengal, mata terbeliak, serta pupil menyempit. Suara juga memori tak diinginkan menyeruak, memenuhi isi kepalanya.

“Kamu kenapa, Tan?”

Si mimikri Putri Solo meminta maaf. “Kayaknya badanku rasanya masih enggak enak. Aku mau istirahat dulu, ya.”

Intan pun menuju matras terdekat, berselonjor selesa menyandar dinding, sambil ambil bantal. Harusnya dia berbaring, mengingat sudah pakai baju tidur. Entahlah, Fathur masih memantau.

Pilihan tempat duduk Alya jatuh pada samping Ghani, sementara di samping Ghani ada Ahim. ‘Sengaja,’ batin Alya. Mungkin. Lagi pula, memang seharusnya pasangan duduk berdampingan. Si putri berkerudung besar selalu benar. Dia mengingat memori di bawah pohon waru berbunga indah, tentang putra jangkung yang mengarih buket puspa dengan ekspresi malu-malu. 

Sembari bermesraan dengan tajuk mahkota, Alya lirik sana-sini, mempertimbangkan calon lawan jenis yang bakal cocok jadi korban jaran goyangnya. Apakah Fathur yang tegas lagi idealis? Ataukah Ahim yang cebol dan berpikir di luar kotak? Atau Ryan yang berotot serta setia? Atau Panca yang sensitif juga murah hati?

Dalam kalbu, Alya menang banyak. Coba pikir, dia satu ruangan dengan semua putra sekelas tersisa. Kesampingkan Intan, keadaan ini sudah mirip harem terbalik. Alya menang sendiri. Sementara kalau Ghani jadi pawangnya.

Naga-naganya kali ini yang jadi target Alya adalah si Ketua Kelas. Ayolah, Fathur. Alya tahu yang sebenarnya. “Kamu pasti suka aku, kan? Tertarik ke aku, kan? Tadi aja pas di depan tenda kamu terpesona begitu. Padahal sudah punya Shilka, kok malah melirik yang lain, hayo? Btw, dia kok enggak diajak ke sini, ya? Hmmm? Enggak tau deh!”

Dunia fantasi memang menggilakan.

Deham keras dari Fathur membuat teman-temannya balik ke alam nyata. Baik Alya, Intan, maupun keempat putra lain menaruh perhatian. Fathur mengatakan bahwa dia habis membongkar salah satu tas yang diduga milik guru, kemudian menemukan sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Para komunikan pun tertarik lagi penasaran.

“Ini adalah jadwal kegiatan Kemah Blok yang kutemukan. Coba kalian cocokkan dengan perintah yang ada di aplikasi Buper Saba kalian. Ada beberapa kegiatan yang waktunya sama, kan?”

Mereka memperhatikan saksama selembar kertas bertulis tabel di atas meja, selanjutnya membandingkan waktu perintah pada aplikasi Buper Saba. Perintah 1 sama dengan kegiatan Ishoma dan Materi Pembuka, Perintah 1,5 sama seperti Materi Utama, Perintah 2 sama dengan Materi Penutup. Kegiatan selepas Materi Penutup ialah Apel Sore, pukul empat petang. Berarti, sebentar lagi waktu itu akan segera tiba, bersamaan dengan datangnya Perintah 3.

Alya angguk-angguk paham. “Kenapa kau tunjukkan ke kita, Thur? Kok enggak semuanya saja?”

“Tau sendiri, kan, alasannya. Aku bilang ke kalian dulu, baru nanti ke lainnya. Biar enggak menambah kepanikan.”

Baru Fathur hendak memberi saran dan peringatan, nada notifikasi terdengar dari tiap-tiap gawai. Seketika bulu kuduk semua peserta pun meremang.

Alya segera mengeluarkan ponselnya, kemudian mengernyit bukan main ketika membaca kata demi kata yang tertera pada layar kecil.

“Eh, kenapa? Ada apa?”

Putri itu makin gelisah kala menyadari bahwa Ghani, tidak, semua putra di sana seakan-akan membatu. Mereka membeliak tanpa berkedip, mulut menganga, keringat membanjir.

“Kenapa? Kalian kenapa?”

Alya mengajak bicara Ghani, tetapi putra jangkung itu tak merespons.

“Tolong, ngomong sesuatu!” Dia beralih ke Ahim, tetap tak ada sahutan. Alya bergegas menghampiri putri satunya, amat panik. “Intan, bagaimana ini … ?”

Intan ikut kebingungan. “Coba keluar, panggil bantuan, Al! Aku bakal jaga di sini!”

Alya pun mengangguk, lekas bangkit menuju ambang pintu. Intan sempat mengikut, harap-harap cemas bagaimana keadaan di luar.

Di halaman Gedung Khusus, tertangkap pemandangan satu putri berbadan tinggi dan berkacamata--mungkin itu Nana yang lesap indra penciuman--berteriak keras, tetapi suaranya tak sampai. Baju pramuka beserta badannya bersimbah darah, raut wajah tampak mengenaskan. Ada tangan seseorang yang membacok mercu kepalanya dengan arit, lalu dia ambruk dengan darah mengucur, kemudian dieret menjauh.

Alya, begitu pun Intan, tak yakin atas apa yang habis disaksikan. Maka, Intan mendorong Alya untuk maju terlebih dahulu. Sebelum sampai, seorang putri bermuka menyerupai tupai menghadang di ambang pintu.

Alya mengenalnya sebagai Fina, putri nan lucu karena memiliki sepasang gigi seri atas yang berukuran besar sehingga sering kali dijuluki Muka Tupai. Namun, dia tak lucu sekarang. Karena baju dan roknya kuyup akan cairan merah.

“Fi--Fina, bikin kaget--”

Fina mendorong kuat Alya sampai jatuh terguling di atas matras. Dia kemudian merenggut kerudungnya hingga Alya berdiri, lalu melempar ke atas meja, membuat para putra yang membatu tercengang. Alya mengaduh sakit, sementara Intan memekik ngeri.

“Alya … ! Fina, stop!”

Namun, Fina tak hirau. Dia menghampiri Alya, menindih badannya. Dia mencari-cari sesuatu di saku, juga di sekeliling, tetapi tak ketemu.

“Harusnya kamu bawa senjata sebelum masuk tadi.” Seorang putri yang juga bajunya bersimbah darah menyender ambang pintu, berujar santai menonton Alya yang menjerit tersiksa.

Ghani dan Ahim, yang kebetulan menghadap pintu, tercengang bukan main. Intan memasang muka seolah dipermainkan, perlahan mengulur tangan ke putri tadi. “Di--Dilla, kamu sudah enggak apa-apa habis hiking ... ? Kenapa baju kamu kok … ?”

Putri yang diketahui bernama Dilla, peserta gerak jalan kedua nan sintas, mengerling. “Bagaimana terus ini?” Dia berbicara kepada Fina.

Fina tampak mendapat ide. “Ah, ya sudah, begini saja.” Telapak kanannya melebar, lalu mengepal kencang-kencang, kemudian membonggol ke dada kiri Alya, berhasil menembus sampai berlubang. Alya memekik gemetar.

Tiap pasang mata yang menyaksikan membelalak ngeri. Intan pingsan seketika. Sedangkan Dilla menyeringai tersanjung. Fina menentang Alya yang muntah darah, serta cairan merah melancur dari dada kirinya. Dia berulang kali menghantamkan tinjuan sampai darah memuncrat ke mana-mana, membentuk genangan di atas meja, mengalir terjun membasahi matras serta lantai. Juga menodai pakaian dan wajah kelima putra yang membatu.

Fina menoleh, memberi isyarat kepada Dilla untuk menghampiri. Mereka berdua pun menyeret jasad Alya yang lemas kehabisan darah dengan mata melotot dan lidah menjulur, turun dari meja, kemudian mengecat lantai tegel, dan akhirnya keluar dari ruang Gedung.

Meski tak dapat bergerak, Panca tak kuasa menahan mual, mengeluarkan isi perut berupa cairan kuning yang meleleh dari mulut. Ahim menangis, air mata mengalir deras, disertai ingus dan liur meleleh. Ghani menatap dengan berkaca-kaca, setetes air lolos dari kelopak kanannya.

***

Beberapa menit sebelumnya ….

Ebe adalah putri yang dirasuki kuasa. Dengan tampang sangar dan suara beratnya, banyak orang takluk setelah dia mengeluarkan titah. Di samping itu, kulit putih pula badan ramping milik Ebe sering kali membuat kaum adam terpana.

Saat ini, Ebe melakukan eksaminasi pada keadaan semua teman-temannya. Perkumpulan aneh yang kabarnya bernama Perkumpulan A6 telah resmi bubar. Kini orang-orang lebih memilih duduk-duduk acak di atas tikar plastik atau tikar kain, sesekali mengambil air minum dari galon berpompa otomatis.

Sebenarnya Ebe cukup curiga dan lumayan takut ketika mengetahui aplikasi Buper Saba rupanya mempunyai tenaga supernatural dahsyat yang bahkan mampu merenggut nyawa manusia. Dari Perintah 1, tujuh orang masih belum kembali, sedangkan satu orang balik dalam keadaan mengenaskan, tak dapat diajak bicara. Dari Perintah 1,5, dua orang tewas, sedangkan empat putri selamat dengan kaki atau tangan hilang, juga satu putra selamat dalam keadaan syok. Dari Perintah 2, satu putri tewas, sementara lima putri hilang salah satu indra, dan satu putra matanya hancur tertusuk.

Yang paling parah adalah Mei. Putri berkantung mata tebal itu terbaring kaku, tak dapat menggerakkan tubuhnya. Di aplikasi dikatakan bahwa dia kehilangan indra peraba. Ada pula Alifa yang tak mampu menampak, karena indra penglihatnya lesap. Entah apa keinginan dari aplikasi pelik lagi kejam ini, Ebe amatlah kesal. Dia juga mengingat kejadian di lapangan apel, saat Pak D menindas teman-temannya, dan ternyata dia adalah robot.

Semuanya membuat tidak waras.

Saat hanyut dalam pikiran-pikiran berlebihan itulah, suara notifikasi lagi-lagi berbunyi dari gawai di saku roknya, membuat Ebe harus segera mengambil tindakan tegas guna mencegah korban selanjutnya berjatuhan.

Putri bermuka garang itu membaca perintah yang diberikan, lalu ekspresinya jadi teramat geram. Dia lantas berdiri, menarik perhatian peserta lain.

“Woi! Teman-teman semua! Dengar aku, ya, jangan terpengaruh sama apa yang dikatakan aplikasi aneh ini! Kalian harusnya mengikuti--”

Mendadak, raut Ebe berubah mengerikan, matanya memerah. Seringai tajam menyala-nyala. Dia mengangkat lengan putri yang duduk di sebelah, kemudian menariknya kuat hingga terputus, mencipratkan darah ke udara. Berikutnya, lengan itu dilempar hingga menempel pada kaca minibus di depan Gedung Khusus Panitia, membuat cairan merah merebak.

Sebagian putri yang menyaksikan menjerit histeris, lainnya mengakak penuh semangat.

Eksekusi dimulai!

###

Kudus, 3 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro