2 - CLANDESTINE

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Benar, bukan?

Sasha itu penuh rahasia.

Buktinya, siang ini selepas jam sekolah berakhir, ia bukannya menunggu di sekolah untuk mendapat giliran pendalaman materi, justru malah pergi melarikan diri.

Mengendap-endap lewat pintu utama karena tau di pintu belakang sudah pasti ada beberapa anak 'kamsis' atau yang biasa disebut keamanan siswa bertugas untuk menangkap manusia-manusia kelas akhir dengan niat kabur.

Di depan, meskipun ada satpam, tapi cukup bersahabat jika diajak kompromi.

"Makasih, Babeh. Besok aku traktir es Bang Jul sama nasi kuning kantin, ya?"

"Siap, neng."

Semudah itu seorang Sasha melarikan diri dari sekolah.

Babeh itu sebutan untuk satpam sekolahhnya. Usia paruh baya namun tubuh bugar layaknya anak sekolahan. Mungkin lebih kuat. Tapi bukannya tegas, malah mudah di kompensasi. Ya, sebenarnya menguntungkan untuk beberapa anak yang terbilang cukup dekat dengan satpam itu, tapi tetap saja seharusnya keadilan itu ditegakkan.

Namun, bukan itu masalahnya.

Karena tanpa Sasha sadari, seorang laki-laki muda dengan obsidian tajamnya menatap putus asa punggung sempit yang makin jauh dibalik gerbang sekolah.

"Kabur lagi."

***

Gemerlap lampu warna-warni mendominasi sebuah tempat terlarang di malam hari. Banyak hiburan tak pantas yang disuguhkan didalamnya.

Bau alkohol menyeruak memenuhi udara malam itu. Asap rokok elektrik dengan berbagai macam rasa ikut membuat sesak hawa disana. Banyak wanita-wanita bayaran yang dengan apiknya berlenggok diatas panggung sambil sesekali menggoda beberapa pengunjung dengan memamerkan lekuk tubuh mereka. Dentuman musik malam terdengar sangat keras disana. Seolah banyak manusia melepaskan penat dengan mencari hasrat. Sungguh, gila.

Tapi kenyataannya, Sasha hidup dari tempat ini.

Boneka kaca yang rapuh dan mudah hancur, berasal dari sini.

Lahir karena kesalahan Ibunya di tempat ini, dan harus kembali terperosok disini.

Itu alasan dari seorang Sasha kerap kali mengabaikan keberadaan anak laki-laki di kelasnya, bahkan di sekolahnya.

Baginya, cinta itu palsu.

Cinta itu tidak ada. Laki-laki datang dan pergi hanya mencari pelepas penat mereka tanpa ingin tahu suasana hati lawannya.

Sasha sulit mendefinisikan rasa, juga sebenarnya terlalu sulit untuk menyelami dirinya sendiri, hatinya terutama. Sasha tidak pernah mengerti, dan tak pernah berusaha untuk mengerti apa saja yang menjadi hak dalam hidupnya, apa saja yang harusnya ia lakukan demi kebahagiaan dirinya sendiri.

Seakan terjebak dalam ruang abu-abu, semuanya seolah terlihat sama rata bagi Sasha.

Sakit, bahagia, atau terluka, semuanya sama. Semuanya ada disini.

Sasha sendiri hanya tau uang dan uang. Material, tanpa perlu kasih sayang.

Memilih terjebak dalam semu, tenggelam dalam kelam, menyimpan seluruh rasa sakit dan rintihan hatinya dalam bisu.

Ia memang ceria, di luar.

Dalamnya, serapuh boneka kaca, seperti porselen, macam barang antic pecah belah yang mudah hancur berkeping-keping.

Ada luka yang tersimpan jauh di dalam hatinya, namun ia tak pernah membiarkan siapapun untuk menyembuhkannya. Mencoba tegar dan terus menutupi segalanya dari luar dunia, membuat pribadi luarnya sebegitu palsu agar fana tertutup dengan rapi.

Sasha itu menarik bagi siapapun, namun sayangnya tak pernah tertarik kepada siapapun. Ia menyukai segala sesuatu bersifat mutlak dan pemberontakan. Seolah mewakili jiwanya yang tertidur lama.

Namun ia tak bisa.

Tak bisa untuk terus begini.

Rasanya sangat sekarat bahkan saat disentuh untuk kesekian kalinya.

Rasanya ingin mati.

Tapi dugaannya selalu salah.

Seberapa banyak pun percobaan bunuh diri dilakukannya, seberapapun rasa sakit yang dideritanya, ia tak pernah mati.

Sasha itu tak bisa menangis, sekeras apapun ia berusaha meluapkan seluruh kesakitannya.

Gadis paripurna itu, tak mudah ditebak. Sulit untuk dibaca melebihi memahami teori atom lewis. Ada kalanya sunggingan ramahnya justru terlihat menyakitkan bagi dirinya sendiri.

Namun ada kalanya Sasha membuatnya tampak lebih menarik.

Agar tak satupun orang yang tahu, ia bisa hancur sewaktu-waktu.

Sasha memang serumit itu untuk dipahami.

Terlalu palsu untuk disebut nyata, dan bodohnya ada orang yang mencintai segala kepalsuan itu.

Kepalsuan dalam sebuah rahasia besar yang menurut Sasha tak akan ada satu orang pun tahu.

Sayangnya, rasa cinta yang terlalu dalam, membuat rahasianya terbongkar dengan apik.

Saat ini, Sasha merasa dirinya makin tak berguna untuk hidup.

Maka dari itu, ia memutuskan untuk keluar dari tempat pengepul dosa saat ini.

Angin malam menusuk kulit, pakaian minim membuatnya harus menahan dingin udara ibukota di penghujung hari. Belum lagi mengingat saat ini musim hujan sudah tiba. Seharusnya ia membawa jaket super tebal khusus hari ini.

Banyak sekali panggilan bernada merendahkan harga diri menyampir di ponselnya. Sengaja ditolak, Sasha hanya merasa butuh istirahat hari ini.

Sempat terbesit di pikirannya mengenai perkataan Nathan tadi, soal sekarang ia sudah berada di penghujung sekolah.

Tapi nyatanya, tingkat sekolah yang merupakan masa-masa emas bagi kebanyakan orang justru menjadi neraka untuk hidupnya.

Bukan masalah di sekolah, namun masalah saat usianya beranjak belia dan harus menjual harga dirinya demi sesuap nasi.

Membayangkannya saja membuat Sasha ingin muntah. Ia membenci dirinya sendiri, membenci alasan ibunya meninggalkan dunia karena penyakit menular sebab perbuatan dosa. Membenci perbuatannya karena harus mengikuti jejak ibunya.

Sungguh diluar nalar.

Hidup sendirian di tengah kota itu sulit, apa lagi tak punya keluarga yang bersedia menampung sampah seperti dirinya.

Belum pernah mengikuti pendalaman materi, nilai semakin menurun, prestasi tidak ada, percaya rasa kemanusiaan pun tidak.

Bagaimana manusia bisa hidup dibalik kepalsuan semacam itu?

Belum selesai dari lamunannya, seorang pria tua menyandung kaki mulusnya di trotoar jalanan. Membuat Sasha sedikit terhuyung kedepan sebelum seorang lagi menangkapnya.

"Apa-apaan?!"

Salah seorang dari mereka tersenyum remeh, menatap gadis itu dari atas hingga bawah tanpa cela, membuat Sasha sungguh risih karenanya.

"Mau apa kalian?"

"Dirimu. Dijual berapa?"

Maka yang terdengar selanjutnya hanyalah sebuah tamparan mulus di pipi pra tua yang barusan berujar. Membuat pria itu kemudian menatap nyalang ke arah Sasha.

Baru ingin melancarkan bogem mentahnya ke si gadis, sebuah pukulan diterima sangat keras dari samping. Membuat pria tua barusan berhasil jatuh tersungkur ke jalanan. Cengkraman satu yang lainnya dari tangan Sasha pun terlepas, berniat membalas laki-laki dengan jaket dan masker hitam di hadapannya. Membalas dendam sahabatnya yang dengan tiba-tiba diserang.

Tentu saja laki-laki muda itu jauh lebih kuat. Tubuhnya bahkan tampak lebih tegak daripada mereka. Hanya dalam waktu dua menit, kedua pria tua itu sudah tumbang dengan tangannya sendiri.

Sasha hanya bisa merosot jatuh. Menangis sepanjang malam sembari meringkuk ringkih setelahnya. Isaknya terdengar menipis diantara sisa napasnya yang tercekat di tenggorokan.

Tanpa ada niat untuk tahu siapa yang menolongnya dari para keparat macam tadi.

Maka yang laki-laki itu lakukan hanyalah melepas jaketnya untuk dipasangkan ke tubuh si gadis, menyisakan tubuh dibalut kaus hitam tipis dengan memperlihatkan lekuk tubuh tegapnya. Setelahnya membantu Sasha berdiri meski terasa sekali ketakutan dalam diri gadis itu.

Merengkuhnya dalam peluk hangat, tanpa dirasa ada perlawanan.

Tanpa disebut siapa namanya, rasanya Sasha sudah hapal aroma parfum yang dikenakan laki-laki ini.

Parfum yang sama dengan orang yang tadi siang memintanya ikut pendalaman materi.

"Menangis saja, kau berharga, terlepas dari apa yang telah terjadi kepadamu."

Disusul isakan yang berubah menjadi rintihan keras. Sementara yang mendekap hanya diam, mengelus surai si gadis pelan, dan mengeratkan pelukannya. Setelahnya memutuskan untuk mengantar gadis itu pergi dari tempat tadi, pulang ke rumahnya.

***

Note : 

Oke, ini ngebut.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro