05. Missing Link ☕

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

-Mata Rantai yang Hilang-

Happy Reading

.

.

.

Rean tidak ingat sejak kapan sistem fisiologis tubuhnya mulai adaptif menghadapi ancaman. Laju napasnya memburu, tempo denyut jantungnya meningkat, refleks otot-otot ekstremitasnya yang berkontraksi siap memberi perlawanan. Sebagai seorang pemegang sabuk hitam bela diri Taekwondo, naluri bertarungnya sudah terlatih--paling tidak bisa meremukkan tulang rusuk lawannya dengan sebuah sabetan.

Rean beberapa kali melancarkan pukulan dan tendangan, kadang pula menangkis. Seorang begal di hadapannya sudah jatuh dan tak bisa bangkit lagi.

2 orang lagi! Rean bersorak pada dirinya sendiri.

Tanpa perlu berbalik, Rean bisa menyadari sebuah serangan yang datang dari balik punggungnya. Rean cukup serius kali ini. Pria yang menyerangnya berbobot badan lebih dan menghunuskan badik yang mendesir di udara.

Rean bersegera memutar badan, menekuk lutut, mengambil ancang-ancang kemudian menyentakkan badan dengan energi penuh dan melancarkan satu tendangan lurus ke atas. Terdengar derak tulang patah saat titik tumpu kakinya sukses menampar rahang si pria bongsor tersebut sebelum terhempas di aspal pejal.

Seorang lagi yang tersisa dengan penuh amarah menerjang dari samping. Rean melirik dari sudut mata, sebuah kepalan tangan mengarah padanya, buku-buku jari tersebut sampai memutih lantaran digengam terlalu erat. Pukulan yang penuh energi namun kurang pertimbangan. Dengan sedikit melentingkan badan, Rean berhasil menghindar. Begal tersebut langsung tersungkur, wajah beserta pukulan kerasnya menghantam pinggiran trotoar. Rean bisa melihat ruas-ruas tangan tersebut terkelupas diiringi bunyi gemeretak.

Para begal biadab itu kemudian diseretnya ke pinggir jalan. Rean sengaja tidak menyerang organ vital, setidaknya mereka tidak bisa kabur atau menyerang orang lain lagi sampai polisi datang.

Jarum jam di pergelangan tangan kiri Rean menunjukkan hampir pukul 10 malam. Rean sadar melewati jalan pintas sepi yang kerap dijadikan sebagi titik kejahatan itu adalah sebuah kesalahan, namun rasa letih sehabis melatih junior di UKM bela diri mendorongnya untuk bersegera sampai di rumah.

Rean memacu motornya melewati kawasan Perkuburan Cina yang menjadi perbatasan jalur tersebut dengan ruas jalan provinsi. Suasana lumayan mencekam. Satu-satunya lampu jalan ada terus berkelap-kelip, kadang meredup perlahan kemudian tiba-tiba menyala kembali--entah karena konslet atau ada makhluk astral yang sedang kurang kerjaan memainkanya. Rama pernah tidak bisa tidur semalaman karena melintas di area uji nyali tersebut.

Rama! Rean meningkatkan kelajuannya begitu teringat Rama yang sendirian di rumah. Edward sedang ada acara himpunan yang kemungkinan selesai tengah malam nanti. Sedari magrib tadi Rama sudah menerornya habis-habisan dengan puluhan missed call. Barangkali sekarang si phasmophobia kelas kakap itu mengungsi ke rumah Chelia atau mengacau lagi di pos satpam.

Rean berhenti sebentar pada mobil patroli yang bersiaga di jalan utama. Setelah melaporkan kasus pembegalan yang barusan dialaminya, ia bersicepat menuju kompleks. Benar saja, Rama sedang asyik nongkrong di portal depan.

Rean menghentikan motornya di sana dan menyapa beberapa penjaga. Rama dengan sigap menghempaskan diri di jok belakang kemudian pamit pada para security. Sekilas Rean melihat tumpukan kemasan makanan cepat saji di pusat keamaan itu.

"Kamu buat apa lagi di sana?"

"Bagi-bagi lotion anti-nyamuk. Sekarang kan, musim DBD. Bisa gawat kalau satpam di sini sakit."

"Alasan! Kamu ganggu orang kerja saja."

"Salah kalian bertiga tinggalkan aku sendirian! Kamu kan, tahu aku nggak suka makan sendiri!"

"Bertiga?"

"Kamu, Edward, sama Leon."

"Leon tidak pulang?"

"Tidak! Kucing kampung itu sudah terkena pergaulan bebas sekarang."

Rean menghela napas. "Sorry, tadi ada sedikit urusan."

"Ya, setidaknya kamu sudah pulang." Rama turun dan membuka pagar.

"Kali ini apa?"

"Apanya?"

"Yang buat kamu takut."

Rama mencebik. "Siapa yang takut!"

"Kamu tidak akan berlama-lama di sana kalau tidak takut."

"Aku ke sana cuma mau makan bareng satpam, kok!"

"Oh, ya? Aku pergi lagi, nih." Rean bangkit menuju motornya.

"Jangan! Oke! Aku memang takut!" aku Rama.

"Kenapa? Kuntilanak di pohon mangga lagi?"

Rama spontan menempelkan telunjuknya di bibir. "Hust! Jangan keras-keras! Nanti dia dengar!"

Rean mendorong pintu. "Bicara di dalam saja."

"Kenapa? Miss Kunti itu ada di sini?!"

"Bukan. Banyak nyamuk. Nanti kita kena DBD," sindir Rean.

Rama mendesis. "Memang kamu nggak baca pesan di grup angkatan?"

Rean yang baru saja menghempaskan tubuhnya di sofa menggeleng. "Aku nggak baca chat, pusing lihat spam stiker dari kamu."

"Ya, sudah. Kamu baca sekarang, deh."

"Kamu kan, bisa langsung cerita!"

"Oh iya, ya!" Rama berdeham. "Itu ... ada mahasiswi jurusan psikologi yang meninggal."

Rean membuka mata. "Siapa?"

"Aku nggak mau sebut namanya, nanti arwahnya datang ke sini."

"Arwah orang meninggal itu berada di alam kubur. Kamu jangan mengada-ada!"

"Masalahnya dia baru dikebumikan besok!" Rama berpikir sejenak. "Dia itu pacarnya ... Dandy. Kamu tahu orangnya, kan?"

Rean mengangguk terpatah. Dandy adalah rival yang terus berusaha menjatuhkannya, bahkan setelah berhasil memenangkan posisi ketua HMJ melalui politik gelap. Sejujurnya Rean masih belum bisa memaafkan Dandy, apalagi ketua himpunan itu pernah menuduhnya melakukan sabotase, namun membayangkan bagaimana rasanya kehilangan orang yang dicintai membuat Rean iba juga.

"Semoga dia diberi ketabahan."

Rama mengaminkan segera.

"Meninggal karena apa?"

"Karena sudah ajalnya."

"Dia benar-benar akan datang kalau kamu main-main begitu!"

Rama langsung merapat ke Rean. "Bercanda, Brother. Kabarnya karena overdosis."

"Overdosis obat?!" Rean langsung terduduk.

Rama mengiyakan. "Suicide," katanya setengah berbisik.

"Bunuh diri?!"

"Begitulah, dia stres berat karena banyak masalah di rumah dan di kampus." Rama menarik napas sebentar. "Padahal dia mengajukan judul tentang masalah depresi remaja sebagai tugas akhirnya tahun depan. Tragis sekali."

"Aneh."

"Ya, tapi kenyataannya seperti itu. Apalagi menurut kesaksian teman-temannya, akhir-akhir ini dia memang terlihat tertekan. History browser di laptopnya seminggu belakangan terkait obat hipnotik semua, bahkan riwayat penelusuran terakhir di ponselnya beberapa saat sebelum jenazahnya ditemukan adalah cara mengakhiri hidup."

Rama makin merapatkan duduknya pada Rean. "Kamu tahu catatan terakhir yang ditulis di logbook untuk rencana penelitiannya?"

"Apa?"

"Sebentar." Rama mengambil ponselnya kemudian mengetikkan sesuatu di sana.

"Kenapa harus ribet begitu, sih! Sebut saja!"

"Tidak bisa!"

Rean menatap Rama prihatin. "Kamu kebanyakan menonton film horor."

Rama bergidik. "Maksudmu Jodoh Wasiat Bapak? Itu film terhoror yang berani aku lihat."

"Memang itu film horor?"

"Bukan, film religi!" Rama merengus lalu menyerahkan HP-nya pada Rean. "Nih, baca sendiri. Jangan keras-keras!"

Cara terbaik untuk mengakhiri hidup adalah dengan terlelap selamanya.

Rean tercekat, ada sedikit sengatan listrik yang membuat degup jantungnya terpacu begitu membaca pesan terakhir itu. "Ini benar dia yang tulis?"

Rama menarik kembali ponselnya. "Benar! Coba cek foto catatan aslinya di grup."

"Ada fotonya juga, kenapa kamu pakai ketik segala!"

"Habis di situ ada fotonya profilnya juga! Kalau aku buka nanti malah tersimpan di galeri!"

Rean menghela napas. "Kenapa juga kamu takut begitu?!"

"Kemarin aku ketemu dia di kantin!"

"Lalu?"

"Dia itu ... menatap aku terus. Serius!"

"Narsisis!" Rean merutuk kemudian mengambil posisi berbaring. "Aku mau tidur, bangunkan aku jam sebelas."

"Kamu mau kemana lagi?!"

"Jemput Edward."

"Motornya ditahan senior?"

"Tidak, kalaupun ditahan nanti aku yang minta. Aku cuma khawatir saja, sekarang banyak begal."

Rama terlonjak. "Kamu pasti habis berantem sama begal, kan?" tebaknya sambil menguncang pundak Rean.

Rean melentikkan bahunya, menepis tangan Rama. "Nggak! Sudah jangan ganggu, aku mau istirahat sebentar."

Rama tidak mau mengalah, ia bergegas ke ruang tengah kemudian kembali dengan menenteng kotak kesehatan dan memaksa Rean bangun.

Rean akhirnya menyerah dan bangkit. "Oke! Aku memang habis melawan begal, tapi aku nggak luka sama sekali. Aku hanya butuh istirahat."

Rama tidak mengindahkan alasan Rean dan mengelurkan beberapa patch transdermal, krim, gel, dan spray penghilang nyeri otot. "Kamu memang nggak luka, tapi badanmu pasti pegal, kan? Apalagi kamu habis melatih."

"Nggak."

"Lama-lama aku beli lie-detector juga kalau begini! Sudah jangan banyak alasan. Nih, aku sudah cek komposisinya di Excipient. Ini merek yang paling berkualitas. Aku nggak tahu kamu suka jenis apa jadi aku beli semua, tapi Chelia bilang jangan dikombinasi, pakai salah-satunya saja, nanti kulitmu iritasi kayak pantat bayi yang kelamaan pakai popok."

Rean menatap Rama yang sudah seperti sales tim marketing kemudian mengambil kaleng aerosol spray dan menyemprotkan koloid cair-gas itu pada betis serta lengannya setelah dibersihkan dengan tisu.

"Kamu jangan tidur dulu, aku buatkan susu jahe."

Rean hanya mengangguk. Ada senyum tipis di wajahnya melihat Rama yang sibuk sendiri di dapur. Karena hal itulah, seabstrak bagaimanapun kelakuan Rama, Rean selalu tidak bisa menemukan alasan untuk membencinya.

⚛️⚛️⚛️⚛️⚛️


Hujan mengguyur sedari subuh, semburat merah jingga arunika di sisi timur horizon kini digantikan bongkahan gelap dari titik-titik air beku yang semakin menambah kesuraman atmosfer.

Agar terhindar dari terjangan hujan dan cipratan genangan air di jalan dari pengemudi yang hobi mengebut dan tidak bertanggungjawab, Chelia dan Erva berangkat dengan dijemput Rama bersama Rean dan Edward.

Tidak seperti biasanya, Rama mengambil rute berbeda dengan membelokkan mobilnya menuju perpustakaan setelah melewati gerbang depan kampus.

"Kita mau ke mana, Rama?"

Rama menoleh pada Chelia yang kebingungan. "Kita memutar dulu ya, Sweetheart. Sekalian keliling kampus, kita kan, kerjaannya cuma main di laboratorium saja."

Edward mengerutkan sebelah wajahnya dengan enek. "Alasan! Dia ambil jalan memutar biar nggak lewat depan Fakultas Psikologi, Chelly. Dasar penakut!"

Chelia yang duduk di bangku depan melenggut maklum lalu berbalik. "Tapi ada benarnya juga Eddy, sekarang di depan Fakultas Psikologi pasti ramai wartawan dan anak jurnalistik."

"Nah, dengar itu!" Rama menepuk dirinya bangga.

Sesampai di pelataran fakuktas, Rama tidak menuju tempat parkir umum melainkan menghentikan mobinya tepat di depan pintu masuk fakuktas di mana terdapat sebuah palang bertuliskan "parkir khusus dekan" di sana.

Edward terlonjak begitu Rama mematikan mesin mobilnya.
"Rama! Kamu sudah gila, ya!"

"Rama tidak gila, Edward! Kamu jangan menghina orang sembarangan, dosa tahu!" tegur Erva.

"Aduh, Va! Masalahnya ini tempat parkir khusus dekan! Bisa kena masalah kita!"

Rean mendengus. "Sudah, jangan berisik! Ini mobil dia," Rean menunjuk Rama dengan dagunya, "yang dapat masalah nanti dia juga," lanjutnya lalu membuka pintu dan keluar dari mobil. Edward ternganga beberapa saat kemudian turun menyusul Rean diikuti Erva.

Rama hanya terkekeh melihat perseteruan ketiganya. "Kamu nggak turun, Chelly?" tanyanya pada Chelia yang masih diam di tempat.

"Rama, apa benar ini tidak apa-apa?" Chelia balik bertanya dengan raut wajah khawatir.

"Nggak kok, Chelly. Kamu dengar kata Rean tadi, kan? Paling yang dapat masalah nanti cuma aku."

"Tapi aku nggak mau kamu dapat masalah!"

Rama menyatukan kedua sisi bibirnya. "Duh, my sweetheart yang baik hati ini, aku jadi terharu," ujarnya sambil mengacak rambut Chelia.

"Aku serius, Rama."

"Aku juga serius, Chelly. Ini bukan masalah besar, oke?"

Rama turun dari mobilnya kemudian membuka pintu untuk Chelia di sisi yang lain. Chelia mau tidak mau ikut turun kemudian mengikuti langkah Rama menuju ruang kelas.

Chelia diam-diam mengamati Rama di sebelahnya. Rama memang troublemaker, tapi masa sampai berani mengerjai dekan? Kalau diperhatikan saksama, Rama dan Kak Arya itu memang mirip secara fisik, sih. Apa jangan-jangan mereka ...?

⚛️⚛️⚛️⚛️⚛️


Naya mengetuk-ngetuk meja dengan bosan. Mungkin satu-satunya civitas academica kampus yang tidak heboh dengan berita kematian mahasiswi jurusan psikologi yang tewas bunuh diri itu adalah dirinya. Sebut saja tidak punya hati, kenyataannya, Naya memang tidak merasakan apa-apa. Pertama, ia tidak mengenal mahasiswi yang nekat mengakhiri hidupnya itu. Kedua, mahasiswi tersebut adalah pacar--ralat, mantan pacar Dandy, ketua HMJ titisan Adolf Hitler yang suka memaksakan kehendak. Dilihat dari sisi manapun, Naya tidak bisa menemukan rasa simpati untuk diekspresikan.

Terlebih Naya yakin, hanya segelintir dari orang-orang yang membicarakan perihal kematian tragis mahasiswi tersebut yang benar-benar peduli. Selebihnya hanya untuk memuaskan rasa kepo semata yang tidak lebih baik dibandingkan dengan tidak peduli sama sekali.

Dalam hal ini Naya boleh berbangga, sebab sebagian dari segelintir orang yang betul-betul peduli tersebut adalah teman-teman dekatnya. Rama si cucu sultan menyumbang uang duka yang cukup besar. Rumy sampai terkejut dan berniat membuatkan Rama surat pernyataan sebab nominal uang tersebut bisa digunakan untuk membayar SPP tiga semester. Rean kendati musuh bebuyutan Dandy sekalipun tetap memberi sumbangan, demikian pula Cassy. Chelia yang memiliki empati di atas rata-rata juga berbesar hati mengikhlaskan uang tabungannya. Edward dan Erva pun turut berdonasi semampunya.

Naya tersentak begitu Cassy menyikut lengannya. "Kenapa, sih?!" gertaknya tanpa sadar.

Cassy langsung melotot bersamaan dengan Ibu Jasmine--wanita paruh baya sebagai dosen pengampuh mata kuliah Farmakologi melirik tajam ke arah mereka sambil membetulkan letak kacamata yang melorot lantaran hidung pesek keriput miliknya tak mampu lagi menyangga alat bantu penglihatan klasik itu.

Cassy hanya meringis kemudian pura-pura melanjutkan bacaannya--tepatnya drama Korea yang ditontonnya melalui komputer gengam di balik buku tebal dengan posisikan tegak lurus. Matanya memberi isyarat ke arah Chelia.

Naya menoleh pada Chelia di sampingnya yang sedari tadi kelihatan gelisah usai membaca berita dari catatan tim jurnalistik kampus tentang sepuluh fakta kematian mahasiswi calon psikolog yang bunuh diri tersebut--entah siapa yang kurang kerjaan membuat berita tidak penting itu.

Naya baru saja akan menginterogasi Chelia begitu pelajaran berakhir, namun Chelia lebih dulu meninggalkan bangkunya dan bergegas keluar kelas dengan tergesa-gesa, bahkan tanpa merapikan barang-barangnya. Naya langsung mengejarnya, sedang Cassy memberi tahu temannya yang lain.

Chelia berlari menuju Laboratorium Farmakologi di lantai 5. Begitu Naya berhasil menyusul, Chelia tengah berjongkok di depan lemari arsip dan membuka beberapa catatan.

"Ada apa, sih Chelly? Kamu kok jadi aneh begini!"

Chelia menengadah menatap Naya.

"Daftar obat kedaluarsa di mana?!"

Naya mengerutkan dahi. "Kata Edward obat kedaluwarsa tidak perlu distok lagi, langsung dibawa ke gudang untuk dimusnahkan, atau dibawa ke Laboratorium Kimia untuk sampel analisis. Kenapa?"

Lagi-lagi Chelia tidak menjawab dan bersegera menuju Laboratorium Kimia, mengabaikan panggilan Rean, Rama, Edward, Cassy, dan Erva yang baru tiba.

Chelia mengecek satu per satu obat kedaluwarsa dari dos di dalam lemari
kemudian membuka buku daftar bahan yang telah digunakan. Ia membolak-balikkan tiap halamannya dengan resah.

"Tidak ada." Chelia berujar gemetar, lututnya terasa lemas tak bertenaga.

"Apa yang tidak ada, Chelly? Ada masalah apa sebenarnya?! Jangan buat kami khawatir begini!" Rama mengikuti Chelia yang terduduk di lantai dengan mata berkaca. "Ah, maaf Sweetheart, aku nggak bermaksud membentak kamu."

Chelia menggeleng lemah. "Tidak Rama, bukan itu ...."

Rean ikut berjongkok diikuti yang lain. "Jadi ada apa?" katanya menepuk pundak Chelia dengan lembut.

Chelia mengatur napasnya yang tersengal dibantu dengan Rama yang mengelus pelan penggungnya, juga Cassy yang merapikan rambutnya ke belakang.

"Obat yang diminum pacar Dandy sampai bisa meninggal itu obat kedaluwarsa yang hilang kemarin."

☕☕☕

Prrscriptio Notes 📑
Handbook of Pharmaceutical Excipient atau populer dengan nama Excipient adalah referensi wajib yang digunakan dalam formulasi sediaan farmasi. Berisi informasi tentang dekskripsi, kegunaan, keamanan (dan penjelasan penting lainnya) suatu bahan tambahan yang digunakan dalam produk farmasi, baik obat maupun kosmetik.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro