BAB 11: ⚠️ TPS-1 ⚠️

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[A/N]

Oke Gais, karena ini ngebut maka mohon maklum kalau bahasanya acak-acakan n berantakan dan saltik bertebaran

###

PERINTAH #3

Kegiatan: Tes Potensi Skolastik (TPS): Pola Gambar

Waktu: 16.00-17.30

Peraturan:

Demi meningkatkan dan menguji pengetahuan skolastik, diharap para peserta menjawab soal-soal yang diberikan pada gambar di bawah.

Ketentuan:

1. Hanya peserta putri yang bisa berpartisipasi.

2. Peserta dibagi menjadi dua kelompok, yaitu “Eksekutor” dan “Yang Dieksekusi”. “Eksekutor” bertugas membuat jawaban, sedangkan “Yang Dieksekusi” berperan sebagai bahan jawaban. 

3. Petunjuk pengerjaan ada pada gambar terlampir. Harap diperhatikan secara cermat.

SISA WAKTU: 88 menit

###

Silakan jawab 5 dari 7 pertanyaan!

1.


2.


3.

4.


5.


6.

7.


Susun anggota tubuh "Yang Dieksekusi" sebagai bahan untuk menjawab soal-soal yang diberikan dengan baik dan benar. "Eksekutor" dapat melakukan berbagai cara untuk menyusun jawaban.

###

(Kalau masih bingung nama-nama pesertanya:)


Seusai bunyi notifikasi dari gawai berakhir, histeria massal pun dimulai.

Para peserta perkemahan yang putri belaka diliputi aura mencekam. Sebagian dari mereka berubah menjadi ganas dan agresif, beringas menyerang para putri lainnya. Yang dikejar berlarian menghindar, beberapa terkena serangan. Ada yang melempar batu, balok kayu, pasak tenda yang dicabut, benda-benda tumpul dari dalam tas terdekat. Hanya sedikit yang berhasil kena, tak terlalu mampu menghentikan peserta putri yang kocar-kacir menjauh. 

Mifta berbadan kecil yang kaki kirinya lepas sebelumnya, tangan kanan ditarik Ebe kuat sampai terputus, mengucurkan darah dari bahu dan pangkal lengan. Tangannya dilempar kena kaca minibus, Mifta menjerit kesakitan. Putri itu merangkak dengan satu tangan dan satu kaki, hendak kabur, tetapi Ebe langsung menerjangnya ganas, meninju muka terus-menerus. Kepalan tangan memukul berulang kali, sampai memerah, sampai wajah Mifta babak belur, bersimbah cairan merah pekat, mata bengkak, hidung patah, bibir sobek, dahi benjol, gigi banyak tanggal.

Setelah itu, tubuh Mifta diseret dari tikar, mukanya menggesek tanah lempung berdebu, menggesek jalan setapak beraspal, kulit menggores, terkikis lapisan demi lapisan, meninggalkan jejak darah tanpa putus, kini wajah Mifta hancur hampir seluruhnya.

Alifa yang matanya tak mendapat cahaya, hanya bisa mendengar teriakan bercampur jerit pedih. Putri itu bertanya ketakutan, “Ada apa! Kalian kenapa!” Setelah diberi tahu bahwa perintah saat ini sedang dilaksanakan, dahinya makin berkernyit, sebelum sebongkah batu melayang tepat menghantam ubun-ubunnya, membuat Alifa terbelalak lalu jatuh pingsan.

Seorang putri yang tunatangan kiri, yaitu Nanda, menghampiri Alifa, terkekeh-kekeh serta menyeringai. Nanda menjambak kerudung Alifa, dan melihat bongkah batu di dekat, kemudian membenturkan kepalanya ke batu tadi kuat-kuat. Sinambung begitu, kepala diangkat lalu dibenturkan, kemudian diangkat dan dibenturkan, selanjutnya diangkat dan dibenturkan, berikutnya diangkat dan dibenturkan. Muka Alifa hancur, bola mata dua-duanya mencuat, tidak putus, terhubung oleh jaringan merah mirip tali. Sejumlah gigi patah, tulang hidung retak, kulit terkoyak menampakkan daging segar.

Mei yang terbaring kaku, badannya tak dapat digerakkan, menjadi mangsa empuk para putri yang mengamuk. Selagi dia bernapas kacau dan menangis menerus, seorang putri nomor absen tujuh bernama Billa berdiri di atasnya yang tertelentang, mengapit kepala Mei di antara dua paha, kemudian mencengkeram erat kepala itu. Kaki mendorong, tangan menghela sekuat tenaga. Leher Mei tampak memanjang elastis, wajahnya pucat serta mata mendelik ke atas. Beberapa saat kemudian setelah proses tarik yang terengah-engah, kepala Mei berhasil lepas dan tertarik sekalian tulang punggung nan panjang, disertai ceceran daging dan cipratan darah. Kemudian cairan kental mengalir deras dari leher serta tubuh yang terpancung.

Risma jongkok di samping minibus, ingin teriak, tetapi tak ada suara keluar. Ketika para putri menggila dan perhatian teralihkan pada putri lain yang pontang-panting, Risma merangkak ke kolong minibus, bersembunyi di sana. Jerit kesakitan dan laung kepedihan terdengar kencang memekakkan telinga, suara cipratan cairan kental serta ceceran daging memenuhi kepala. Risma berusaha sekuat tenaga menutup kedua telinga rapat-rapat.

Namun, tak lama kemudian, putri berkacamata yakni Tiara melongok dari luar, menyeringai jahil kepadanya, membuat Risma memekik ngeri. Dengan sangat ketakutan, dia merangkak mundur, tetapi lengan Tiara berhasil menangkap kakinya duluan. Tubuh Risma pun diseret, kemudian kedua lengan dicekal, badannya dieret lagi dengan kaki bergesekan ke tanah dan jalan setapak beraspal.

Nana si putri tinggi berkacamata bersiah, kala menampak dari mulut pintu Gedung Khusus ada dua orang putri, Nana berteriak kepada mereka untuk bersembunyi dan kabur. Belum selesai memberi peringatan, tiba-tiba kepalanya dibacok. Seorang putri yang pakaian pramukanya penuh darah kering, Dilla, menyeringai puas. Nana hilang kesadaran, lalu tubuhnya diseret menjauh oleh Dilla.

Di jalan, Dilla berpapasan dengan putri rambut dikucir yaitu Feni. Badan Nana dibuang begitu saja, kemudian Dilla mengejar sambil memekik semangat serta menjulurkan lidah. Matanya memelotot, Dilla memburu Feni yang berteriak ketakutan sambil bertanya-tanya apa yang terjadi dengan teman-temannya.

Dilla mengejar Feni di jalan setapak, ketika sampai di Stan Konsumsi, kaki Feni tersandung jalan yang tak rata, jatuh terjerembab. Feni merangkak dengan wajah horor, menuju tikar terdekat yang ternyata milik XII MIPA 1, kelasnya sendiri. Dilla menghampiri seraya memasang muka senang, langsung lompat menerjang tubuh Feni. Kedua putri itu terlibat aksi tolak-menolak, berlangsung adegan sengit. Feni mendorong Dilla, meronta-ronta, sedangkan Dilla terus-terusan menekan tubuh lawannya terhadap tikar.

Smerntara itu, Ebe berlarian seraya menjerit senang membawa jasad seorang putri yang wajahnya hancur. Beberapa saat kemudian, ada Nanda yang menghampiri sambil membawa tubuh putri tak berdaya pula, kemudian menawarkan sendok. Dilla menyambut benda itu, menusukkan ke leher Feni, kepala sendok menancap seluruhnya, lalu ditikamkan berulang kali sampai membentuk banyak luka tusuk, memnucratkan berlimpah darah. Setelah itu, Dilla membuka kancing baju Feni, bersiap gerakan menarik kulit perut putri itu ke arah berlawanan. Kulit pun sobek, darah mengucur deras. Dilla menarik organ dalam panjang merrah seperti tali bersimbah darah, yang mungkin usus halus.

Namun, Nanda memperingatkan.  “Woi jangan sekarang!”

Dilla pun berhenti. “Eh? ya maaf!” Berikutnya, dia mengeret jasad Feni yang tak berdaya, sesekali isi perut organ dalam terburai hampir lepas. Nanda pun menyusul juga bawa jasad putri.

Sesampai di lapangan apel, mereka menyaksikan bahwa para putri yang beringas dan menggila, mengoyak-goyak tubuh putri lain yang bersimbah darah dan hancur, memotong-motong tubuh mereka dengan manual atau dengan alat tajam seperti pisau atau pecahan kaca.

Dilla menitipkan jasad Feni, lalu berlari cepat ke Gedung Khusus, melihat bahwa seorang putri berwajah mirip tupai tengah menghabisi putri berkacamata secara brutal. Dilla memekik senang dan tersanjung. Tak lupa dia mengecek gawai dan perintah dari aplikasi Buper Saba, meski kesulitan karena kedua tangannya berdsimbah darah.

Dilla pun mengingatkan si putri berwajah mirip tupai itu, yakni Fina, untuk menunggu dahulu, membawa jasad korban ke lapangan apel. Untuk kemudian di sana tubuh para putri satu per satu diotak-atik menjadi bahan dalam rangka menjawab soal yang diberikan.

Saatnya kegilaan mencapai puncaknya!

###

Kudus, 6 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro